salju

Syair "Nazam Perang Kamang 1908"


BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM Dengan Bismillah hamba suratkan, Alhamdulillah pujian ke Tuhan, Selamat dan salam dua sejalan, Atas Muhammad Rasul pilihan. Sahabat nan alah pula serta, Sekalian tabiin ikutan kita, Di atas dunia jadi pelita, Hingga kiamat dunia yang lata. Amma Bakdu inilah peri, Hamba yang hina Ahmad Marzuki, Nazam dikarang dalam tangsi, Akan perintang rusuhnya hati. Hamba mengarang dagang yang papa, Mengarang nazam jo1 air mata, Setiap hari berhati duka, Karena kuat syaitan mendaya. Angin lah guncang di dalam dada, Diri miskin tiada berharta, Apa terkenal2 mengeluh saja, Begitulah nasib empunya nama. Allahu Rabbi Tuhan ar-Rahman, Mula-mula sengsara tiba di badan, Di negeri Kamang orang namakan, Malam Selasa petang Isnayan. Pukul tiga malam serdadu datang, Pikul senapan serta kelewang, Tegak di halaman bedil dipegang, Kemendur3 opas sudahlah terang. Ada berdua Penghulu Kepala, Hambapun lelap dijagakannya, Diri terkejut jadi jaga, Berlari ke pintu lekas segera. Keduanya itu Penghulu Kepala, Membuka pintu lekas segera, Tiba di rumah kumisi4 pula, Sudah kumisi banyaklah kata. Rundingan banyak jadilah sudah, Wahai Haji manalah ia, Kami mencari sangatlah payah, Lah sampai kami ke Kampung Tengah. Hamba menjawab selurus hati, Di kampung Tengah di rumah bini, Tuanku Mandua menghimbau hendak pergi, Mari tunjuki sekarang kini. Diambil baju lalu disarungkan, Anak berpegang dari pada tangan, Kiri dan kanan belakang hadapan, Memegang ayah jangan berjalan. Kemendur berkata lekas segera, Wahailah upik tidak mengapa, Berilah ayah pergi jo hamba5, Saya mengaku tidak binasa. Kemendur berkata sekarang zaman6. Jadi menangis anak sekalian, Kiri dan kanan belakang hadapan, Memegang ayah jangan berjalan. Kemendur berpikir tengah halaman, Jadi berjalan ianya sekali, Soldadu mengiring dengan barisan, Opas di belakang pula mengiringkan. Diberilah duduk waktu itu, Wahailah anak peganglah lampu, Hati di dalam janganlah ragu, Senangkan hati supaya tentu. Anak berkata masuk sekarang, Janganlah ayah pergi berperang, Badan kok mati nyawa berpulang, Di ini kampung di lebuh gadang. Wahailah anak buah hati sayang, Aku berjalan jangan dilarang, Melihat ayah nyawa berpulang, Ke negeri akhirat kampung yang lengang. Hamba berjalan lekas segera, Pukul tiga malam supaya nyata, Kiri dan kanan memandang juga, Di kampung Tengah setelah tiba. Hamba berjalan diri seorang, Kiri dan kanan memandang-mandang, Didapati serdadu pegang kelewang, Sekeliling rumah supaya terang. Hamba lah tiba pula di sana, Serdadu baris hamba lihatkan, Menghindar sedikit hamba ke sana, Ianya menghindar hamba berjalan. Hamba lah tiba pula di sana, Penghulu Kepala lalu berkata, Wahai Haji Ahmad bernama, Pergilah cahari lekas segera. Tuan Seteneng lalu berkata, Wahailah Haji Ahmad bernama, Lihat ayahmu lekas segera, Kami mencari tidak bersua. Naik sekali ke atas rumah, Dilihat pintu sudahlah pecah, Sebab soldadu menghantam rumah, Ianya berpusing mencari ayah. Hambalah tiba di atas rumah, Wahailah bunda manalah ayah, Bunda menjawab tidak di rumah, Ayahlah yang hilang takdir Allah. Berulang-ulang bunda mencari, Tiap-tiap bilik ia masuki, Ke atas ke bawah ia caliki8, Tidak bertemu sampai ke kini. Hamba berjalan turun di tangga, Kepada Kemendur aku berkata, Rupanya ayah tidak di sika9, Di nagari Bansa tempat dianya. Tuan Seteneng lalu berkata, Marilah cari semalam iko10, Diri berjalan lalu segera, Dengan soldadu berjalan semua. Penghulu kepala lalu mengiringkan, Bersama Haji Ahmad namakan, Baru sebentar lalu berjalan, Bertemu Batudung di tengah jalan. Penghulu Kepala lalu berkata, Kepada Batudung ialah nama, Tangan Batudung dipegangkannya, Ditarik ke belakang dengan segeranya. Berjalan juga sekarang zaman, Pergi mencari Syekh Abdul Manan, Ayah Haji Ahmad tidaklah bukan, Bersama mencari pergi berjalan. Engku Syekh Abdul Manan orang yang tua, Di dalam nagari Kamang namanya, Tempat menampung yang benar kiranya, Itulah sebab dicari juanya. Dan lagi pula waktu itu, Beliau tertuduh di zaman itu, Memberi azimat satu persatu, Tiap-tiap orang kabarnya itu. Azimat itu kabarnya orang, Akan di bawa terus berperang, Tidak telap piluru menantang, Yaitu pitanah kepada orang gadang. Tambah berjalan sedikit lagi, Lalu melihat kemendur tadi, Kepada Betudung memberang sekali, Barangkali awak ang hindok11 di sini. Hamba pun diam tidak berjalan, Serdadu melingkar kiri dan kanan, Tidaklah dapat akan dikatakan, Berasakan hilang nyawa di badan. Pikiran hamba waktu itu, Tidaklah nan lain tempat mengadu, Melainkan Allah Tuhan yang satu, Terhindar hendaknya bahaya itu. Baru sebentar Angku Mandur berkata, Kepada hamba Haji Ahmad nama, Dengan Batudung sama serta, Jangan melawan begitu katanya. Hamba Haji Ahmad lalu menjawab, Tunduk kepala lalu berhadap, Adakah boleh aku menjawab, Sekalian tidak itulah jawab. Keduanya orang kamu jangan menjawab, Di mucung tidak hati menghadap, Kedua orang itu mesti ditangkap, Di bawa ke bui ke kamar gelap. Batudung menjawab dengan segera, Dengan Haji Ahmad sama serta, Itu timbangan tuan semata, Digantung tinggi hamba pun suka. Ketika itu Angku Kepala berkata, Kepada Batudung deras suara, Mana Batudung pegawai hamba, Marilah lekas dengan segera. Batudung keluar ketika itu, Ketika dilingkung oleh soldadu, Maksudnya berjalan waktu itu, Angku Mandur mahariak pula di situ. Waktu itu Angku Mandur memberang, Keras suaranya bukan kepalang, Batudung di periksa masa sekarang, Barangkali ada pakai kelewang. Soldadu terus pergi kumisi, Keliling tubuh Batudung tadi, Kebetulan ada kelewang dicari, Di dalam kain dia selimuti. Soldadu terus pergi kumisi, Keliling tubuh Batudung tadi, Kebetulan kelewang dicari, Di dalam kain diselimuti. Haji Ahmad tercemas di sana, Tidaklah jadi ianya berjalan, Memandang jua kiri dan kanan, Bak itu lah nasib masa di sana. Maksud berjalan masa di sana, Angku Mandur mahariak11 pula di sana, Kepada Batudung orang namakan, Kamu sekarang mau melawan. Batudung berkata masa di sana, Adakah patut hamba melawan, Tuan raja tinggi angkatan, Tidaklah patut kita melawan. Tuanku Mandur lalu berkata, Kepada soldadu pula semuanya, Ikut olehmu dengan segeranya, Soldadu melingkar dengan segeranya. Tangan Batudung lalu dipegang, Lalu diondoh12 pula ke belakang, Angku Mandur berjalan masa sekarang, Soldadu mengiring pada belakang. Hamba pun diam tidak berjalan, Senapang berbunyi hilang pikiran, Rasokan melayang nyawa di badan, Ayah dicari tidak kelihatan. Bunyi senapang gegap gempita, Batudung kena jatuh tertimpa, Patalah kaki apalah daya, Hilang pikiran pada seketika. Allahu Rabbi khaliqul alam, Bunyi senapan berdentam-dentam, Gegap gempita rasanya alam, Setengah mati setengah terbenam. Setengah lari berserak-serak, Entah ke mana badan tercampak, Ada nan luka kaki pun rusak, Setengah berjalan jadilah tenjak. Umat di situ berbagai macam, Setengah lari ke rimba dalam, Setengah pecah tulang di dalam, Karena soldadu datang menghantam. Allahu Rabbi Tuhan yang menang, Ayam berkokok hampirlah siang, Burung berbunyi hampirlah datang, Perang berhenti sudahlah tenang. Takdir Allah Tuhan yang kaya, Ayah dicari tidak bersua, Puas mencari kiri kanannya, Sampai bersua di satu masa. Waktu hamba mencari ayah, Di mana umat di situ banyak nan rebah, Hilir dan mudik kiri kananlah, Laki perempuan tidak tentulah. Ayah hamba itu rasa di mata, Puas mencari tidak bersua, Hilir dan mudik dijalani jua, Tidak bertemu hatilah duka. Jihat yang empat sudah dijalani, Ujung jo puhun13 demikian lagi, Mencari ayah kandung sendiri, Tidaklah ayah dapat dicari. Ketika hamba mencari ayah, Hati di dalam sangatlah gundah, Waktu subuh hampir terbitlah, Setengah lima kalau tak salah. Ya Allah Tuhan yang menang, Ummat di situ silang menyilang, Meminta air sedikit seorang, Haus nan sangat bukan kepalang. Ya Allah Tuhan yang rahman, Menjadi juara pangkat di sanan, Siapa meminta hemat berikan, Seorang tidak ada berkawan. Waktu subuh sudahlah tiba, Tampak di situ roman jo rupa, Waktu itu ayah bersua, Tidaklah dapat akan dikata. Hibanya hati bukan kepalang, Ayah dilihat sudahlah terang, Badan rusak nyawa berpulang, Hati di dalam menaruh bimbang. Hamba menangis sangatlah duka, Diremas perut ditampar dada, Akalpun hilang apa bicara, Gunung nan tinggi rendah rasanya. Dalam menangis berkata aku, Wahai ayah mengapakan aku, Apa kesalahan atas diriku, Untung14 di akhirat kita bertemu. Wahai ayahku jantung pengarang, Ajallah mati nyatalah terang, Ananda tinggal berhati bimbang, Entah bak mana masa sekarang. Ayah dipangku hendak dibawa, Kiranya ayah sangat beratnya, Hamba berjalan dengan segera, Mencari kawan itu sengaja. Ayah dibawa sama sekali, Orang menolong beramai-ramai, Tolan sahabat kakak dan uni, Menjelang kampung rumah sendiri. Dibawa ayah bersama-sama, Menjelang kampung tempat diamnya, Naik jenjang rumah tangga, Ayah dibujur bersama-sama. Ayah dibujur tidur telentang, Kiri dan kanan orang pun datang, Laki-laki perempuan kecil dan gadang, Semuanya menangis berhati mamang. Hamba pulang wakti itu, Ditapati anak bertutup pintu, Wahai anak bukalah pintu, Pintu terbuka hamba pun lalu. Di atas rumah hamba pun tiba, Anak perempuan lalunya bertanya, Perasaian untug dibilang pula, Anak menangis serta ibunya. Wahai anak buah hati sayang, Engkau menangis ayah melarang, Sudah takdir Tuhan yang menang, Tidak boleh kita melarang. Hamba kembali lekas segera, Tidaklah banyak dapat bicara, Ayah tinggalkan anak sementara, Lekas kembali ayah di sini. Jam pukul enam kiranya hari, Hamba berjalan terus kembali, Tempat peperangan tibalah diri, Telah tiba hamba di peperangan tadi. Hamba melihat kian kemari, Kiranya orang sudahlah rami, Penuh bersesak di pekarangan tadi, Manyo15 mait yang sudah mati. Allah Allah Tuhan yang kaya, Banyak macamnya bekasnya pisau, Setengah berserak geraham kepala, Tidaklah dapat riwayat mengenal. Wahai saudara kakak dan adik, Banyak macam hamba lihati, Rompaklah dada tidaklah seperti, Sampai ke punggung tidak bersisi. Wahai saudara segala tolan, Tidaklah cukup hamba syairkan, Maklumlah kita dalam peperangan, Rompak jo rebut hamba lihatkan. Nan heran benar hamba pikiri, Bekas peluru orang kompeni, Dilihat di muka segadang16 menjadi, Rompak ke punggung tidak seperti. Sangatlah banyak ummat di situ, Melihat mait satu per satu, Dicampur pula dengan soldadu, Jam pukul tujuh waktu itu. Ya Allah Tuan Rabbani, Hamba kirahi ummat yang mati, Seratus lebih kurang tak jadi, Begitu ingatan hati sendiri. Wahai sahabat tolan saudara, Famili juga nama di kita, Sembilan orang tampak di mata, Dibawa soldadu pagi harinya. Sebelum dibawanya mait yang mati, Air mata keluar tidak seperti, Semacam kain di kelantang rang dobi17, Begitu terjadi hamba lihati. Satu persatu mait lah tentu, Dicari pedati waktu itu, Pembawa mait pengumpul satu, Pekuburan panjang dibikin tentu. Wahai saudara kakak dan adik, Tolong doakan mait yang mati, Jangan berbahaya di belakang hari, Begitu pinta kepada Rabbi. Penglihatan sudah jalan segera, Di Kampung Tengah tibalah hamba, Didapati orang sangatlah sesaknya, Mencari rundingan secara benarnya. Sesudah ayahku dikuburkan orang, Di situ hati bertambah mamang, Setiap hari pagi dan petang, Entah kemana badan terlayang. Tahun seribu tiga ratus dua puluh enam, Situ cobaan nan sangat tajam, Banyaklah mait orang Islam, Waktu perang hari malam. Sampailah ayah dikali tujuh, Datang pula orang mengicuh, Menjemput hamba tak boleh tangguh, Sananlah hati makanya rusuh. Anak berkata sambil terkejut, Wahailah ayah jangan bergulut18, Minum dahulu kopi menghirup, Entah pabila ayah akan surut. Entah pabila ayah akan pulang, Entah ke laut merantau panjang, Minum dahulu ayahku sayang, Anak kan tinggal berhati mamang. Wahailah anak buah hati hamba, Minum dan makan tidak terkawa19, Karena panggilan keras rasanya, Darah pun hilang di dalam dada. Hamba berjalan masa sekarang, Anak menurut pada belakang, Sampai ke lepau ke lebuh simpang, Anak dilihat berhati goyang. Wahailah anak jangan pergi, Pulanglah engkau balik kembali, Aku berjalan di hari ini, Entah kemana badan pergi. Anak perempuan tidaklah mau, Biarlah kami turut soldadu, Tidaklah guna hidup badanku, Sama terkurung biarlah aku. Wahai anakku serta perempuan, Janganlah itu engkau jawabkan, Pergilah pulang rumah berhunikan, Pintakan saja kepada Tuhan. Allahu Rabbi Tuhan yang menang, Anak berbalik kembali pulang, Jadi bercerai tolak belakang, Situ beragak kasih dan sayang. Aku berjalan bergegas-gegas, Matahari terbit hari pun panas, Sebentar tiba di gudang luas, Aku pun masuk hati pun cemas. Takdir Allah Tuhan yang satu. Tuanku Laras tidak di situ, Gudang dihuni oleh soldadu, Apa salahnya tidak ku tahu. Tuan sapiran21 lalu bertanya, Wahai Haji Ahmad nama, Luka di kening ditanyakannya, Lihat di tuan supaya nyata. Sekali lagi ia katakan, Wahailah Haji hendak dengarkan, Pergi ke tangsi segera jalan. Pasang pelenggu opas sarasan22. Hamba menjawab dengan segera, Pasang pelenggu janganlah hamba, Turut parentah hamba pun suka, Hamba dibelenggu apalah guna. Tidak hamba akan nak lari, Apa gunanya pelenggu besi, Hamba pun duduk atas kursi, Tidak berkawan seorang diri. Hambalah duduk pada seketika, Tuan aspiran lalu berkata, Kepada soldadu menyuruh menjaga, Kabarnya banyak mau mencoba. Datang soldadu pula kemudian, Tidak telap di piluru ia katakan, Arwah melayang rasa di badan, Hilang rona terkejut iman. Datanglah pula takdir Tuhan, Pukul satu berbunyi datanglah hujan, Soldadu lari ia berjalan, Hamba pun tinggal pula di sana. Datang soldadu pula sekarang, Wahailah aku baik ke gudang, Hujan pun lebat mata memandang, Hamba pun naik pula sekarang. Dalam beranda tegak berdiri, Datang serdadu membawa kursi, Hamba pun duduk hati lah sunyi, Hujan nan lebat Allahu Rabbi. Sersan Belanda ada kasihan, Rokok bergiling ianya berikan, Api pun tidak apa pikiran, Pada soldadu dia pintakan. Sersan itu sangatlah penyayang, Melihat hamba berhati mamang, Kabarlah banyak hatilah senang, Ganti berganti kabar dibilang. Pukul empat berbunyi sudahlah nyata, Serdadu berbaris membawa hamba, Di tengah baris diletakkannya, Diri berjalan terbang rasanya. Allah Allah Tuhan Rahman. Di nagari Kapau ditapuang23 hujan. Hujan nan lebat tidak bandingan. Kain pun basah dinginlah badan. Allah-Allah Tuhanku Rabbi, Kaki berpijak sangatlah ngari, Sebentar tiba di Bukittinggi, Lalu sekali ke dalam tangsi. Di dalam tangsi duduklah hamba, Badanlah dingin apalah daya, Kainlah basah sekaliannya, Datang jaksa pula menanya. Jaksa bertanya sangatlah garang, Kamu ke Kamang pergi berperang, Diri menjawab habislah tenggang, Arwah di badan rasa terbang. Hamba menjawab pada masa itu, Hamba pun pulang pada hari Saptu, Tidak nak perang maksud diaku, Sebab perempuan ada di situ. Ada seorang pula Belanda, Tubuhnya besar gagah rupanya, Sebuah senapang dipegangkannya, Kemuka aku dientakkannya. Tetapi tidak ia lakukan, Tidak telap di piluru ia katakan, Allahu Rabbi Tuhan yang Rahman, Rasa melayang arwah di badan. Angku jaksa lalu berkata, Kepada tukang kunci Atos namanya, Tutuplah Haji Ahmad nama, Iapun datang lekas segera. Wahailah Haji marilah kita, Sebentar berjalan jadilah tiba, Pintu tutupan dibukakannya, Hamba pun masuk lekas segera. Tiba di dalam duduk sekali, Kain pun basah apalah budi, Badan pun dingin Allahu Rabbi, Baju dipiuh disarungkan sekali. Didapati orang telah bertiga, Kecek mengecek pula di sana, Soldadu datang pada itu masa, Mengatakan berani ialah hamba. Segera pintu orang tutupkan, Badanlah dingin tidak bandingan, Kemudian nasi orang ulurkan, Bak rasa sakam baru dimakan. Semalam itu habislah budi, Kainlah basah apa pengganti, Badan pun dingin jadilah pasi25, Batu keliling di tengan diri. Semalam itu hati pun susah, Badan pun dingin bersahap basah, Dingin nan sangat bukanlah ulah, Begitu nasib takdir Allah. Semalam itu habislah tenggang, Ayam berkokok hampirlah siang, Burung berbunyi waktu datang, Diambil uduk lalu sembahyang. Harinya itu hari Arbaa, Hamba dipanggil engku Jaksa, Di kantor sipir di situ tinggal, Ia menanya nama dan gelar. Lain dari itu tidaklah kabar, Pergilah kamu di mana tinggal, Hamba berjalan opas mengantar, Masuk tutupan ke dalam kamar. Harinya Kamis waktu pagi, Opas lah datang membuka kunci, Tangan berikat pelenggu besi, Diri keluar tangan bertali. Opas membawa tiba di pasar, Lalu sekali ke kantor Tuan Besar, Tiba di situ tidaklah kabar, Tegak di situ ada sebentar. Tuan Besar berkata sedang menekur, Hendaklah kamu bawa kepada kemendur, Hamba berjalan darah berdebur, Hamba di situ duduk menekur. Tuan Seteneng lalu berkata, Wahai Haji Ahmad nama, Mengambil bedil apa sengaja, Demikian kelewang sama serta. Hamba menjawab berlemah kata, Meminta ampun tunduk kepala, Mengambil bedil tidaklah hamba, Mengambil kelewang aku pun ia. Seteneng berkata semasa itu, Kabarnya keras tidaklah judu, Mau memecah kepala aku, Rasa melayang nyawa badanku. Ia berkata sekali lagi, Pergilah engkau ke dalam tangsi, Diri berjalan tangan bertali, Opas mengiring kanan dan kiri. Di dalam tangsi hamba lah tiba, Pelanggu tangan berbuka pula, Hamba kan masuk kamar terbuka, Perasaian untung dikabarkan pula. Hari Jumat pagilah hari, Situ pikiran makanya sunyi, Melihat orang sangatlah ramai, Tolan sahabat kakak dan adik. Hari Saptu waktu siang, Membukakan kunci opas lah datang, Di hari ini engkau ke Padang, Pelenggu besi lalu ia pasang. Hari Saptu waktu pagi, Opaslah datang membuka kunci, Lalu berkata sama sekali, Angku ke Padang di hari ini. Pelenggu besi lalu ia pasang, Tiga belas kami sudahlah terang, Tangan berikat sebelah seorang, Hela-berhela bertegang-tegang. Setengah berempat setengah bertiga, Keluar di tangsi berhela-hela, Opas mengiring berdua-dua, Pergi ke setasiun ianya membawa. Dalam setasiun tibalah kami, Kami di situ tegak berdiri, Menanti tiba kereta api, Orang melihat sangatlah ramai. Allhu Rabbi Tuhan yang kaya, Orang melihat sangat ramainya, Hati nan rusuh tidak terkira, Jatuh ke perut air mata. Sebentar kami ada menanti, Kereta tiba naik sekali, Wallahu ‘alam rusuhnya hati, Entah kemana badan pergi. Allahu Rabbi Tuhan yang menang, Lonceng berbunyi jalan sekarang, Kereta jalan rasa terbang, Sebentar tiba di Padang Panjang. Allahu Rabbi Tuhan Rahman, Di atas kereta turunlah badan, Serdadu menanti dengan barisan, Kiranya diri masuk karapusan. Kerapuan sempit tidak terkira, Ada termuat kami bertiga, Pukul satu berbunyi waktu tiba, Tidak berwuduk sembahyang saja. Kami lah sudah dari sembahyang, Serdadu datang pegang kelewang, Pelenggu besi lalu ia pasang, Kami pun tegak ia membilang. Kami berbaris pula semuanya, Dihalaunya kami seperti kuda, Kiri dan kanan pegang senjata, Masuk setasiun supaya nyata. Semuanya kami naik deresi26, Jalan segera lonceng berbunyi, Cepat kereta Allahu Rabbi, Di Kayu Tanam tibalah kami. Di Kayu Tanam setelah tiba, Perut lah lapar sekaliannya, Dibeli nasi segadang saja, Air di bendar diminta pula. Di Kayu Tanam berangkat sekali, Kencang kereta Allahu Rabbi, Di gudang mesiu tibalah kami, Tiba di situ lah senja hari. Di gudang mesiu setelah tiba, Ke Pulau Air berangkat pula, Kami keluar sekaliannya, Datang soldadu dua orang Belanda. Dibawanya kami ke dalam tangsi, Tiba di situ duduklah kami, Diberinya lapik bantal jerami, Sebuah belik kan tempat nasi. Allhu Rabbi Tuhan yang kaya, Pukul delapan berbunyi pula, Perut lah lapar tidak terkira, Nasi diminta tidaklah ada. Lalu berkata tuan aspiran, Kamu sekarang tak dapat makan, Perut nan lapar tidak bandingan, Air diminta ia berikan. Air pun dapat minum bersama, Hauspun lepas hilang dahaga, Opas berkata marilah kita, Kami lah tegak dengan segera. Opas membawa ada berdua, Kami berjalan dengan segera, Lapik dikepit bantal isinya, Di pintu kamar setelah tiba. Ke dalam kamar masuklah kami, Dikembangkan lapik sama sekali, Bantal nan keras Allahu Rabbi, Kulitnya jangat isinya jerami. Orang Air Bangis ada di sana, Perasaian untung dikabarkan pula, Opas pun datang lalu berkata, Kamu nan jangan buka bicara. Kami telah tidur pula sekalian, Di dalam hati banyak angan-angan, Entah di mana rasanya badan, Dibawa lelap jadi resian. Pukul lima berbunyi hari pun siang, Diambil uduk lalu sembahyang, Sudah sembahyang duduk bersenang, Rundingan banyak berhati mamang. Telah pukul enam kiranya hari, Orang lah datang mengantar nasi, Segantang susu27 ianya membagi, Garam sedikit pemakan nasi. Allahu Rabbi Tuhan yang kaya, Pukul sembilan berbunyi pula, Datanglah nasi serta maca28, Antah dan dedak sama serta. Nasi diambil lalu dimakan, Antah dan dedak ia campurkan, Baru dikunyah ngilu geraman, Begitu nasib perasaian badan. Diberinya bantai sekali dua hari, Bantai tak masak keras sekali, Di situ susah nan tanggal gigi, Begitu untung perasaian diri. Barang nan tua hilang akal, Bantai keras geraman tanggal, Duduk bermenung lalu menyadar, Di dalam hati berapa sesal. Diambil bantal lalu bermenung, Setengah menggigit setengah menapuang29, Setengah menghibau uwai30 nan kandung, Di dalam tangsi begitu untung. Allah-Allah Tuhan Rabbi, Tuan Seteneng datang sekali, Ianya berkata suara tinggi, Sekali jangan diberi nasi. Sekali jangan diberi makan, Biarlah mati dalam tutupan, Kami menekur pula sekalian, Rasa melayang arwah di badan. Ianya berjalan lekas segera, Kami pun menyangkal banyaklah kata, Kita semuanya dimarahi bapa, Janganlah pula masuk ke dada. Waktu malam pukul delapan, Lonceng berbunyi seberapa ketukan, Mandor merentak dengan kemegahan, Orang tangsi diam sekalian. Ada sebulan sesudah itu, Datang berdua pula soldadu, Diambilnya kunci dibukanya pintu, Ia berkata satu per satu. Di dalam kamar keluarlah kami, Tangan berikat pelenggu besi, Opas mengiring kanan dan kiri, Pegang kelewang sama sekali. Di atas kantor setelah tiba, Pelenggu tangan dibukakannya, Tuan besar berkata kepada hamba, Wahailah Haji Ahmad nama. Kesalahan kamu banyak macamnya, Membuat azimat mula pertama. Memberi orang jangan telap di peluru, Menanam di dalam pintu kaporo31. Hamba menjawab berlemah kata, Sekalian perkataan itu tiada, Sekali tidak pekerjaan hamba, Janglah tuan sak dengan sangka. Kabarlah sudah berkata polisi, Kamu keluar sekarang kini, Kami pun tegak lalu berdiri, Segera jalan sama sekali. Tiba di luar duduk sebentar, Situlah hati makanya gusar, Karena kesalahan teranglah kabar, Pikir di hati nagari tinggal. Opas berkata kepada kami, Kamu dipilanggu sama sekali, Pilanggu lekat jalanlah kami, Opas mengiring kanan dan kiri. Ke dalam kamar masuk sekalian, Tibalah pula kami di sana, Banyaklah tanya kiri dan kanan, Tanya menanya perasaian badan. Perasaian hamba sangatlah gadang, Pitanah banyak bukan kepalang, Tuah azimat disebut orang, Menanam azimat di pintu gerbang. Sembilan belas bulan di tangsi Padang, Tuan sekretaris sekali datang, Menanyakan pekerjaan tiap-tiap orang, Tempat lahir diri di minta orang. Aku menjawab duduk bermenung, Tempatku lahir di negeri Semenanjung, Bundaku di situ memberi untung, Jadi bertemu Kamang jo Candung. Sekeretaris datang sekali lagi, Mengatakan pindah ke negeri Betawi, Dua puluh tiga orang sama sekali, Hatilah rusuh apalah budi. Di dalam tangsi kami di keluarkan, Di pasang pelenggu pula sekalian, Diri barangkali kambing jagalan, Opas mengiring kiri dan kanan. Lama di jalan ada sebentar, Tiba di setasiun naik kereta, Di situ hati sangatlah gusar, Pikir di hati kampung lah tinggal. Lonceng berbunyi jalan sekali, Ke Teluk Bayur di bawa kami, Tiba di situ turunlah kami, Dalam setasiun tegak berdiri. Sebentar tegak datanglah kabar, Perentah datang naik ke kapal, Salam bersalam selamat tinggal, Selamat pergi belasan kabar. Pukul sebelas setelah tiba, Kapal berangkat sudahlah nyata, Air mata terbit jatuh ke dada, Entah mau pulang entah tiada. Allahu rabbi Tuhan yang menang, Kapal berjalan umpama kumbang, Sangat cepat rasa terbang, Entah kemana badan terlayang. Allahu Rabbi Tuhan yang rahman, Nazam dikarang perasaian badan, Negeri Makasar tempat kediaman, Sekali lagi tambah perasaian. Tiga tahun lama badan terbuang, Negeri Makasar supaya terang, Tiap waktu menaruh bimbang, Mendengar amanat menyeru pulang. Takdir Allah Tuhan Ilahi, Hari Selasa paginya hari, Diambil kereta jalan sekali, Sudah sembahyang bersimpan diri. Sebentar berjalan jadilah tiba, Naik ke pasar lekas segera, Meminta nasi itu sengaja, Sudahlah makan jalan segera. Tempat kerja lalu dibuka(k), Dilihat arloji mana yang rusak, Supaya diganti mana yang tidak, Diambil perkakas pula pembuka(k). Lama sebentar pula seketika, Opaslah datang kepada hamba, Tegak berdiri lalu bicara, Angku terpanggil sekarang ini. Diri terkejut hatilah mamang, Wahailah udo32 biarlah terang, Hatiku ini supaya senang, Opas menjawab jalan sekarang. Diambil baju lekas segera, Kereta angin lalu dibawa , Di halaman kantor setelah tiba, Naik di kantor lekas segera. Tuan besar berkata masa sekarang, Kamu dipanggil ke negeri Padang , Diri menjawab habis tenggang, Harap dan cemas serta mamang. Tuan besar berkata sedemikian, Jika ada barang hendaklah simpan, Pergi dengan opas hendak turutkan, Di beli tali masuk ke pekan. Diri berjalan masa sekarang, Opas mengiring pada belakang, Dibeli tali pengebat barang, Hati di dalam menaruh mamang. Barang diikat serta peti, Opas melihat tidaklah sunyi, Sudah bersimpan jalan sekali, Pergi dengan opas ke kantor tadi.- Dalam buku asli, halaman terakhir tidak ada . Inilah sebuah karya sezaman (1908) satu-satunya karya anak zaman, anak tokoh, anak pejuang yang sekaligus ikut berjuang tahun 1908 dengan H. Abdul Manan. Syair-Nazam ini dibuat oleh H. Ahmad Marzuki, dimasa beliau di tahan di penjara Padang, setelah di tangkap karena terlibat perang kamang 1908.

3 komentar:

Nasehat Islam mengatakan...

Masya allah

Nasehat Islam mengatakan...

Kalau boleh tau buku asli atau catatan nazam parang kamang itu dimana bisa dilihat ?

Nasehat Islam mengatakan...

Kalau boleh tahu naskah asli nazam perang kamang dimana bisa dilihat ?