“Maryam Chilvalry”
Pengantar Redaksi
Trides, anak dari seorang
Legiun Veteran RI, lahir di Lasi, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam,
Sumatera Barat tahun 1965. Trides seorang sarjana pendidikan,mantan
Kepala Sekolah Dasar, dan peminat sejarah. Di Bukittinggi dia juga dikenal
sebagai budayawan dan wartawan setempat yang produktif menulis.
“MaryamChilvaldry”, sebuah nama yang pemberian orangtuanya empat puluh tahun
lalu,merupakan satu bagian “Trilogi Catatan Usang Sang Juru Tulis”. Cerita
tentang Perang Kamang tahun 1926, menentang pemberlakuan Belasting oleh
Pemerintah Belanda 1908
Novel sejarah ini terdiri dari
25 bab. Guna meringankan pembaca dari pembukaan halaman blog, Redaksi (Cantigi)
akan membagi-baginya lagi secara porposional dengan tidak mengurangi
isinya. Novel karangan Trides ini akan dimuat secara bersambung.
Redaksi merasa perlu memuat
Pengantar oleh Trides, sebab musabab diamengarang novel ini dan usaha-usaha
yang ia lakukan merangkai sejarah dalam bentuk fiksi.
Selamat membaca,
______________________________________
Pengantar dari Penulis
Wahai Ananda!
Simaklah apa yang
telah diperbuat leluhurmu.
Berbuatlah kini & nanti
untuk dunia & akhiratmu
Dan
Muliakanlah Ibumu !
Karena sorgamu
atas keikhlasannya.
[Ttd, Ayahanda]
_____________________________________
Bagian I.
(Larek)
DALAM perjalananku ke rantau Tanah
Semenanjung, tepatnya aku mensunyikan diri di Saremban, namun sebelumnya
saya coba untuk bersembunyi di SungaiUjong jua adanya, sebagaimana yang
disarankan sang inspiratorku Haji AbdulManan guna melengkapi tarikh yang aku
susun setelah kemelut Kamang Berdarah1908 itu.
Pada ‘larekku’, kepergian
meninggalkan kampung ke negeri orang karena sesuatu hal yang tidak memungkinkan
lagi hidup dikampung halaman. Di rantau inilah semua kisah Perang Kamang 1908
aku lengkapi dengan berbagai kejadian,termasuk beberapa kebijakan pemerintah
Belanda dan pengaruhnya di Minangkabau, baik sebelum dan sesudah perang Kamang
tersebut. Dan sedikit pengetahuanku tentang kolonialisasi, imperealisasi
ataupun imperium bangsa Barat di tanah leluhur kita telah turut pula
mengisi relung-relung ‘larek’-ku.
Larek dari kampung halaman
bermula seusai Kamang Berdarah pada tengah malam15 Juni 1908 dan 16 Juni 1908
di Mangopoh yang telah menamatkan riwayat perjuangan para Srikandi. Seusai
Kamang dan Mangopoh berkuah darah, selamalima hari aku bersembunyi di hutan
Bukit Batu Bajak dipinggir kampungku dan bertepian dengan negeri Suliki dan
Suayan Sungai Balantiak di Luhak Limo Puluah Koto.
Dari persembunyianku di hutan
Bukit Batu Bajak itu, komunikasi kami keperkampungan masih tetap ada dengan bantuan
seorang petani peladang dan bahkan dari dia aku mencoba menaksir kembali berapa
jumlah korban perang ditengah malam itu.
Tapi setelah Mak Kari Mudo
menyampaikan pesan Mak Garang Datuak Palindih, seorang Laras di Kamang Hilir
yang berpihak kepada perjuangan rakyat dan memberi uang sekedarnya untuk
bekalku melarikan diri barulah aku menyeberang melintasi Bukit Barisan itu.
“Kata Mak Datuak Garang
kepadaku, Mak Kari Mudo menirukan pesan Mak DatuakGarang ‘kamu harus secepatnya
– larek– melarikan diri dari kampung ini, upayakan kamu selamat untuk
menyeberang ke Malaya’. Dan ini sedikit uang bekalmu dalam perjalanan menuju
rantaumu. Uang ini juga diberikan oleh Mak Dt.
Garang,” katanya padaku.
“Dalam masalah perang ini dan
apapun yang terjadi pada kami biarlah kami yang mempertanggung jawabkannya di
meja hijau Ulando nanti. Dan mengenai pejuang-pejuang kita yang selamat
jangan pulalah kamu hiraukan. Tapi yang perlukamu risaukan adalah risalah
perang ini supaya sampai kepada anak cucu kita nantinya, terutama pada zaman
orang tidak lagi peduli atau memperdulikan hakikat perang Kamang ini dalam
mengusir penjajah dan pengkafiran oleh bangsa asing di negeri yang berbudaya
serumpun Melayu ini,” sambung Mak Kari Mudo untuk terakhir kalinya kepadaku.
“Apakah mamak dan mak Datuak
akan menyerahkan diri ?,” tanyaku kepada beliau.
“Agaknya, seperti itu. Dari
pada dunsanak, anak-kemenakan terutama yang perempuan diancam pihak Ulando
terus-menerus, mungkin lebih baik kami menyerah saja,” jawab beliau.
Sejak itu aku pun mulai menapak
perjalanan rantauku dengan berbagai penyamaran yang aku lakukan. Pada sore
harinya mulailah akau mendaki Bukit Barisan untuk turun di seberangnya menuju
kampung Talang Anau dan Pandan Gadang di Suliki. Dari Suliki aku menyisir ke
arah Mahat dan seterusnya mengikuti aliran Batang Mahat yang bermuara di Batang
Kampar Kanan.
Dengan biduk yang dipergunakan
rakyat di kampung itu aku menelusuri Batang Kampar menuju Sungai Siak sebagai
seorang pedagang yang membawa hasil bumidan sedikit candu, meskipun haram tapi
adalah untuk berjaga-jaga kalau ada pemeriksaan maka dengan memberikan secumut
candu kepada petugas sudah dapat melepaskan diri dari sederetan pertanyaan.
Karena kala itu pemeriksaan terhadap siapa saja keluar masuk sungai
Siak sudah mulai diperketat sebagai akibat dari perlawanan anti belasting
itu.
Selat Malaka aku lintasi dengan
menaiki sebuah tongkang, sejenis perahu kayu ukuran agak besar yang didorong
oleh angin guna membawa barang-barang dagangan. Di atas sebuah Tongkang yang
berbentuk agak persegi panjang itu dan disela-sela tumpukan kulit manis dan
gambir aku duduk dibawah sapaan angin laut di Selat Malaka yang bertiup
lembut, yang membuat mataku lemas dan rasa mengantuk pun menimpa kedua pelupuk
mataku. Rasa mengantukku berperangantara khayal dan fakta yang aku hadapi di
negeri orang nantinya.
Tapi itu tak berlangsung lama,
persis menjelang pertengahan laut, awan hitam menggulung seakan menyapu kami
yang terapung-apung di laut itu. Tapi si Tekong yang sudah berpengalaman, malah
memberikan obat penawar atas kecemasan kami yang berjumlah tujuh orang
menumpang tongkangnya itu.
Tekong mencoba memberikan
penjelasan tentang bentuk-bentuk awan, arah angina dan tipe hembusan angin mana
yang berbahaya dan sebagainya. Setelah angin agak reda, badai sesaat sudah
surut maka kami pun sudah mulai tenang kembali. Pada saat itu aku pun mencari
posisi yang agak aman, duduk menyendiri menatap matahari yang sudah hampir
memperlihatkan jingga di ufuk Barat.
Lama-lama dalam lamunanku
muncul segala pengetahuanku tentang peranan Selat Melaka itu semenjak zaman
purba dahulu kala, dan lamunan itu terus menjalari benak yang berada di bawah
ubun-ubunku ke masa-masa berikutnya. Apalagi pada saat Selat Malaka pernah
menjdi rebutan antara Peranggi di Timur (Malaka), Aceh di Barat dan Demak di
Selatan. Meskipun akhirnya Demak dan Aceh beserta daerah Melayu lainnya
termasuk Bugis bergabung untuk menghantam Peranggi di Melaka,namun gonggongan
meriam-meriam Peranggi itu masih kuat menyalak untuk mendesak pasukan Barat dan
Selatan yang dibantu oleh pasukan Bugis-Makasar,surut kembali ke keratonnya
masing-masing guna menghitung hutang perangnya kepada rakyatnya masing-masing.
Perang itu tentu terjadi di laut ini. Di Laut Selat Malaka ini.
Kebencian dan kekesalanku
semakin memuncak pada saat aku menyaksikan langsung di negeri Malaka bahwa
perairan Selat Malaka semakin menjadi rebutan bangsa asing yang silih berganti
antara imperium Peranggi, Ulando dan Anggarih.Mereka adalah bangsa yang rakus
yang tidak mengenal peri kebangsaan orang lain,dan seenaknya menghujat bangsa
pribumi bahwa sejengkal tanah yang telah didudukinya itu adalah tanah
kerajaannya untuk kejayaan dan kemegahan gerejanya dalam prinsip kolonialis dan
imperealisnya yang terkenal dengan 3-G(Gold, Glory dan Gospel) itu.
Meskipun hanya sejengkal tali
kailku tentang sejarah masa lalu nusantaraku ini lantaran aku tidak
berkesempatan untuk melanjutkan perbekalanku di sekolah yang sedianya untuk
anak-raja-raja itu, akan tetapi seteguk pengetahuanku telah membuat mataku
terbuka tentang kedahsyatan penjajah di negeriku. Misalnya saja sesudah
perang Kamang dan Mangopoh 1908, maka pada tahun 1915 pemerintah Ulando
mengeluarkan peraturan agraria yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak
ditempati jatuh pada hukum pemerintah (Red: baca tanah negara), dengan sendirinya
konsep tanah adat (ulayat) tidak diakui lagi.
Begitulah sekelumit lamunanku
sewaktu mengharungi Selat Malaka kebanggaan nusantara.
Sampailah aku di negeri yang
dituju. Tidak lama berada di negeri jiran melalui sahabat dan karib kerabat
Inyiak Manan di Sungai Ujong, dimana tempat aku ditampung aku dapatkan sebuah
dokumen baru berupa laporan kontrolir Oud Agam kepada atasannya. Laporan L.C.
Westenenck kepada Gubernur Jendral Ven Heutszdi Batavia melalui telegram
tanggal 17 Juni 1908, kemudian disusul laporan Gubernur Sumatera Barat Heckler
No. 1012 tanggal 25 Juni 1908. Adalah tidak mengurangi arti apabila aku
kutipkan pada bahagian ini.
Westenenck dan Heckler
memberikan sebuah gambaran bahwa “... suasana malam pada saat terjadi
pertempuran di Kamang 15 Juni 1908, seumpama satu malam dimana jurang antara
ras manusia dengan segala kekuasaannya sudah tidak adalagi, yang ada cuma
kelompok kemarahan yang saling bertentangan di dalam dirimanusia-manusia yang
bertatapan dengan buasnya melalui kerlipan bintang bintang di langit. Siap
untuk saling membunuh diantara kelompok yang bertentangan itu.”
Laporan L.C. Westenenck dan
Gubernur Sumatera Barat Heckler tersebut terkesan meminta pembenaran atas
tindakan yang diambilnya untuk menjalankan rodi dan belasting, meskipun banyak
menelan korban dipihak prajuritnya pada malam 15Juni 1908 dalam “Pemberontakan Kamang 1908” yang lebih dikenal
rakyat umum dengan sebutan “Perang Kamang 1908” itu.
Barangkali ini pulalah sebabnya
pertimbangan Haji Abdul Manan mempercayai aku sebagai juru tulis yang kadang
kala sebagai juru bicaranya.
“Apakah faktor ini pula yang
membuat Siti Maryam, terpaut hatinya dan tergantung angan fikirannya padaku?”
Pertanyaan itu akhir-akhir ini sering pulamenghisasi kegalauanku. Sering sosok
Maryam membayangi kesendirianku, seringpula aku bertanya dalam hati, menyurat
dalam bathin dalam kehanyutan khayalku pada orang yang aku cintai itu.
Pada suatu petang, sewaktu aku
telah bermukim di Bandar Saremban NegeriSembilan kembali anganku melayang
kepada gadisku, Siti Maryam.
“Maryam, dimana kau berada
sekarang?”
“Di hutan manakah mayatmu
terkapar, atau di penjara manakah tubuhmu diusai dan diurai para pembesar atau
sapir-sapir Ulando itu. Sehingga aku tidak lagi mendengar kabar berita darimu
sampai saat ini ?
Tahukah engkau, Maryam!
Beginilah nasibku sebagai petualang kalam, sebagai seorang juru tulis, pada
saatnya kini aku kehilangan jejakmu di belantara kegalauan. Untuk kamu ketahui,
Maryam. Kini petualanganku telah berakhir.Kalamku telah patah, dawatku telah
kering, dan lenteraku pun telah padam dalam penjelajahanku. Aku telah
kehilangan jejak tentang kamu dan srikandi srikandi lainnya dari Tanah Kamang.
Aku tak dapat lagi melanjutkan penjelajahanku dalam pencaharian khayalku
tentang dirimu, Maryam ! Cuma satu hal yang harus kamu ketahui, Maryam. Semoga
saja ‘catatan sebagai seorang juru tulis’, tentang Perang Kamang 1908 yang
aku kisahkan di atas kertas-kertas ini, dari tempat pengasinganku di tanah
Semenanjung Malaya ini dapat sebagai petunjuk bagi orang orang sesudahku dalam
pencahariannya, dihutan mana dan disungai apakah terbaringnya jasadmu wahai...
gadisku, Siti Maryam.
‘Wahai, gadisku!’. Kamu
bagaikan bintang yang datang di malam hari. Keganti damar salatin akan sejarah
di negeri ini. Wahai, gadis Bonjol-ku !, dengan segala keterpaksaan aku jelang
rantauku, “larek” dari kampung demi menjalan amanah terakhir untuk anak cucu
kita.
‘Sekali lagi untuk kamu ketahui
Maryam, dilihat kepada untung dan perasaianku, maka tidak obahnya seperti
tongkang yang aku tumpangi sewaktu menyeberangiSelat Malaka duhulu.
“Tongkang kecil muatan penuh
serat muatan kulit lokan.
Dagang miskin merantau jauh
yang meratap sepanjang jalan.”
“Wahai...!, srikandiku,!
songsonglah aku ‘si Juru Tulis’ di pintu sorgamu... !
Sorga yang telah dijanjikan
Allah, Swt kepada orang-orang yang ikhlas berjuang.
Berjuang di jalan-Nya !”
“Bamulo hati mako kaibo, badan
di rantau bilo kapulangnyo.
Walau kakariang aia di
talago, rindu ka adik batambah dalam juo.
Hari paneh cando kariak,
mahampehnyo ka tapi juo.
Lah putuih hati dek taragak,
denai bajalan batambah jauah juo.
Mandaki jalan ka
Canduang, mamutuih jalan nan ka Lasi.
Saketek sasa ka
nan kanduang, denai digantuang indak batali.
Bermula hati maka akan
hiba, badan di rantau bila akan pulangnya.
Walau akan kering air
di telaga Rindu ke adik bertambah dalam jua.
Hari panas seperti akan
riak menghempas ke tepi juga.
Lah putih hati karena teragak
(rindu), awak berjalan bertambah jauh jua.
Mendaki jalan ke
Canduang, memutus jalan yang ke Lasi.
Sedikit sesal kepada nan kandung, awak digantung tidak bertali
______________________________________
Bagian II.
(Gadis Berkerudung)
SURAU di Kamang dewasa itu tidak obahnya seperti
suaru-surau lainnya diMinangkabau,
sebagai centra pengalohan keagamaan, pemikiran dan sosial. Potensi perguruan di
surau terletak pada hubungan organisasinya yang luas, melampaui batas-batas
nagari, dan tidak terikat pada struktur pemerintahan nagari, laras dan
pemerintah penjajahan. Murid muridnya memiliki mobilitas yang tinggi dan banyak
berteman dengan anggota-anggota tarekat di seluruh daratan Minangkabau.
Bagi Inyiak Manan dan suraunya di kampung Budi,
keberlangsungan dan merupakan keberlanjutan dari si’arnya tarekat Stariyyah
dari pendahulunya yang bersuarau di kampung Bansa, yaitu Tuangku Nan Renceh.
Tuanku Nan Renceh adalah jembatan untuk bangkitnya semangat anti penjajah yang
dikhawatirkan ketika itu, karena sifat penjajah Belanda yang terkenal seperti
“Belanda meminta tanah”. Kalau kekuasaannya semakin mengakar, maka persoalan
pemurtadaan orang Minangkabau dengan upaya pengkristenannya akan berlangsung
pula. Inilah akar kebangsaan yang berbasis agama.
Uniknya Surau Haji Abdul Manan itu termasyur bukan
saja karena pendidikan Islam yang diajarkannya, melainkan juga karena di surau
itu para murid dibekali dengan berbagai kepandaian duniawi, seperti
keterampilan ilmu persilatan, permainan pedang, berkuda, ilmu meringankan
tubuh, ilmu menghilang dan kebal senjata tajam pun ada. Jauh hari sebelum
kepulangan Haji Abdul Manan dari rantaunya di Sungai Ujong Malaya, Haji Musa
kakak Haji Abdul Manan merupakan ulama yang berpengaruh pula di Kamang. Dengan
keberadaan Haji Abdul manan maka Haji Musa pun berperan aktif mendukung segala
aktifitas adiknya itu.
Pada suatu hari datanglah seorang perempuan muda
yang elok rupa, cerdas pembawaannya dan fasih bicaranya serta sopan tutur
katanya ke surau di kampung Budi menemui H. Abdul Manan. Gadis itu datang
dari kampung Hanguih Bonjol.
“Assalamu’alaikum...!” Salam pembuka meluncur dari
mulut Siti Maryam yang jauh jauh datang dari kampungnya sewaktu menapakkan
kakinya di Surau H. Abdul Manan.
“Wa’alaikum Salam Warahmatulllahi Wabarakatuh!”. Serentak dan tanpa komando orang yang berada di atas surau.
“Wa’alaikum Salam Warahmatulllahi Wabarakatuh!”. Serentak dan tanpa komando orang yang berada di atas surau.
Surau kecil berada diantara pinggir ladang dan
sawah. Untuk ke surau, melalui pematang sawah. Kiri kanan terdapat kolan ikan.
Sebuah pelataran berbatu yang terdapat kolan kecil untuk membasuh kaki sebelum
naik ke surau. Di sebelah kiri surau, terdapat gubuk kecil. Di gubuk itulah
orang berudhu dan membuang hajat.
Surau itu menghadap daratan sawah yang aman luas.
Jauh dilayangkan pandangan, tampak gususan Bukit Barisan sbagai benteng alami
yang melindungi kawasan itu. Di belakang surau, Gunung Marapi seakan mengawal
perkampungan disitu.
Uniknya surau itu dimasuki dari belakang belakang, melewati dapur. Setelah melewati lorong pendek, barulah berada di muka surau. Ruangan yang cukup lapang di surau itu untuk sholat dan mengaji. Disinilah ruangan inilah pengajian dan perilmuan dilaksanakan.
Pelan - pelan mereka menuju kamar Tuangku, sementara Maryam berjalan menundukkan kepala sambil membetulkan kerudungnya yang jatuh ke bahunya. Di paviliun itu terdapat ruang tamu.
Dehem Guru Tuo mensontakkan khayalan para santri pria yang sedang berkecamuk fikirannya antara membayangkan kedatangan seorang bidadari untuk menggairahkan malam pengajiannya di surau dengan kekhawatirannya kepada dara jelita itu sebagai musuh dalam selimut.
Dikemudian hari Maryam mengetahui bahwa Haji Musa kakak sepupu dalam pertalian adat dengan Haji Abdul Manan, Datauk Rajo Pangulu tokoh ninik mamak dari Kamang Hilir, sedangkan Wahid Kari Mudo kemenakan dari Garang Datuak Palindih, Laras Kamang Hilir adalah juga dari Kamang Hilir, dan Haji Ahmad anak Haji Abdul Manan dengan istrinya dari Bukik Batabuah, antara Lasi dan Kubang Putiah Banuhampu.
Tak lama berselang Datuak Rajo Pangulu, memecahkan kebekuan suasana dengan bertanya kepada Siti Anisyah.
“Siapa gerangan gadis di samping Kak Anisyah ini ?”
“Iya, Mak Datuak !, nama ambo Siti Maryam. Dan kampung ambo seperti yang telah dikatakan etek Anisyah tadi, Mak Datuak !,” jawab Maryam.
“Di Kampuang Hanguih ?” timpal Mak Kari Mudo.
“Betul, Mak Kari !,” kata Maryam. Sementara itu, pemuka masyarakat yang sejamba itu saling berpandangan, namun tidak mempersoalkan dan memperbincangkannya.
Dalam sebuah perhelatan orang Minang makanannya di atas sebuah dulang yang terbuat dari kuningan atau piring porselen besar seperti talam. Piring porselen besar ini dilihat dari motifnya sudah dapat dipastikan bahwa benda itu diproduksi China. Semakin tua dinasti yang membuatnya maka semakin mahal dan bernilai harga. Sewaktu makan di sekeliling piring besar itu, dinamakan dengan makan sejamba. Jumlah orang yang makan sejamba atau dalam satu dulang itu sebanyak enam orang. Tamu berempat orang, tetua jamba satu orang dan anak muda yang melayani lauk pauk dan nasi.
Agaknya, nama Kampuang Hanguih mempunyai kisah tersendiri yang mengingatkan suatu cerita yang diwarisi dari perawinya. Bagi Maryam, melihat gelagat apalagi terlihat sekilas perobahan sinar wajah pemuka dia temui itu juga menjadi tanda tanya pula, kecuali Inyiak Manan yang terlihat tenang dan kalem.
“Apakah Inyaik dan mamak-mamak mengenal kampuang ambo tersebut ?,” tanya Maryam.
“Ya !, kami sangat mengenalnya. Tapi tak usahlah kita teruskan tentang kampung asalmu itu, nanti pada kesempatan lain akan kami ceritakan perihal kampuang Hanguih tersebut, sejauh yang kami ketahui pula !,” pintas Tuangku Haji Abdul Manan.
“Lalu apa gerangan maksud ananda datang ke sini ?,” tanya Haji Abdul Manan.
“Ambo datang ke surau ini membawa hasrat yang sangat besar Nyiak!,” jawab Maryam.
“Kalau boleh kami tau, apakah gerangan maksud ananda itu ?,” tanya Tuangku lagi.
“Ambo berniat untuk belajar di sini, yaitu kepada Inyiak,” jawab Maryam sambil mengangkat wajahnya ke arah Haji Abdul Manan.
“Mau belajar apakah gerangan kamu dengan saya ?”
“Saya ingin memperdalam ilmu agama dan ilmu beladiri serta ilmu-ilmu lainnya yang dianggap perlu dan penting untuk saya, Nyiak !,” jawab Maryam.
Tuangku Haji Abdul Manan termangu sejenak memikirkan maksud gadis ini, tapi yang membebani pikirannya adalah mengenai niat Maryam untuk belajar bela diri yang tentu nantinya bukan semata belajar silat, sudah pasti anak ini juga menuntut untuk diajarkan bermain pedang, menunggang kuda dan sebagainya, karena “kilek baliuang lah ka kaki, kilek camin lah ka muko. Kilek bayan kato sampai” (Kilat beliung/cangkul telah ke kaki, kilat cermin telah ke muka/wajah). Kata kiasan telah dipahami dari ujung perkataan Siti Maryam itu.
Haji Abdul Manan tidak menggubris niat Maryam tersebut, malahan Tuangku meloncat kepertanyaan berikutnya,
“Tapi, kepergian ananda ke sini apakah sudah seizin kedua orangtua ananda ?.”
“Sudah. Nyiak !”
“Dari mamaknya ?,” tanya Haji Abdul Manan lagi. (Mamak / mak = paman)
“Sudah, Nyiak ! Bahkan dari dunsanak ambo dan keluarga lainnya sudah ambo sampaikan maksud ini, dan mereka mengizinkannya, Nyiak!,” jelas Maryam. (dunsanak = saudara)
“Kalau begitu kenapa kamu datang sendirian saja, tidak diantar oleh salah seorang keluargamu, apalagi yang laki-laki,” tanya Kari Mudo.
“Ya, apa salahnya jalan sendiri saja, Mak ?,” balas Maryam.
“Kamu ini kan seorang gadis, tidak baik bepergian sendirian, apalagi berjalan jauh menuju kampung orang lain. Mana tau ditengah jalan kamu diganggu, dianiaya, dirampok, dirampas dan dinodai orang,” timpal Datuak Rajo Pangulu.
“Apalagi, kalau bertemu dengan opas Ulando (Belanda) yang kebetulan sedang kontrole, atau oleh pembantu pembantu si ‘kapia’ (kafir) itu, seperti dubalangnya tuangku lareh dan dubalang angku palo, kan bisa celaka kamu jadinya !,” belalak Kari Mudo sambil mengericutkan gerhamnnya.
Tanpa terputus Maryam melanjutkan keterangannya, “...Mengenai kesendirian ambo melakukan perjalanan panjang ini adalah sesuatu yang terbaik menurut keluarga kami, sebab kalau kami datang berombongan tentu kami melewati jalan umum yang agak ramai, sehingga akan banyak bertemu dengan orang-orang, termasuk pihak Ulando sendiri, tapi kalau hanya sendirian tentu upaya penyamaran mudah dilakukan guna menghindari kecurigaan orang orang itu.”
Mendengar ucapan ‘gadih jolong gadang’ (gadis baru besar/remaja) nan berkerudung itu, pemimpin adat dan agama di bilik itu geleng geleng kepala saja sambil menundukkan wajahnya.
“Lalu, bagaimana cara kamu bisa sampai di sini ?,” tanya Anisyah lagi.
“Ambo melakukan penyamaran, Tek!”
“Kamu terlalu berani, Maryam! Dan bagaimana caramu menyamar itu ?,” desak Anisyah lagi.
“Begini Tek! Sesampai di perbatasan Batang Palupuah dengan Kamang ambo diantar oleh ayah dan ibuku dengan cara berpura-pura sebagai orang mau pergi ke ladang dan waktu telah lewat lohor kami pun seperti orang pulang dari ladang namun arah kami tetap menuju ke Kamang ini. Sesampai di perbatasan kami telah ditunggu oleh Mak Etek dan saudaraku yang laki-laki.
Setelah mendapat petunjuk untuk bisa sampai di surau ini dan menceritakan hasil pemeriksaannya sampai ke sini tadi siang, ternyata perjalanan ke sini aman. Walaupun ambo berjalan sendirian saja, tak masalah. Sehingga ayah, ibu, mamak dan saudara ambo kembali pulang. Kami pun bertolak punggung.”
“Lalu dari perbatasan untuk sampai ke sini apa upayamu,” lanjut Siti Anisyah lagi.
“Sewaktu ambo lewat ladang orang, sekiranya ada orang di sekitar ladang itu, maka ambo ‘mambebek’, seolah-olah ambo mencari kambing yang lepas. Dan sewaktu ambo melewati persawahan, dan pada saat ada sesuatu yang mencurigakan, maka kadang-kadang ambo berpura-pura menyiangi padi yang baru ditanam atau berpura-pura ‘mangaro’, mengusir burung di padi yang masak. Bahkan ambo seperti orang mengahalau itik, Tek !”
“Jadi kau kah itu..., di sawah sana... tadi seperti orang mencari itik itu ?,” tanya Anisyah lagi dengan antusiasnya.
“Iya, Tek!, sehingga ambo sampai di halaman Surau ini, Tek,” jawab Maryam.
“Luar biasa kamu Maryam,” komentar Haji Abdul Manan.
“Tipuanmu hanya sederhana, tapi sangat memukau !,” tukas Datuak Rajo Pangulu.
Kari Mudo mangangguk angguk saja dengan ketersimaannya. Haji Abdul Manan tak putus-putusnya menatap Siti Maryam, seolah sedang melepaskan pandangan bathinya terhadap nyali dan kecemerlangan Siti Maryam. Di wajah Siti Anisyah pun terbayang suatu kegembiraan bahwa seolah dia telah mendapatkan kader atau relawati baru dalam menjalankan misinya sebagai tenaga propaganda menentang kekuasaan tirani penjajah asing yang bersuara ke hidung, sengau itu.
Di surau para murid muda gundah antara mengahapl kaji, dan rasa ingin tahu tentang tamu yang elok ruapanya itu. Meninggalkan pelajaran, kawatir dihukum oleh guru, tapi rasa ingin tau lebih kuat dorongannya.
Namanaya manusia, apalagi anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang penuh dengan segala ingin tau apalagi ada sesuatu yang asing dilihatnya. Untuk mencari tau sering pula anak-anak melakukan sesuatu yang usil. Tidak terkecuali anak-anak di surau.
Si Magek (mungkin Megat) yang suka usil diantara mereka, tak bisa menahan hasrat hatinya. Dia bangkit dari duduknya, singsingkan kain sarungnya. Ia ajak tiga orang sebayanya. Mereka berpura-pura turun ke halaman untuk buang hajat.
Ruang tamu pavliun itu, berdinding papan. Pada salah satu dinding papan, berlobang oleh mata kayu. Lobang itu pas berada di ruang tamu. Megat telah memperbesar lobang itu, dan menutupnya dengan tanah.
Sudah agak beberpa lama mereka tidak kembali ke atas surau untuk melanjutkan pelajarannya, kepala guru tuonya bagaikan kepala capung, lihat ke kiri dan lihat ke kanan tapi pasukan si Magek tidak juga kembali. Setelah ditanya kepada ikhwan yang lain, semuanya menjawab tidak tau. Pikiran si guru tuo mulai melilit akalnya. “Pasti ada sesuatu, tapi kenapa perasaanku tidak cemas, ya !” Antara pikiran dan perasaan mulai melilit akalnya. Tapi, dia tau, si Megat banyak akalnya, dan merupakan murid yang paling cerdas diantara yang lainnya.
Untunglah sang guru tau dengan tabiat, prilaku anak-anak asuhnya, maka dengan pura-pura ingin buang hajat pula si guru tuo turun ke halaman. Dengan mengintip-intip si guru tuo memeriksa sekitar ‘jamban’, kakus. Ternyata pasukan Magek tidak ada, si guru tuo kembali ke tepi surau.
Guru tuo melanjutkan pemeriksaan ke sekeliling surau, semakin dekat ke arah mighrab surau terbayang sosok berkelabat di dinding. Setelah didekati ternyata benar. Pasukan si Magek sedang bergelantung di dinding, merayap mengintip-intip di celah lobang kayu yang sudah dilobangi. Pusing juga si guru tuo, bagaimana menyuruh mereka turun. Kalau langsung di tegor sudah pasti anak-anak ini terkejut, jatuh dan celaka.
Si guru tuo menurutkan langkahnya, dan menunggu mereka. Si guru tuo mendehem dan batuk-batuk kecil, namun dia tetap mengawasi ke tempat anak-anak itu dari balik rumpun kopi. Tak hayal lagi pasukan si Magek melompat dan lari, langsung naik ke atas surau. Setelah mengambil udhuk guru tuo menyusul mereka ke atas surau.
Pelajaran anak-anak dilanjutkan kembali. Si guru tuo benar-benar pura-pura tidak tau atau darimana dan apa yang dikerjakan oleh si Magek bersama kawan-kawannya. Karena si guru tuo tidak mau proses pembelajaran waktu itu terganggu dan sekaligus tidak mempermalukan pasukan agresif ini di depan teman-temannya yang lain. Apalagi nanti akan dihujani oleh cemooh dan celaan kakak seperguruannya saat itu.
“Maryam...!, tadi kamu mengatakan bahwa datang ke sini ingin memperdalam ilmu agama, ilmu bela diri atau silat dan ilmu-ilmu lainnya yang bermanfaat, bukan ?,” Haji Abdul Manan yang mencoba kembali ke pokok persoalan kedatangan Siti Maryam.
“Betul adanya, Nyiak !,” jawab Maryam.
“Maryam...?,” panggil H. Abdul Manan lagi.
“Kalau kamu ingin memperdalam pengetahuan agama, itu sangat saya setujui. Tetapi kalau ingin memperdalam ilmu selain ilmu agama adalah sangat mengherankan kami. Baru sekali ini kami mendengar permintaan seorang gadis di luar kampung ini jauh-jauh untuk mendalami ilmu persilatan,” kata Haji Abdul Manan yang mencoba mematahkan niat Siti Maryam.
Mendengar pernyataan Tuangku itu Siti Maryam seakan berada diatas titian antara perasaan malu karena dia merupakan pengecualian sebagaimana yang dijelaskan Haji Abdul Manan dengan perasaan sedikit tersinggung, seakan niat hatinya telah ditolak. Maryam mencoba menampik kedua perasaannya itu.
"Maafkan ambo Nyiak ! Kalau ambo ingin memperdalam ilmu persilatan apa salahnya Nyiak ? Apakah kurang kecakapan saya dari seorang laki laki ? Apakah ilmu persilatan itu hanya miliknya kaum laki-laki ? Apakah Inyiak dan mamanda, (sambil menoleh kepada Dt. Rajo pangulu dan Kari Mudo) keberatan untuk mengajar saya tentang ilmu persilatan itu ?” Bertubi-tubilah pertanyaan Siti Maryam jadinya.
Orang yang hadir dalam kamar Tuangku Haji Abdul Manan itu terpaku saja, termakan buah simalakama jadinya. Justru semangat semacam inilah yang diharapkan, namun bagaimanapun dia adalah seorang gadis perempuan yang harus dilindungi oleh kaum laki-laki, bukannya dididik dan diasuh sebagai pejuang yang pemberani.
“Kalau begitu..., baiklah !”
“Cobalah kamu pikirkan lagi masak-masak. Telungkup-telentangkanlah kembali tentang niatmu itu agak sehari-dua ini !,” pintas Haji Abdul Manan.
“Dan bagi kami, biarlah kami coba pula untuk merenung-renungkannya,” sambung Haji Abdul Manan lagi.
“Kalau begitu kata Inyiak, baiklah ! Bagi ambo sulit kiranya merobah niat ambo semula, sehingga dari jauh ambo datang kesini hanya untuk mewujudkan niat ambo itu, Nyiak !,” tukas Siti Maryam.
“Insyaallah, anakku ! Tapi fikir itu kan pelita hati. Tidak baik melangsungkan sesuatu itu dengan cara terburu-buru,” jawab Haji Abdul Manan pula.
“Kalau begitu kami mohon diri dulu Nyiak, Mak Datuak, Mak Kari dan Tuan Haji,” pamit Siti Maryam kepada semua orang berada dalam kamar itu.
Tetapi kepadaku sikapnya agak berbeda, sewaktu akan beranjak untuk berdiri sambil menekur dia melayangkan sudut matanya sambil sedikit menganggukkan kepalanya sebagai isyarat kepamitannya dari ruangan itu kepadaku.
Serasa akan putus tali jantungku memandang seulas senyum dan selayang pandang gadis berkerudung itu, sehingga aku agak risih dan resah juga jadinya. Dengan serta merta saya mengangguk kecil pula untuk menjawab salam pamitnya dan cepat-cepat memandang ke arah tokoh-tokoh pergerakan di sekitar aku itu. Kalau-kalau mereka memperhatikan pula perobahan tingkah pada diriku karena keterpesonaanku pada gadis yang bernama Siti Maryam itu.
Siti Anisyah berdiri diiringi pula oleh Siti Maryam dan berlalu dari kamar yang berukuran kira-kira tiga kali empat setengah meter itu. Siti Anisyah membawa Siti Maryam ke rumahnya.
Megat dan kawan-kawan menghamparkan lapiak (tikar) masing-masing. Tapi tiga diantaranya, tidak bisa memejamkan matanya. Megat bengkit, duduk mancakung. Pikirannya menarawang ke ruang tamu di pavaliun. Wanita cantik didalamnya. Melihat Megat bangun, dua temannya yang menyertainya, bangun pula. Ketiga membicarakannya, disertai yang lainnya turut mendengarkannya.
Terdenagr langkah – langkah kaki mendakat. Makin lama makin jelas, berderak-derik menginjak lantai papan. “Belum tidur kalian,” bentak guru tuo.
Ruangan itu menjadi sunyi. Guru tua berlalu, menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“Ya, sudah ! Sekarang taukah
kalian bahwa perbuatan kalian itu adalah salah, juga mengandung resiko ?”
Uniknya surau itu dimasuki dari belakang belakang, melewati dapur. Setelah melewati lorong pendek, barulah berada di muka surau. Ruangan yang cukup lapang di surau itu untuk sholat dan mengaji. Disinilah ruangan inilah pengajian dan perilmuan dilaksanakan.
Di samping ruangan
ini, terdapat sebuah semacam rumah kecil, paviliun. Disinilah Tuanku Guru
tempat istirahatnya.
Setelah beberapa
saat lamanya beristirahat melepaskan engahnya di tempat berkumpulnya kaum
perempuan yang berada di belakang tabir pembatas saf laki-laki, Siti
Maryam mencoba memberanikan diri maju ke arah mi’rab untuk menemui seseorang
yang sedang bertelekan di atas sajadah dengan kaki yang menyimpuh ke arah kiri,
sebagaimana duduk tawadu’ orang orang suluak
Namun, tiba-tiba dara manis ini mendapatkan semacam isyarat dari seorang pemuda yang sedikit lebih tua darinya yang duduk di deretan belakang mi’rab mencegah Maryam untuk maju ke tempat yang ditujunya.
“Ssst...!” Sambil menegakkan jari telunjuk kanan di depan bibirnya dan secepat itu pula kedua tangannya mengisyaratkan untuk duduk kembali, kemudian dengan suara berbisik pria ini berucap pelan.
“Jangan dulu menemui Tuangku. Nanti sajalah selesai shalat ‘Isya menemui beliau. Sekarang Tuangku lagi beri’tiqaf.
Namun, tiba-tiba dara manis ini mendapatkan semacam isyarat dari seorang pemuda yang sedikit lebih tua darinya yang duduk di deretan belakang mi’rab mencegah Maryam untuk maju ke tempat yang ditujunya.
“Ssst...!” Sambil menegakkan jari telunjuk kanan di depan bibirnya dan secepat itu pula kedua tangannya mengisyaratkan untuk duduk kembali, kemudian dengan suara berbisik pria ini berucap pelan.
“Jangan dulu menemui Tuangku. Nanti sajalah selesai shalat ‘Isya menemui beliau. Sekarang Tuangku lagi beri’tiqaf.
Melihat reflek dan mendengar ucapan
pemuda yang berperawakan agak sempurna itu Siti Maryam tersurut, dan kembali
berlalu ke tempatnya semula. Maryam berfikir sejenak, “barangkali pemuda itu
adalah tangan kanannya Inyiak Manan. Kalau tidak, kenapa dia berani
memperingatkan saya sedangkan masih banyak pula pria lain dibarisan syaf itu.
Bahkan saya sudah melewati dua saf tidak satupun yang menegor. Dialah yang
aktif untuk menjaga adab adab di surau ini” dalam hatinya.
Tak lama antaranya
terdengarlah suara ‘tabuah’ (beduk) bertalu-talu menandakan waktu Magrib telah
masuk. Orang-orang yang berada di atas suaru mulai turun untuk mengambil wuduk,
Maryam pun tidak berdiam diri.
Selesai shalat
Magrib berjamaah para murid H. Abdul Manan duduk mengelompok di atas surau.
Mereka duduk mengelompok sesuai dengan tingkatan kaji dan kitab yang
dipelajarinya. Masing-masing kelompok didampingi dan dipandu oleh seorang Guru
Tuo. Namun Maryam kebingungan, ke kelompok mana dia harus bergabung karena belum
menjadi murid Tuangku. Maryam gelisah, gusar dan mau bertanya, apa yang mau
ditanyakan dan kepada siapa seharusnya bertanya karena orang-orang di suaru itu
telah mengambil posisinya masing masing. Tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Seorang ibu yang
masih muda mencoba menghampiri Maryam. Ibu muda berbisik kepada Maryam
menyampaikan perintah Tuangku.
“Maryam, kamu
dipanggil Tuangku ke kamarnya. Baliau ingin menanyakan maksud kedatangan kamu
ke sini.”
“Ya, baiklah Tek !,” jawab Maryam. (tek atau etek = tante).
“Ya, baiklah Tek !,” jawab Maryam. (tek atau etek = tante).
“Ayo!, Kamu tak usah gugup, saya akan
menemanimu !,” sambung si ibu itu lagi.
Ya, Tek. Terimakasih, Tek !,” jawab Maryam lagi.
Ya, Tek. Terimakasih, Tek !,” jawab Maryam lagi.
Pelan - pelan mereka menuju kamar Tuangku, sementara Maryam berjalan menundukkan kepala sambil membetulkan kerudungnya yang jatuh ke bahunya. Di paviliun itu terdapat ruang tamu.
Di depan pintu kamar
Tuangku, si ibu muda itu batuk-batuk kecil dan kemudian mengucapkan salam.
Selepas itu terdengar jawaban salam dari dalam kamar.
Selepas itu terdengar jawaban salam dari dalam kamar.
“Kamukah itu Anisyah
? Silahkan masuk !”
Sesaat sel-sel dalam syaraf otak Maryam mengerayap, bahwa nama ibu muda itu adalah Anisyah. “Anisyah rupanya nama ibu ini” percikan memori otak Maryam.
Sesaat sel-sel dalam syaraf otak Maryam mengerayap, bahwa nama ibu muda itu adalah Anisyah. “Anisyah rupanya nama ibu ini” percikan memori otak Maryam.
Anisyah dan Maryam
masuk ke kamar Tuangku, sambil membuka pintu dan melangkahkan kaki kanannya,
mereka kembali mengucapkan salam.
“Wa’alaikum Salam
Warahmatulllahi Wabarakatuh ! Jawab orang-orang yang berada di dalam kamar
serentak.
“Duduklah !,” Kata
Tuangku.
“Ya! Terimakasih Nyiak !, ” Jawab Anisyah dan Maryam.
Mereka pun duduk bersimpuh sebagaimana layaknya duduk kaum perempuan Minang, di hadapan Tuangku Haji Abdul Manan yang didamping Datuak Rajo Pangulu, Haji Musa dan Haji Ahmad, Kari Mudo dan aku sendiri.
Di ruangan tersebut sudah berada para ikhwan yang duduk mengelompok memandang kearahnya dengan heran karena ada seorang dara asing yang boneh (elok), dan dari balik kerudungnya terpancar jirus mukanya yang molek sedang didampingi Siti Anisyah menuju kamar Tuangku.
“Ya! Terimakasih Nyiak !, ” Jawab Anisyah dan Maryam.
Mereka pun duduk bersimpuh sebagaimana layaknya duduk kaum perempuan Minang, di hadapan Tuangku Haji Abdul Manan yang didamping Datuak Rajo Pangulu, Haji Musa dan Haji Ahmad, Kari Mudo dan aku sendiri.
Di ruangan tersebut sudah berada para ikhwan yang duduk mengelompok memandang kearahnya dengan heran karena ada seorang dara asing yang boneh (elok), dan dari balik kerudungnya terpancar jirus mukanya yang molek sedang didampingi Siti Anisyah menuju kamar Tuangku.
Para ikhwan saling
bertanya dengan berbisik-bisik. “Siapakah gerangan gadis itu ? Apakah dia
seorang mata-mata Ulando yang ditangkap Etek Anisyah ?” Namun, semua pertanyaan
mereka itu tak satupun dapat memberikan jawaban. Dalam keheranan itu maka Guru
Tuo, sebagai pembantu guru utama dalam pengajian itu cepat arif dan mengambil
alih suasana.
“Khmmm..!,” tertengar dehem, batuk kecil si Guru Tuo.
“Khmmm..!,” tertengar dehem, batuk kecil si Guru Tuo.
Dehem Guru Tuo mensontakkan khayalan para santri pria yang sedang berkecamuk fikirannya antara membayangkan kedatangan seorang bidadari untuk menggairahkan malam pengajiannya di surau dengan kekhawatirannya kepada dara jelita itu sebagai musuh dalam selimut.
Dikemudian hari Maryam mengetahui bahwa Haji Musa kakak sepupu dalam pertalian adat dengan Haji Abdul Manan, Datauk Rajo Pangulu tokoh ninik mamak dari Kamang Hilir, sedangkan Wahid Kari Mudo kemenakan dari Garang Datuak Palindih, Laras Kamang Hilir adalah juga dari Kamang Hilir, dan Haji Ahmad anak Haji Abdul Manan dengan istrinya dari Bukik Batabuah, antara Lasi dan Kubang Putiah Banuhampu.
Tak lama berselang Datuak Rajo Pangulu, memecahkan kebekuan suasana dengan bertanya kepada Siti Anisyah.
“Siapa gerangan gadis di samping Kak Anisyah ini ?”
“Gadis ini,” Anisyah sambil menyentuh
lengan kanan Siti Maryam ‘adalah anak kita juga..., yang datang dari jauh,
yaitu dari Kampuang Hanguih di Bonjol dan namanya Siti Maryam’.”
Sebelum Anisyah melanjutkan keterangannya, Inyiak Manan memintasnya lebih awal dengan memperkenalkan satu persatu. Selesai Inyiak Manan memperkenalkan pada Maryam, maka Mak Datuak Rajo Pangulu langsung bertanya untuk memastikan namanya sekali lagi.
“Benarkah Siti Maryam namumu, kemenakan ?,” kata Mak Dt. Rajo Pangulu pada Maryam. Inilah cara orang Minang menyapa seseorang di bawah umurnya yang baru dikenalnya, dipanggil saja kemenakan atau keponakan.
“Tepatnya dimana kampungmu itu ?,” tanya Mak Datuak lagi.
Sebelum Anisyah melanjutkan keterangannya, Inyiak Manan memintasnya lebih awal dengan memperkenalkan satu persatu. Selesai Inyiak Manan memperkenalkan pada Maryam, maka Mak Datuak Rajo Pangulu langsung bertanya untuk memastikan namanya sekali lagi.
“Benarkah Siti Maryam namumu, kemenakan ?,” kata Mak Dt. Rajo Pangulu pada Maryam. Inilah cara orang Minang menyapa seseorang di bawah umurnya yang baru dikenalnya, dipanggil saja kemenakan atau keponakan.
“Tepatnya dimana kampungmu itu ?,” tanya Mak Datuak lagi.
“Iya, Mak Datuak !, nama ambo Siti Maryam. Dan kampung ambo seperti yang telah dikatakan etek Anisyah tadi, Mak Datuak !,” jawab Maryam.
“Di Kampuang Hanguih ?” timpal Mak Kari Mudo.
“Betul, Mak Kari !,” kata Maryam. Sementara itu, pemuka masyarakat yang sejamba itu saling berpandangan, namun tidak mempersoalkan dan memperbincangkannya.
Dalam sebuah perhelatan orang Minang makanannya di atas sebuah dulang yang terbuat dari kuningan atau piring porselen besar seperti talam. Piring porselen besar ini dilihat dari motifnya sudah dapat dipastikan bahwa benda itu diproduksi China. Semakin tua dinasti yang membuatnya maka semakin mahal dan bernilai harga. Sewaktu makan di sekeliling piring besar itu, dinamakan dengan makan sejamba. Jumlah orang yang makan sejamba atau dalam satu dulang itu sebanyak enam orang. Tamu berempat orang, tetua jamba satu orang dan anak muda yang melayani lauk pauk dan nasi.
Agaknya, nama Kampuang Hanguih mempunyai kisah tersendiri yang mengingatkan suatu cerita yang diwarisi dari perawinya. Bagi Maryam, melihat gelagat apalagi terlihat sekilas perobahan sinar wajah pemuka dia temui itu juga menjadi tanda tanya pula, kecuali Inyiak Manan yang terlihat tenang dan kalem.
“Apakah Inyaik dan mamak-mamak mengenal kampuang ambo tersebut ?,” tanya Maryam.
“Ya !, kami sangat mengenalnya. Tapi tak usahlah kita teruskan tentang kampung asalmu itu, nanti pada kesempatan lain akan kami ceritakan perihal kampuang Hanguih tersebut, sejauh yang kami ketahui pula !,” pintas Tuangku Haji Abdul Manan.
“Lalu apa gerangan maksud ananda datang ke sini ?,” tanya Haji Abdul Manan.
“Ambo datang ke surau ini membawa hasrat yang sangat besar Nyiak!,” jawab Maryam.
“Kalau boleh kami tau, apakah gerangan maksud ananda itu ?,” tanya Tuangku lagi.
“Ambo berniat untuk belajar di sini, yaitu kepada Inyiak,” jawab Maryam sambil mengangkat wajahnya ke arah Haji Abdul Manan.
“Mau belajar apakah gerangan kamu dengan saya ?”
“Saya ingin memperdalam ilmu agama dan ilmu beladiri serta ilmu-ilmu lainnya yang dianggap perlu dan penting untuk saya, Nyiak !,” jawab Maryam.
Tuangku Haji Abdul Manan termangu sejenak memikirkan maksud gadis ini, tapi yang membebani pikirannya adalah mengenai niat Maryam untuk belajar bela diri yang tentu nantinya bukan semata belajar silat, sudah pasti anak ini juga menuntut untuk diajarkan bermain pedang, menunggang kuda dan sebagainya, karena “kilek baliuang lah ka kaki, kilek camin lah ka muko. Kilek bayan kato sampai” (Kilat beliung/cangkul telah ke kaki, kilat cermin telah ke muka/wajah). Kata kiasan telah dipahami dari ujung perkataan Siti Maryam itu.
Haji Abdul Manan tidak menggubris niat Maryam tersebut, malahan Tuangku meloncat kepertanyaan berikutnya,
“Tapi, kepergian ananda ke sini apakah sudah seizin kedua orangtua ananda ?.”
“Sudah. Nyiak !”
“Dari mamaknya ?,” tanya Haji Abdul Manan lagi. (Mamak / mak = paman)
“Sudah, Nyiak ! Bahkan dari dunsanak ambo dan keluarga lainnya sudah ambo sampaikan maksud ini, dan mereka mengizinkannya, Nyiak!,” jelas Maryam. (dunsanak = saudara)
“Kalau begitu kenapa kamu datang sendirian saja, tidak diantar oleh salah seorang keluargamu, apalagi yang laki-laki,” tanya Kari Mudo.
“Ya, apa salahnya jalan sendiri saja, Mak ?,” balas Maryam.
“Kamu ini kan seorang gadis, tidak baik bepergian sendirian, apalagi berjalan jauh menuju kampung orang lain. Mana tau ditengah jalan kamu diganggu, dianiaya, dirampok, dirampas dan dinodai orang,” timpal Datuak Rajo Pangulu.
“Apalagi, kalau bertemu dengan opas Ulando (Belanda) yang kebetulan sedang kontrole, atau oleh pembantu pembantu si ‘kapia’ (kafir) itu, seperti dubalangnya tuangku lareh dan dubalang angku palo, kan bisa celaka kamu jadinya !,” belalak Kari Mudo sambil mengericutkan gerhamnnya.
Siti Maryam hanya menekurkan wajah
dan tidak mau menantang batang hidung Kari Mudo yang agak geram itu.
“Kalau sempat si ‘Ulando’ itu menodai kamu, maka kami-kami ini pun merasa ternodai pula. Ulama-ulama dan niniak-mamak se Mianagkabau ini juga diberi malu. Dan telah sekian lama dan berapa banyak perbuatan si ‘kapia’ itu ‘nan mancorengkan arang di kening’ ulama dan niniak mamak kita di Minangkabau ini ! Tidak kah kamu fikirkan itu ?,” gertak kari Mudo lagi dengan matanya yang tajam dan suaranya sedikit ditekannya, supaya jangan sampai terdengar ke luar kamar itu.
Namun Siti Maryam tidak menampik amarah Kari Mudo itu dan malah mencoba mengikuti aliran emosi Kari Mudo dengan perkataan.
“Justru karena ‘arang sudah tercoreng di kening’ kita itulah makanya ambo ingin membekali diri di surau ini, di bawah bimbingan Inyiak dan mamak-mamak ambo serta etek dan dunsanak ambo di Kamang ini, Mak ! Dan karena itu pula, maka pihak keluarga kami merestui rantau ambo ini’. Tak terbendung argumen Maryam, bagaikan air pancuran yang mengucur tiada henti.
‘Bukankah pepatah Mak Datuak mengatakan, ‘Tak akan mungkin sumpik (karung) kosong bisaditagakkan’, artinya tanpa ilmu ambo tak akan dapat melakukan sesuatu, sesuatu yang membawa manfaat dan kemaslahatan bersama,” kata Maryam.
Inilah baru aku berjumpa dengan seorang gadis cantik yang tak gentar akan gertakan pemuka masyarakat itu. Fikiranku juga berkecamuk tentang siapa sebetulnya gadis ini, terlalu berani dia, tegar mentalnya. Tapi karena kami harus mengorek informasi sebanyak-banyaknya, ya... terpaksalah untuk bersembunyi di balik keragu-raguan itu. Tentu perkenalan pertama kami ini adalah sebuah catatan pinggir pula bagiku sebagai juru tulis Inyiak Manan.
“Apakah kamu tak merasa cemas, tak merasa takut sejauh itu ke sini sendirian saja ?, ” tanya Siti Anisyah pula.
“Tidak, Tek. Bak kata pepatah juga Tek ! ‘Tak akan mungkin perang dilakukan tanpa keberanian’, Tek...!”
“Bijak kali anak ini !,” gerutuku dalam hati.
“Kalau sempat si ‘Ulando’ itu menodai kamu, maka kami-kami ini pun merasa ternodai pula. Ulama-ulama dan niniak-mamak se Mianagkabau ini juga diberi malu. Dan telah sekian lama dan berapa banyak perbuatan si ‘kapia’ itu ‘nan mancorengkan arang di kening’ ulama dan niniak mamak kita di Minangkabau ini ! Tidak kah kamu fikirkan itu ?,” gertak kari Mudo lagi dengan matanya yang tajam dan suaranya sedikit ditekannya, supaya jangan sampai terdengar ke luar kamar itu.
Namun Siti Maryam tidak menampik amarah Kari Mudo itu dan malah mencoba mengikuti aliran emosi Kari Mudo dengan perkataan.
“Justru karena ‘arang sudah tercoreng di kening’ kita itulah makanya ambo ingin membekali diri di surau ini, di bawah bimbingan Inyiak dan mamak-mamak ambo serta etek dan dunsanak ambo di Kamang ini, Mak ! Dan karena itu pula, maka pihak keluarga kami merestui rantau ambo ini’. Tak terbendung argumen Maryam, bagaikan air pancuran yang mengucur tiada henti.
‘Bukankah pepatah Mak Datuak mengatakan, ‘Tak akan mungkin sumpik (karung) kosong bisaditagakkan’, artinya tanpa ilmu ambo tak akan dapat melakukan sesuatu, sesuatu yang membawa manfaat dan kemaslahatan bersama,” kata Maryam.
Inilah baru aku berjumpa dengan seorang gadis cantik yang tak gentar akan gertakan pemuka masyarakat itu. Fikiranku juga berkecamuk tentang siapa sebetulnya gadis ini, terlalu berani dia, tegar mentalnya. Tapi karena kami harus mengorek informasi sebanyak-banyaknya, ya... terpaksalah untuk bersembunyi di balik keragu-raguan itu. Tentu perkenalan pertama kami ini adalah sebuah catatan pinggir pula bagiku sebagai juru tulis Inyiak Manan.
“Apakah kamu tak merasa cemas, tak merasa takut sejauh itu ke sini sendirian saja ?, ” tanya Siti Anisyah pula.
“Tidak, Tek. Bak kata pepatah juga Tek ! ‘Tak akan mungkin perang dilakukan tanpa keberanian’, Tek...!”
“Bijak kali anak ini !,” gerutuku dalam hati.
Tanpa terputus Maryam melanjutkan keterangannya, “...Mengenai kesendirian ambo melakukan perjalanan panjang ini adalah sesuatu yang terbaik menurut keluarga kami, sebab kalau kami datang berombongan tentu kami melewati jalan umum yang agak ramai, sehingga akan banyak bertemu dengan orang-orang, termasuk pihak Ulando sendiri, tapi kalau hanya sendirian tentu upaya penyamaran mudah dilakukan guna menghindari kecurigaan orang orang itu.”
Mendengar ucapan ‘gadih jolong gadang’ (gadis baru besar/remaja) nan berkerudung itu, pemimpin adat dan agama di bilik itu geleng geleng kepala saja sambil menundukkan wajahnya.
“Lalu, bagaimana cara kamu bisa sampai di sini ?,” tanya Anisyah lagi.
“Ambo melakukan penyamaran, Tek!”
“Kamu terlalu berani, Maryam! Dan bagaimana caramu menyamar itu ?,” desak Anisyah lagi.
“Begini Tek! Sesampai di perbatasan Batang Palupuah dengan Kamang ambo diantar oleh ayah dan ibuku dengan cara berpura-pura sebagai orang mau pergi ke ladang dan waktu telah lewat lohor kami pun seperti orang pulang dari ladang namun arah kami tetap menuju ke Kamang ini. Sesampai di perbatasan kami telah ditunggu oleh Mak Etek dan saudaraku yang laki-laki.
Setelah mendapat petunjuk untuk bisa sampai di surau ini dan menceritakan hasil pemeriksaannya sampai ke sini tadi siang, ternyata perjalanan ke sini aman. Walaupun ambo berjalan sendirian saja, tak masalah. Sehingga ayah, ibu, mamak dan saudara ambo kembali pulang. Kami pun bertolak punggung.”
“Lalu dari perbatasan untuk sampai ke sini apa upayamu,” lanjut Siti Anisyah lagi.
“Sewaktu ambo lewat ladang orang, sekiranya ada orang di sekitar ladang itu, maka ambo ‘mambebek’, seolah-olah ambo mencari kambing yang lepas. Dan sewaktu ambo melewati persawahan, dan pada saat ada sesuatu yang mencurigakan, maka kadang-kadang ambo berpura-pura menyiangi padi yang baru ditanam atau berpura-pura ‘mangaro’, mengusir burung di padi yang masak. Bahkan ambo seperti orang mengahalau itik, Tek !”
“Jadi kau kah itu..., di sawah sana... tadi seperti orang mencari itik itu ?,” tanya Anisyah lagi dengan antusiasnya.
“Iya, Tek!, sehingga ambo sampai di halaman Surau ini, Tek,” jawab Maryam.
“Luar biasa kamu Maryam,” komentar Haji Abdul Manan.
“Tipuanmu hanya sederhana, tapi sangat memukau !,” tukas Datuak Rajo Pangulu.
Kari Mudo mangangguk angguk saja dengan ketersimaannya. Haji Abdul Manan tak putus-putusnya menatap Siti Maryam, seolah sedang melepaskan pandangan bathinya terhadap nyali dan kecemerlangan Siti Maryam. Di wajah Siti Anisyah pun terbayang suatu kegembiraan bahwa seolah dia telah mendapatkan kader atau relawati baru dalam menjalankan misinya sebagai tenaga propaganda menentang kekuasaan tirani penjajah asing yang bersuara ke hidung, sengau itu.
Di surau para murid muda gundah antara mengahapl kaji, dan rasa ingin tahu tentang tamu yang elok ruapanya itu. Meninggalkan pelajaran, kawatir dihukum oleh guru, tapi rasa ingin tau lebih kuat dorongannya.
Namanaya manusia, apalagi anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang penuh dengan segala ingin tau apalagi ada sesuatu yang asing dilihatnya. Untuk mencari tau sering pula anak-anak melakukan sesuatu yang usil. Tidak terkecuali anak-anak di surau.
Si Magek (mungkin Megat) yang suka usil diantara mereka, tak bisa menahan hasrat hatinya. Dia bangkit dari duduknya, singsingkan kain sarungnya. Ia ajak tiga orang sebayanya. Mereka berpura-pura turun ke halaman untuk buang hajat.
Ruang tamu pavliun itu, berdinding papan. Pada salah satu dinding papan, berlobang oleh mata kayu. Lobang itu pas berada di ruang tamu. Megat telah memperbesar lobang itu, dan menutupnya dengan tanah.
Sudah agak beberpa lama mereka tidak kembali ke atas surau untuk melanjutkan pelajarannya, kepala guru tuonya bagaikan kepala capung, lihat ke kiri dan lihat ke kanan tapi pasukan si Magek tidak juga kembali. Setelah ditanya kepada ikhwan yang lain, semuanya menjawab tidak tau. Pikiran si guru tuo mulai melilit akalnya. “Pasti ada sesuatu, tapi kenapa perasaanku tidak cemas, ya !” Antara pikiran dan perasaan mulai melilit akalnya. Tapi, dia tau, si Megat banyak akalnya, dan merupakan murid yang paling cerdas diantara yang lainnya.
Untunglah sang guru tau dengan tabiat, prilaku anak-anak asuhnya, maka dengan pura-pura ingin buang hajat pula si guru tuo turun ke halaman. Dengan mengintip-intip si guru tuo memeriksa sekitar ‘jamban’, kakus. Ternyata pasukan Magek tidak ada, si guru tuo kembali ke tepi surau.
Guru tuo melanjutkan pemeriksaan ke sekeliling surau, semakin dekat ke arah mighrab surau terbayang sosok berkelabat di dinding. Setelah didekati ternyata benar. Pasukan si Magek sedang bergelantung di dinding, merayap mengintip-intip di celah lobang kayu yang sudah dilobangi. Pusing juga si guru tuo, bagaimana menyuruh mereka turun. Kalau langsung di tegor sudah pasti anak-anak ini terkejut, jatuh dan celaka.
Si guru tuo menurutkan langkahnya, dan menunggu mereka. Si guru tuo mendehem dan batuk-batuk kecil, namun dia tetap mengawasi ke tempat anak-anak itu dari balik rumpun kopi. Tak hayal lagi pasukan si Magek melompat dan lari, langsung naik ke atas surau. Setelah mengambil udhuk guru tuo menyusul mereka ke atas surau.
Pelajaran anak-anak dilanjutkan kembali. Si guru tuo benar-benar pura-pura tidak tau atau darimana dan apa yang dikerjakan oleh si Magek bersama kawan-kawannya. Karena si guru tuo tidak mau proses pembelajaran waktu itu terganggu dan sekaligus tidak mempermalukan pasukan agresif ini di depan teman-temannya yang lain. Apalagi nanti akan dihujani oleh cemooh dan celaan kakak seperguruannya saat itu.
“Maryam...!, tadi kamu mengatakan bahwa datang ke sini ingin memperdalam ilmu agama, ilmu bela diri atau silat dan ilmu-ilmu lainnya yang bermanfaat, bukan ?,” Haji Abdul Manan yang mencoba kembali ke pokok persoalan kedatangan Siti Maryam.
“Betul adanya, Nyiak !,” jawab Maryam.
“Maryam...?,” panggil H. Abdul Manan lagi.
“Kalau kamu ingin memperdalam pengetahuan agama, itu sangat saya setujui. Tetapi kalau ingin memperdalam ilmu selain ilmu agama adalah sangat mengherankan kami. Baru sekali ini kami mendengar permintaan seorang gadis di luar kampung ini jauh-jauh untuk mendalami ilmu persilatan,” kata Haji Abdul Manan yang mencoba mematahkan niat Siti Maryam.
Mendengar pernyataan Tuangku itu Siti Maryam seakan berada diatas titian antara perasaan malu karena dia merupakan pengecualian sebagaimana yang dijelaskan Haji Abdul Manan dengan perasaan sedikit tersinggung, seakan niat hatinya telah ditolak. Maryam mencoba menampik kedua perasaannya itu.
"Maafkan ambo Nyiak ! Kalau ambo ingin memperdalam ilmu persilatan apa salahnya Nyiak ? Apakah kurang kecakapan saya dari seorang laki laki ? Apakah ilmu persilatan itu hanya miliknya kaum laki-laki ? Apakah Inyiak dan mamanda, (sambil menoleh kepada Dt. Rajo pangulu dan Kari Mudo) keberatan untuk mengajar saya tentang ilmu persilatan itu ?” Bertubi-tubilah pertanyaan Siti Maryam jadinya.
Orang yang hadir dalam kamar Tuangku Haji Abdul Manan itu terpaku saja, termakan buah simalakama jadinya. Justru semangat semacam inilah yang diharapkan, namun bagaimanapun dia adalah seorang gadis perempuan yang harus dilindungi oleh kaum laki-laki, bukannya dididik dan diasuh sebagai pejuang yang pemberani.
“Kalau begitu..., baiklah !”
“Cobalah kamu pikirkan lagi masak-masak. Telungkup-telentangkanlah kembali tentang niatmu itu agak sehari-dua ini !,” pintas Haji Abdul Manan.
“Dan bagi kami, biarlah kami coba pula untuk merenung-renungkannya,” sambung Haji Abdul Manan lagi.
“Kalau begitu kata Inyiak, baiklah ! Bagi ambo sulit kiranya merobah niat ambo semula, sehingga dari jauh ambo datang kesini hanya untuk mewujudkan niat ambo itu, Nyiak !,” tukas Siti Maryam.
“Insyaallah, anakku ! Tapi fikir itu kan pelita hati. Tidak baik melangsungkan sesuatu itu dengan cara terburu-buru,” jawab Haji Abdul Manan pula.
“Kalau begitu kami mohon diri dulu Nyiak, Mak Datuak, Mak Kari dan Tuan Haji,” pamit Siti Maryam kepada semua orang berada dalam kamar itu.
Tetapi kepadaku sikapnya agak berbeda, sewaktu akan beranjak untuk berdiri sambil menekur dia melayangkan sudut matanya sambil sedikit menganggukkan kepalanya sebagai isyarat kepamitannya dari ruangan itu kepadaku.
Serasa akan putus tali jantungku memandang seulas senyum dan selayang pandang gadis berkerudung itu, sehingga aku agak risih dan resah juga jadinya. Dengan serta merta saya mengangguk kecil pula untuk menjawab salam pamitnya dan cepat-cepat memandang ke arah tokoh-tokoh pergerakan di sekitar aku itu. Kalau-kalau mereka memperhatikan pula perobahan tingkah pada diriku karena keterpesonaanku pada gadis yang bernama Siti Maryam itu.
Siti Anisyah berdiri diiringi pula oleh Siti Maryam dan berlalu dari kamar yang berukuran kira-kira tiga kali empat setengah meter itu. Siti Anisyah membawa Siti Maryam ke rumahnya.
Megat dan kawan-kawan menghamparkan lapiak (tikar) masing-masing. Tapi tiga diantaranya, tidak bisa memejamkan matanya. Megat bengkit, duduk mancakung. Pikirannya menarawang ke ruang tamu di pavaliun. Wanita cantik didalamnya. Melihat Megat bangun, dua temannya yang menyertainya, bangun pula. Ketiga membicarakannya, disertai yang lainnya turut mendengarkannya.
Terdenagr langkah – langkah kaki mendakat. Makin lama makin jelas, berderak-derik menginjak lantai papan. “Belum tidur kalian,” bentak guru tuo.
Ruangan itu menjadi sunyi. Guru tua berlalu, menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.
______________________________________
Semua anak-anak terdiam, meraka
serba salah, mau dijawab ‘iya’ atau ‘tidak’.Mereka bingung.
“Kalian harus diberi hukuman
atas perbuatan kalian tersebut. Tapi sebelumnya coba kamu dengar baik-baik. Mau
mendengarnya ?
“Mau Engku,” jawab mereka
serentak, kali ini Magek telah turut menjawabnya.
“Apa hukumannya atas kesalahan kalian ?” si Guru Tuo secara demokratis menyikapi persoalan itu sebelum manjatuhkan hukuman.
“Dirotani, Engku,” jawab mereka serentak pula. Magek juga ikut menjawab
“Kalian dilecuti pakai rotan ?” Sebelum bocah-bocah lucu ini menjawab si guru menyambung pertanyaannya.
“Berapa kali, Magek ? Karena kamu ketuanya !”
“Ciek, Engku.”
“Satu kali..!, berarti kawan-kawanmu ini tidak dihukum. Kalian sudah jelas bersalah semuanya,”
Belalak Guru Tuo kepada Magek dan yang lainnya.
“Kamu ini benar-benar ‘galia’, licik seperti kancil.” (Cerdik)
“Ya, Magek Kancia’, sela Juru Tulis. ‘kancia saja namamu, ya ! Kalau dipanjangkan menjadi Magek Kancia namamu” tegas si Juru Tulis lagi memecah suasana, sehingga mengundang derai tawa anak -anak.
“Ya, Magek Kancia’, sela Juru Tulis. ‘kancia saja namamu, ya ! Kalau dipanjangkan menjadi Magek Kancia namamu” tegas si Juru Tulis lagi memecah suasana, sehingga mengundang derai tawa anak -anak.
“Kalian mau berapa kali dilecut dengan rotan ini ?” Sang guru berbalik kepada yang lainnya.
“Ciek, Engku.”
“Baiklah, kalian masing-masing dilecut satu kali dan si Kancia ini harus lebih. Kamu menerima lecutan rotan dua kali Magek !
“Kenapa dua, Engku ?”
“Ya..., karena berita propagandamu mengakibatkan kawan-kawanmu ini meninggalkan pelajaran dengan alasan permisi buang air, dan karena komandomu pula mereka ini melalukan perbutan yang salah itu. Mengerti! ”
“Ya, tapi Engku !”
“Tidak ada tapi-tapian, Magek !”
“Kamu harus menerima hukuman yang setimpal. Jelas !”
“Jelas, Engku”
“Ayo, semua berdiri !”
“Ya..., karena berita propagandamu mengakibatkan kawan-kawanmu ini meninggalkan pelajaran dengan alasan permisi buang air, dan karena komandomu pula mereka ini melalukan perbutan yang salah itu. Mengerti! ”
“Ya, tapi Engku !”
“Tidak ada tapi-tapian, Magek !”
“Kamu harus menerima hukuman yang setimpal. Jelas !”
“Jelas, Engku”
“Ayo, semua berdiri !”
Anak, anak semuanya bediri sambil menyandang kain sarungnya masing masing.Ada yang mengantungkan kain sarung di lehernya sehingga kain itu terkulai dipunggungnya, ada yang mengikatkan di pinggangnya dan ada pula yang melipatkan di sebelah kiri dan kanan bahunya.
Sang guru memegang sebilah rotan sambal memukul mukul pelan ke telapak tangan kirinya untuk mempertakuti anak-anak.Tapi Magek agak berbeda dengan kawan-kawannya.
Magek pura-pura alim, diam memakai kain sarung seperti orang akan shalat dan malah agak dirindihkannya,melorot hingga tertutup semua kakinya dan ujung kain itu menyentuh lantai,seperti sarung yang dikenakan perempuan mau shalat.
Guru mulai mengambil ancang-ancang dan rotanpun melayang ke kaki anak yang berada paling kanan guru.
"Pip !” bunyi rotan satu kali di kaki kiri sebelah luar anak pertama.
“Kamu ke sana, pindah !” Perintah guru kepada anak tersebut untuk mengambil jarak dari barisan kawan-kawannya yang belum kena lecut.
“Pip !” Begiti pula bagi anak ke dua.
Setelah merapat dengan kawannya yang pertama si Guru Tuo melanjutkan hukuman kepada anak yang ketiga.
"Poh ! "Bunyi rotan dikain sarung si Kancia. Sang guru mengulanginya lagi, ternyata masih berbunyi "poh...!" rotan tersebut, bukan "pip..!"
Rupanya Magek telah mencurangi gurunya untuk kesekian kalinya. Sewaktu rotan melayang mendera kakinya maka dia mengangkat kaki kirinya itu. Tentu saja bunyi rotan itu “balapoh” melecut kain sarung yang berongga itu.
“Sekarang buka kain sarungmu !” perintah sang guru. Magek pun menuruti perintah engku gurunya itu.
Kawan-kawan Magek mulai miris karena dia telah mengecoh semua orang dalam kamar. Juru Tulis serba salah, mau ketawa tidak mungkin karena akan menghilangkan wibawa temannya si Guru Tuo itu, tetapi perutnya sudah mulais akit melihat tingkah si Magek menipu gurunya itu. “Benar-benar seperti kancil anak ini,” gerutunya dalam hati.
Sesaat otak Magek mulai pula mengerayang lagi mencari akal, karena dia sudah pernah merasakan sakit bercampur perih dilecut dengan rotan.Sang guru mulai pula mengambil ancang-ancang untuk melecut kaki Magek.
“Pip !” bunyi rotan satu kali di kaki kiri yang diringi oleh suara rauangan kawan disebelah kanan Magek. “Aduh! ”. Tanpa disangka rotan yang ditujukan untuk Megek singgah di kaki kawannya di sebelah kanannya. Rupanya si Magek bikin ulah lagi.
Pada saat rotan melayang ke arah kakinya secepat itu pula dia melompat kecil.Tentu saja rotan itu melesat kek kaki kawan di sebelahnya.
Untuk kedua kalinya, Magek mengambil langkah mundur, tapi toh masih kawan nya yang menanggungnya. Kawannya mulai meraung raung menangis. “Awak lah duo kali kanai, engku....? ”raungnya menghiba karena sudah dua kali deraan rotan yang diayunkan gurunya mengenai kakinya.
Akhirnya, sang guru naik pitam lagi dia membentak Magek dan menyuruh Magek duduk.
“Magek. Duduk !”
“Mana telapak tanganmu,” perintah guru kepada Magek.
“Keduanya !” perintah guru lagi supaya Magek menjulurkan kedua telapak tangannya ke depan.
Pada saat guru mengayunkan rotan ke telapak tangan Magek, Magek menarik telapak tangannya itu, sehingga rotan tidak mengenai sasaran. Siapa yang tidak akan naik darah, naik pitam karena bengalnya anak ini.
Tanpa ayal lagi si gurupun kehilangan kesabarannya, dengan serta merta si guru membuka ikat pingangnya yang terbuat dari kulit.
Melihat sang guru sangat marah dengan ikat pinggang kulit ditangannya, Magek ketakutan. Pada saat sang guru mengayunkan ikat pinggang itu yang diiringi ucapan kekesalan sang guru,
“Ini yang kamu minta !” kata gurunya dengan bengisnya. Pada saat itu pula Magek berguling ke kiri, sehingga dia tidak kena ikat pinggang, gurunya terjerembab ke depan karena dengkulnya menghimpit kain sarungnya, sehingga terbukalah ‘kodek’ sang guru. Untunglah sang guru mengenakan celana pendek yang panjangnya hingga diatas lutut dan longgar itu, semacam celana hawaii sekarang.
Baik Juru Tulis maupun anak-anak riuh ketawa melihat kodek sang guru ‘tangga’,lepas dari lilitan dipinggangnya.
Guru Tuo terperangah, kemudian menjamba cangkir kopinya untuk mengalihkan rasa kekecewaannya karena telah masuk ke dalam lobang perangkap si Megat ‘Kancil’ itu. Kancia atau kancil yang satu ini bukanlah – pelanduk– yang sering memperolok buaya dan harimau bagaikan dalam dongeng-dongeng yang kesukaannnya mencuri ketimun di ladang pak tani. Sambil menyandar ke dinding Guru Tuo meneguk kopinya yang telah dingin. JuruTulis hanya memperhatikan gelagat si Guru Tuo. Mereka tidak mengomentari sebuah episode yang baru saja berlangsung. Daripada salah tanggap, maka JuruTulis buru-buru menghabiskan kopinya dan kemudian membetulkan tikar alas tidurnya yang terbuat dari daun pandan.
Anak-anak disuruh bubar dan tidur ditempatnya masing-masing di ruang besar bersama para ikhwan lainnya.
Dalam pertemuan rahasia di rumah Haji Abdul Manan di Kampuang Tangah
Pakan Sinayan Babukik tersebut didapat kata sepakat, bahwa, agar
dilakukan peninjauan (menyelidiki) pendapat dari semua pengikut Haji Abdul Manan dan Tuangku Laras
Sungai Pua sehubungan dengan
‘apakah akan menuruti kehendak penjajah Ulando atau tetap mengadakan perlawanan
untuk menolak pelaksanaan belasting yang akan
dipaksakan juga oleh Ulando kepada rakayat’. Kedua, jika menerima atau menolak
agar memberi kabar atau laporan kepada Haji Abdul Manan sebagai pemimpin
dalam gerakan perlawanan rakyat Minangkabau, khususnya dalam
menentang belasting. Keempat, untuk
melaksanakan upaya-upaya pengkristalisasian pandangan tersebut kepada
masyarakat yang lebih luas, maka propaganda memegang peranan yang teramat
penting. Keempat, kepada tenaga yang dipercaya sebagai pemimpin delegasi
agar menyebar mengadakan hubungan koordinasi dan kristalisasi misi perlawanan
ke beberapa daerah, dan misi ini harus selesai dalam tiga bulan, terhitung
mulai bulan Januari hingga Maret 1908.
Beberapa tokoh-tokoh lainnya cukup mematangkan semangat perlawanan di daerah Agam Tuo dan sekitarnya. Sementara itu para angkatan muda dengan pimpinan Haji Ahmad dan Kari Mudo giat berlatih mempergunakan dan menangkis senjata tajam serta memperdalam ilmu batin, terutama ilmu kebal guna dapat dipergunakan pada waktunya nanti.
Menjelang alek digelar telah disebar informasi secar berantai ke daerah-daerah di Minangkabau bahwa tempat Rabiatun Kapau berjualan nasi kapau dengan ciri-cirinya yang sudah dikondisikan di atas Bukit Gulai Bancah sebagai pusat informasi. Siti Aisyah dan Siti Maryam berperan sebagai pembantu Rabiatun Kapau untuk meladeni orang yang singgah makan.
Itulah yang membuat mereka ketawa terkekeh-kekeh di kamar yang sempit dan lembab itu. Mendengar itu semua, sipir penjara mengangguk-angguk saja dan selesai mencatat dalam notes kecilnya tentang semua perbincangan parewa di balik jeruji itu, lalu memasukkan catatannya ke kantong bajunya yang sebelah kanan dan pulpen di kantong kirinya.
Bagian X.
(Misi Khusus)
Sambil menyimpan buku itu kembali, aku memberi tambahan semangat, mendorong semangat Maryam, kenapa harus diadakan perlawanan terhadap Belanda dengan alasan perang anti belasting ini.
Sebetulnya, tanaman kopi adalah sesuatu komoditi yang teramat istimewa di Minangkabau dan membawa suatu drama mengerikan yang tidak kalah hebatnya dengan apa yang dialami di Pulau Jawa.
“Kedua, Karena kesadaran bersama akan filosofi “Syara’ Mangato, Adat Mamakai” (Syara' mengatakan, adat memakai) apa saja yang ditentukan dan dilaksanakan menurut adat adalah didasarkan kepada hukum hukum yang ada dalam syara’, sebagai pembuktian akan pandangan hidup “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”.
Apatah yang menjadi penguat akat fondasi adat ini ?”, si Juru Tulismemunculkan sebuah pertanyaan. Kemudian dia langsung menambah penjelasannya ,“Terutama adalah akan peringatan Allah Swt dalam al-Qur’an. “’Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang orang yang di luar kalanganmu (kaum kafir), karena mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya’.”
“Ketiga, sistem perang gerilya sangat berperan pula dalam menghadapi serdadu Belanda yang sudah terlatih dengan senjata lengkap dan modern. Keempat, yang tidak kalah penting juga adalah alam Minangkabau sangat menyulitkan untuk ditembus Belanda dalam perang secara frontal. Kelima, perlawanan-perlawanan yang dilakukan rakyat Minangkabau, umumnya digerakkan oleh alim ulama sebagai inspirator dan kekuatan moral, spiritual yang sarat dengan persoalan religius bagi rakyat untuk berjihad, karena persoalan keregeliusan di Minangkabau adalah persoalan hidup dan mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Keenam, Seperti yang diakui Letnan Boelhouwer, salah seorang militer yang mengikuti Kolonel Elout memasuki Bonjol 1833.
“...orang Pederi berbeda mengenai pakain, kelakuan maupun kebiasaannya dengan orang Melayu lainnya. (Red: terutama yang berpihak kepada Belanda). Orang Paderi jijik melihat candu, sementara yang lain asyik mengisap candu; orang Paderi tidak mau mengerjakan judi, sedangkan yang lain sibuk berjudi dan berteriak-teriak. Pongah; orang orang Paderi bertubuh kekar dan berotot jika dibandingkan dengan pasukan-pasukan pembantu kita” (Red: orang Jawa, Bone, Madura dan Melayu lainnya)”. Tulis Boelhouwer lagi. “... Suatu bukti nyata betapa cara hidup dapat mempengaruhi pertumbuhan tubuh manusia. Seorang Paderi seakan-akan seorang raksasa ketimbang orang Melayu yang telah dicelakakan oleh candu...”
“Terang saja tentara bayaran Belanda dari bangsa pribumi (Melayu) ini sangat gampang dibabat tentara Paderi. Sebaliknya tentara Belanda Hitam itu sangat bringas membumihanguskan, memporak porandakan guna mengharapkan harta rampasan sebanyak banyaknya yang dibumbui pula dengan santapan ‘pemerkosaannya’ terhadap perempuan yang tercecer dari tindakan penyelamatan diri,” sela Maryam merespon kutipan si Juru Tulis itu.
“Guna memperkuat kedudukannya itu, maka pemerintah Belanda berupaya untuk mengepung surau dari berbagai sisi, katakanlah dari sisi ideologis, politis, ekonomi, pendidikan, sistem pemerintahan maupun dalam tata aturan kehidupan sosial sehingga pada suatu waktu kelak eksistensi dan bahkan secara fisik surau kehilangan tempatnya ditengah masyarakat Minangkabausendiri kelak dikemudian hari,” lanjut si Juru Tulis.
Memang demikian kenyataannya belakangan hari. Bahwa, tanah yang dipergunakan sebagai pasar tersebut dibebaskan dari kaum yang mempunyainya dengan iyuran nagari yang bersangkutan dan atau iyuran beberapa nagari yang berekatan dalam satu kelarasan. Dan pasar-pasar semacam itu dinamakan dengan ‘passerfond’. Pasar serikat itu diklasifikasikan pula atas tiga golongan atau tingkatan, yaitu ‘Pasar Serikat A’ bagi daerah luhak seperti Pasar Bukittinggi. ‘Pasar Serikat B’ untuk pasar di kewedanaan. ‘Pasar Serikat C’ pada tingkat kenagarian, sehingga masyarakat mulai dibiasakan dalam kehidupan untuk hidup berorientasi pasar dalam paham ‘materialisme-kapitalisme’ ekonomi.
Kalaulah dengan cara sukarela atau secara gotong royong ala budayaMinangkabau pemerintah Belanda tidaklah akan mendapatkan sumber tenaga manusia yang banyak untuk membangun jalan, jembatan dan pasar-pasar tersebut. Sehingga dikeluarkanlah peraturan semua pekerjaan berat tersebut secara paksa yang lebih dikenal dengan ‘rodi’. Pelaksanaan kerja paksa tersebut ditentukan dengan perhitungan besarnya jumlah pemuda dan orang dewasa yang diwajibkan melaksankan pekerjaan membangun jalan dan pasar sebanyak empat hari dalam satu kwartal atau enam belas hari dalam satu tahun.
Sebetulnya, ‘coffeestelsel’ yang dipaksakan Belanda sebelumnya telah menyebabkan penggunaan jenis tanah adat yang berfariasi sifatnya. Awal pemberlakuannya tanah pekarangan yang berada di sekitar pemukiman penduduk dimanfaatkan untuk memproduksi kopi. Kebijakan ini secara tidak sengaja telah menaburkan benih kebencian rakayat Minangkabau terhadap Belanda. Sehingga pada masa ini banyak kendala yang dihadapi pemerintahBelanda, terutama masalah status tanah di Minangkabau yang terdiri dari nagari-nagari yang bersifat otonom dan memiliki banyak pengusaha yang menguasai untuk penggarapannya, serta tidak mengenal adanya tanah-tanah yang tidak bertuan.
Meskipun demikian, rakyat tetap tidak setuju dengan diterapkannya pajak langsung berupa ‘balasting’ dan ‘pekerjaan rodi’. Dalam arti kata ‘cultuurstelsel’ untuk Minangkabau lebih dikenal juga dengan ‘coffeestelsel’ jauh lebih merugikan dari pada balasting, namun bagi Belanda ‘belasting’ adalah iyuran rakyat yang teratur dan terukur setiap tahunnya, sementara pemerintah tidak dibebani pula dengan modal awal. Sedangkan dalam ‘coffeestelsel’ pemerintah harus pula memodali untuk pembelian dari rakyat, menggaji para pegawai untuk menjaga mutu kopi, dan keuntungan tidak tetap karena pengaruh spekulasi pasar, dalam keamanan pengiriman barang semenjak dari produsen hingga kota tujuan turut menjadi beban ekstra bagi pemerintah’.
“Alaaa..., untuk apa pula kamu ceramahi kami tentang tetek bengek kerja si Ulando itu. Mana pula kami mengerti, kami orang buta huruf, kami tidak sekolah di gubernemen. Kalau kamu ada sekolah diguvernemen !,” sela Siti Anisyah. “Kepada Maryam sajalah kamu bercerita,” sambung Anisyah lagi.
“Ada sebuah lagi, Maryam ! Bahwa 14 Oktober 1831 Van den Boschmenuangkan kekecewaan dan patah hatinya yang teramat dalam kepada Kolonel Elout sebelum Ulando menyerang Katiagan untuk merebut Bonjoldulu. Juga melalui sebuah surat rahasia, Maryam.”
Maryam kelihatan sangat bersemangat dan pelupuk matanya semakin tegak menunggu kelanjutan cerita si Juru Tulis. Juru Tulis kembali membalik catatannya itu.
Kemudian surat itu dilanjutkan dengan pengakuannya bahwa, “...pemerintahan terbaik dan penggunaan yang tepat dari segala yang dapat kita kerjakan, ialah mengetahui kekayaan alam dari suatu daerah dan mengalirkan semua kekayaan itu kepada kita ! Oleh karena itulah saya berulang-ulang menekankan kepada Tuan untuk memusatkan perhatian pada soal ini !’ Demikian antara lain Van den Bosch menulis. Selanjutnya dia menyatakan tidak bersedia lagi mengirim tambahan tentara bantuan, jika Elout tidak dapat menjalankan yang dikehendakinya’.
“Terang saja, Kanda. Sampai sekarang Ulando itu semakin menjadi-jadi dengan berbagai upaya memeras kita untuk memperoleh kekayaan sebesar-besarnya !,” respon Maryam
Tapi, malah si Juru Tulis nyeleneh lagi dengan kalimat guyonnya.
Menurut anggapan rakyat pajak tidak langsung dalam sistem ‘coffeestelsel’ masih dapat diterima, karena sifatnya adalah jual beli dalam sistem perdagangan. Rakyat sebagai penjual dan pemerintah sebagai pembeli, maka sistem dagang seperti ini di dalam ajaran Islam diperbolehkan, meskipun tidak membenarkan mendapatkan keuntungan yang berkesangatan seperti yang diterapkan kaum kapitalis materialistis, seperti Belanda itu. Sedangkan balasting yang merupakan pajak langsung, sepertinya sebuah ‘upeti’ kepada kaum kafir berupa pemberian yang diwajibkan atau sewa tanah dari rakyat yang hidup di buminya sendiri.
Pada sisi lain, dengan dipaksakannya untuk memberlakukan belasting terhadap rakyat Sumatera Barat, maka secara terang terangan Belanda telah mengkhianati isi Plakat Panjang 1833, yang didalamnya termaktub akan ‘hak milik harta berpunya’ menurut hukum adat Minangkabau.
Terbukti sudah apa yang dikatakan Allah Swt dalam Al-Qur’an, bahwa “orang orang kafir itu akan selalu melakukan tipu daya (pengkhianatan)”.
Ketersinggungan atas kearifan lokal inilah yang lebih mengukuhkan kembali semangat perlawanan mengakar semenjak dari leluhurnya antara kaum adat dan kaum agama menantang akan keberadaan kaum kafir di ranahnya sendiri.
Pungutan pajak sama artinya ‘memeras susu dari sapi mandul’. Dan yang lebih berbahaya lagi adalah dengan adanya pemikiran oleh rakyat yang sisa-sisa kaum Paderi bahwa haram hukumnya membayar upeti kepada kaun kafir.
Perlawanan rakyat dalam menentang balasting 1908 tersebut merupakan antiklimaks dari suatu proses pergerakan bawah tanah rakyat Minangkabau untuk mengenyahkan kekuasaan Belanda di daerah ini, sebagai kelanjutan dari perjuangan Paderi yang kekalahannya tidaklah feir dan sportif, melainkan melalui sebuah tipu muslihat Belanda.
Pada sisi lain, dari kejujuran Kolonel de Stuers yang membuat saran dalam sebuah laporannya menuliskan bahwa supaya Gubernemen mendapat penghasilan yang melimpah maka perdagangan candu dan tuak yang telah berlangsung semenjak VOC agar semakin dikembangkan. Opsir-opsir dan pegawai-pegawai Gubernemen Belanda harus berlomba-lomba menjual candu dan tuak (miras), kepada masyarakat, terutama kaum bangsawan Minang untuk membelinya.
“Demikianlah kekotoran sisat Gubernemen Belanda pada waktu itu di Minangkabau,” kata Kolonel itu. “Dan upaya itu bukan saja untuk mendapatkan keuntungan yang besar tetapi adalah juga untuk menghancurkan generasi Minangkabau nantinya,” tulisnya lagi.
Dari ‘advisory’, dari laporan-laporan perangai pihak Belanda inilah menjadi alasan menentang atau memberontaknya rakyat Minangkabau yang pada umumnya dipelopori oleh kaum ulama, baik semasa Perang Paderi maupunPerang Kamang 1908. Perang terhadap penyebaran candu dan miras.
Belasting adalah pemicu belaka. (Bersambung)
Kerongkongan L.C. Westenenck
bagaikan ketelan putik durian, tersekat di kerongkongan yang sengatan durinya
terus terasa, tetapi Belanda belum siap untuk mengambil tindakan. (bersambung)
Pada suatu pagi, aku diajak seorang sahabat untuk minum pagi dirumahnya selesai kami shalat berjamaah di surau. Tak hayal lagi karena hidup masih membujang maka aku pun mengamini ajakan sahabat tersebut. Tapi melihat suasana keluarga yang masih belum mempunyai momongan sibuah hati itu, dia senasib dengan Mak Datuak Rajo Pangulu dan Kak Siti Aisyah. Meskipun berbeda kondisi, pengalaman hidup dan kisahnya masing-masing. Bagiku tidak lain adalah semacam kekayaan khasanah saja. Entah apa sebab musababnya dan firasat apa yang berembus di hati sahabatku itudia mulai berkisah sambil menikmati kopi pagi dan ketan merah dengan kalio rendang hangat, yang masih dipanaskan dengan bara api sabut kelapa. Wanginya disapu-sapu semelir angin dipagi hari melayang-layang entah kemana-manamembuat kelenjer air ludah memercikkan air bening di pinggir lidah, menerbitkan selera untuk menyantapnya.Katanya, sepulang melihat padi di sawahnya sehabis zohor kemarin dia bertanya pada istrinya, paling tidak sekedar melepaskan unek-unek yang menyelimuti fikirannya tentang alasan sesungguhnya terhadap kemauan yang keras dari istrinya yang mengikhlaskannya akan turut berjuang menentang belasting yang sedang diperjuangkannya itu. Meskipun istrinya sendiri wallahu a’lam akan turut berperang nantinya, namun sekedar membantu Maryam dalam propaganda guna membangkitkan semangat juang bersama pada masyarakat telah menjadi ‘cermin’ bagi masyarakat.
Pasukan kecil itu terus menuju rumah kediaman Tuangku Imam bersama anak-anak dan kedua istrinya. Dengan serta merta kedua istri Tuangku Imam dilarikan secara diam-diam. Kejadian itu diketahui oleh salah seorang putra Tuangku Imam yang bernama Mahmud, dan tanpa berpikir panjang Mahmud melakukan perlawanan guna menyelamatkan kedua orang ibunya itu. Karena perkelahian tidak seimbang, pada akhirnya perut Mahmud ditusuk denganbayonet yang menempel di ujung laras senapan pasukan Belanda tersebut. Dalam kejadian ini, yang amat tragis adalah perlakuan ‘marsuse’ yang sangat biadab. Setelah perut Mahmud terberai, darah mengucur dari celah jantung yang bocor.
Kemudian, kaki salah seorang istri Tuangku Imam diputuskan, dikerat pahanya selagi dia masih hidup, sedangkan istri yang seorang lagitubuhnya diukir, disayat-sayat dengan ujung sangkur ‘Belanda Hitam’ itu. Ini benar-benar biadab, buas. Mendengar suara ribut dan jeritan suara perempuan, Tuangku Imam terbangun dari lelapnya, beliau langsung mengambil pedang dihunusnya menuju tempat suara ribut tersebut. Perkelahian seru pun terjadi antara beliau dengan tentara Ulando.
Dalam perkelahian ini, Tuangku Imam Bonjol menderita luka-luka karena tusukan bayonet, tetapi pasukan Ulando kocar-kacir melarikan diri dalam penderitaannya pula. Karena banyak menderita luka yang menyebabkan banyaknya darah yang keluar, tubuhnya semakin melemah dan beliau tidak dapat lagi memimpin pertempuran selanjutnya. Besoknya, pada sore hari pasukan Ulando melancarkan serangan besar-besaran. Pertahanan bentengdi Bonjol langsung diambil alih oleh Bagindo Majolelo dan kawan-kawannya.
Kota Benteng sangat tangguh untuk diterobos yangdipertahankan oleh kaum yang militansi. Akhirnya tidak membawa apa-apa bagi Ulando kecuali penderitan dan kerugian. eesokan harinya, setelah Ulando menyulut sejumlah besar bahan peledak kedinding pertahanan rakyat penyerbuan secara tiba-tiba kembali dilakukan dibawah pimpinan pasukan Letnan Lange. Pada tanggal 16 Agustus 1837 kejatuhan kota – benteng – Bonjol dirayakan prajurid Ulando dengan pesta candu dan tuak, sebagai ungkapan keberhasilan mereka. Dengan pertolongan beberapa orang hulu balang yang gagah berani, Tuangku Imam diselamatkan darikepungan pasukan musuh dan dilarikan ke kampuang Marapak.
Sesudah menduduki Bonjol, tentara Belanda mengadakan pembersihan secara besar-besaran. Penyisiran terhadap daerah-daerah basis pasukan Tuangku Imam dibumi hanguskan. Tapi Tuangku Imam tidak ditemukannya juga.”
“Apakah salah seorang dari istri Tuangku Imam itu nenekmu, Maryam?,” aku bertanya.
TINDAKAN yang diambil oleh L.C. Westenenck didasarkan pada pengumuman Gubernur Genderal ‘Van Heutsz’ di Batavia pada tanggal 1 Maret 1908 untuk memberlakukan Peraturan (Undang Undang) Pajak Langsung untuk seluruh Hindia Belanda.Westenenck sebagai seorang pejabat tinggi Departemen Dalam Negeri (AmtenaarB.B) yang berpangkat kolonel dan berkedudukan sebagai Komendur Oud Agam karena Asisten Residen Luhak Agam merangkap Residen Padang she Bovenllandenya itu Van Driesche yang tidak begitu serius dalam menjalankan tugasnya – karena menurutnya belum saatnya untuk melaksanakan Undang-Undang Belasting dengan tangan besi. Karena beberapa kali pendekatan dan sosialisasi tentang pelaksanaan peraturan baru itu gagal atau tidak didukung oleh rakyat, maka pada tanggal 16 Maret 1908L.C. Westenenck kembali memanggil seluruh Laras untuk mengadakan pertemuan di kantornya, di kota Fort de Kock (Bukittinggi). Inti pertemuan tersebut adalah penegasan dan instruksi oleh L.C. Westenenck untuk segera melakukan penghitungan atau penaksiran dan langsung memungut pajak langsung itu. Dalam instruksi itu dipertegas bahwa kepada masing-masing Laras dan kepala nagari yang merasa tidak mampu menjalankan pemungutan pajak akan dibantu dengan kekuatan militer, kepada laras laras dan kepala nagari yang menentang akan dipecat dari jabatannya dan akan ditangkap untuk dibuang. Dalam pertemuan itu, Laras Salo-Magek diwakili oleh Warido, lengkapnya AgusWarido Prawirodirjo, anak seorang bekas prajurid Sentot Alibasya yang berpihak Belanda menikahi salah seorang padusi (gadis) Minang secara paksa dengan mendapat dukungan Belanda.
Jamaah
Surau Kampung Budi Kamang, suraunya Haji Abdul Manan kedatangan
seorang tamu atas undangan dari sesepuh Kamang. Tamu tersebut adalah Penghulu
Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek, saudara dari Haji Muhammad Taher
Jalaluddin anak dari Tuangku Syeikh Cangkiang Ampek Angkek yang pernah menjadi redaktur
‘Al-Imam’ di Singapura, dan saudara tiri dari Syeikh Ahmad Khatib al
Minangkabauwi. Pertemuan yang dilakukan pada petang Sabtu (malam Minggu),
sekedar menghilangkan pemantauan dari para antek antek Belanda. Karena malam
Minggu sebagai malam panjang yang penuh pesta pora orang orang Belanda di Fort
de Kock yang telah pula membias terhadap kaki tangannya seperti, Engku Laras
dan koleganya, Engku Palo dan koleganya. Seolah-olah mereka sudah menjadi orang
Belanda pula di kampungnya sendiri. Situasi semacam ini dimanfaatkan pula oleh
para santri di surau-surau untuk memperbincangkan sesuatu yang sangat rahasia,
dengan dalil tidak akan mungkin orang yang sedang pesta, mabuk-mabukan
melakukan kontrol dan pengawasan masuk kampung keluar kampung. Salah seorang
penceramah pada pertemuan dengan slogan wirid umum ini adalah Penghulu Kepala
Nagari Koto Tuo Ampek Angkek Muhammad Amin Pamuncak yang bergelar Sutan
Bagindo. Pertemuan ini merupakan kelanjutan pertemuan yang dilaksanakan oleh
Muhammad Amin Pamuncak sendiri di Koto Tuo pada Mei 1908 dan seluruh peserta
rapat di Koto Tuo Ampek Angkek waktu itu telah bersumpah sakti untuk tidak akan
membayar pajak kepada Belanda. Sumpah sakti itu dilaksanakan di makam
moyangnya, makam tokoh pergerakan Islam sebelum perang Paderi, yaitu di makam
Tuangku Alamuddin Datuak Bandaro, suku Guci yang terkenal dengan sebutan
‘Tuangku Nan Tuo’ di Koto Tuo Ampek Angkek. Awal acara wirid tetap seperti
biasanya. Pembacaan qalam Illahi yang dikumandangkan oleh Siti Maryam
dilanjutkan pengajian umum leh Haji Musa, abangnya Haji Abdul Manan dan
setelah agak larut malam barulah Muhammad Amin Pamuncak meminpin sebuah
halaqah untuk bermanti’ (mantik) dan berma’ni. Tapi saat ini bukan mengenai
ketauhidan, melainkan menganalisa pemikiran dari C.Snouck Hurgranje yang
dianjurkannya terhadap pemerintah Belanda dalam melahirkan kebijakan-kebijakan
pemerintahan Belanda di Hindia Belanda.Dari sisi ruang yang dibatas tabir
kelambu - dipenuhi oleh kaum perempuan, ternyata Siti Maryam telah
mengembangkan kertas-kertas kosong dan kalam untuk mencatat seluruh penyampaian
dari Muhammad Amin Pamuncak. Tentu saja beberapa data dan hasil muzakarah ini
sangat berguna baginya untuk disampikannya pula dalam wirid-wirid pertemuannya
di Mangopoh, Kurai Taji, Sungai Sariak Pariaman dan
daerah-daerah Pasaman, serta daerah lain yang
menjadi tanggung jawabnya sebagai tenaga propaganda.
Magek pura-pura alim, diam memakai kain sarung seperti orang akan shalat dan malah agak dirindihkannya,melorot hingga tertutup semua kakinya dan ujung kain itu menyentuh lantai,seperti sarung yang dikenakan perempuan mau shalat.
Guru mulai mengambil ancang-ancang dan rotanpun melayang ke kaki anak yang berada paling kanan guru.
"Pip !” bunyi rotan satu kali di kaki kiri sebelah luar anak pertama.
“Kamu ke sana, pindah !” Perintah guru kepada anak tersebut untuk mengambil jarak dari barisan kawan-kawannya yang belum kena lecut.
“Pip !” Begiti pula bagi anak ke dua.
Setelah merapat dengan kawannya yang pertama si Guru Tuo melanjutkan hukuman kepada anak yang ketiga.
"Poh ! "Bunyi rotan dikain sarung si Kancia. Sang guru mengulanginya lagi, ternyata masih berbunyi "poh...!" rotan tersebut, bukan "pip..!"
Guru
Tuo mulai curiga, kenapa berbeda bunyi rotan di kaki si Magek. Dengan mendadak
sang guru menyinsingkan kaki Magek. Magek buru-buru mengembalikan posisi
kakinya, tetapi kalah cepat dengan tangan
guru menyinsingkan ‘kodek’-nyaitu. Maka ketahuanlah rahasia ilmunya si
Magek.
“O, begitu ya! Pintar kamu
menipu saya, ya !”
Rupanya Magek telah mencurangi gurunya untuk kesekian kalinya. Sewaktu rotan melayang mendera kakinya maka dia mengangkat kaki kirinya itu. Tentu saja bunyi rotan itu “balapoh” melecut kain sarung yang berongga itu.
“Sekarang buka kain sarungmu !” perintah sang guru. Magek pun menuruti perintah engku gurunya itu.
Kawan-kawan Magek mulai miris karena dia telah mengecoh semua orang dalam kamar. Juru Tulis serba salah, mau ketawa tidak mungkin karena akan menghilangkan wibawa temannya si Guru Tuo itu, tetapi perutnya sudah mulais akit melihat tingkah si Magek menipu gurunya itu. “Benar-benar seperti kancil anak ini,” gerutunya dalam hati.
Sesaat otak Magek mulai pula mengerayang lagi mencari akal, karena dia sudah pernah merasakan sakit bercampur perih dilecut dengan rotan.Sang guru mulai pula mengambil ancang-ancang untuk melecut kaki Magek.
“Pip !” bunyi rotan satu kali di kaki kiri yang diringi oleh suara rauangan kawan disebelah kanan Magek. “Aduh! ”. Tanpa disangka rotan yang ditujukan untuk Megek singgah di kaki kawannya di sebelah kanannya. Rupanya si Magek bikin ulah lagi.
Pada saat rotan melayang ke arah kakinya secepat itu pula dia melompat kecil.Tentu saja rotan itu melesat kek kaki kawan di sebelahnya.
Untuk kedua kalinya, Magek mengambil langkah mundur, tapi toh masih kawan nya yang menanggungnya. Kawannya mulai meraung raung menangis. “Awak lah duo kali kanai, engku....? ”raungnya menghiba karena sudah dua kali deraan rotan yang diayunkan gurunya mengenai kakinya.
Akhirnya, sang guru naik pitam lagi dia membentak Magek dan menyuruh Magek duduk.
“Magek. Duduk !”
“Mana telapak tanganmu,” perintah guru kepada Magek.
“Keduanya !” perintah guru lagi supaya Magek menjulurkan kedua telapak tangannya ke depan.
Pada saat guru mengayunkan rotan ke telapak tangan Magek, Magek menarik telapak tangannya itu, sehingga rotan tidak mengenai sasaran. Siapa yang tidak akan naik darah, naik pitam karena bengalnya anak ini.
Tanpa ayal lagi si gurupun kehilangan kesabarannya, dengan serta merta si guru membuka ikat pingangnya yang terbuat dari kulit.
Melihat sang guru sangat marah dengan ikat pinggang kulit ditangannya, Magek ketakutan. Pada saat sang guru mengayunkan ikat pinggang itu yang diiringi ucapan kekesalan sang guru,
“Ini yang kamu minta !” kata gurunya dengan bengisnya. Pada saat itu pula Magek berguling ke kiri, sehingga dia tidak kena ikat pinggang, gurunya terjerembab ke depan karena dengkulnya menghimpit kain sarungnya, sehingga terbukalah ‘kodek’ sang guru. Untunglah sang guru mengenakan celana pendek yang panjangnya hingga diatas lutut dan longgar itu, semacam celana hawaii sekarang.
Baik Juru Tulis maupun anak-anak riuh ketawa melihat kodek sang guru ‘tangga’,lepas dari lilitan dipinggangnya.
Guru Tuo terperangah, kemudian menjamba cangkir kopinya untuk mengalihkan rasa kekecewaannya karena telah masuk ke dalam lobang perangkap si Megat ‘Kancil’ itu. Kancia atau kancil yang satu ini bukanlah – pelanduk– yang sering memperolok buaya dan harimau bagaikan dalam dongeng-dongeng yang kesukaannnya mencuri ketimun di ladang pak tani. Sambil menyandar ke dinding Guru Tuo meneguk kopinya yang telah dingin. JuruTulis hanya memperhatikan gelagat si Guru Tuo. Mereka tidak mengomentari sebuah episode yang baru saja berlangsung. Daripada salah tanggap, maka JuruTulis buru-buru menghabiskan kopinya dan kemudian membetulkan tikar alas tidurnya yang terbuat dari daun pandan.
Anak-anak disuruh bubar dan tidur ditempatnya masing-masing di ruang besar bersama para ikhwan lainnya.
______________________________________
Keesokan
harinya, si Juru Tulis mendapat informasi yang mengejutkan dari Siti Anisyah.
Sepulang dari surau malam kemaren kebetulan Siti Maryam dibawa menginap oleh
Siti Anisyah di rumahnya. Rupanya menjelang tidur fikiran Siti Maryam juga
‘dibuncahkan’ oleh ketampanan seorang pemuda yang bertubuh ideal di surau tadi
yang bercampur dengan kesan indahnya terhadap alam negeri Kamang.
“Siapa
gerangan nama pemuda itu, ya?,” bisik hatinya.
Sementara
Inyiak Haji Abdul Manan hanya memperkenalkan tugas dan tanggung jawab si pemuda
itu saja, tetapi tidak menyebutkan nama pemuda yang sedikit pendiam itu.
“Etek,
kalau boleh ambo tau, siapa gerangan nama pemuda yang menjadi juru tulis Inyiak
Manan tadi itu, ‘Tek ?,” Siti Maryam memberanikan diri untuk menanyakan
nama pria itu kepada Siti Anisyah.
“Hmm !, kenapa tiba-tiba kamu menanyakan nama anak
muda itu Maryam ? Apakah dia telah menyudutkan pandangannya padamu tadi,
sehingga membuat perasaanmu tersinggung ?,” Pancingan Siti Anisyah pada
Maryam.
“Tidak, Tek ! Tadi
itu Inyiak Manan kan hanya memperkenalkan tugas-tugas pria itu saja dan tidak
menyebutkan nama orangnya. Padahal pada waktu-waktu mendatang saya kira pasti
akan banyak berhubungan dengannya, apalagi kalau saya masih dianggap anak
oleh orang Kamang ini, ‘Tek !,” jawab Maryam, yang mencoba
bersilat lidah dengan Siti Anisyah.
“O,
begitu ! Nanti kamu juga akan tau dengan sendirinya, Maryam. Sekarang
cukup dipanggil saja dengan ‘si-Juru
Tulis’, sesuai dengan tugasnya itu. Tidak masalah bukan ? Yang jelas
tidurlah kamu dulu karena tadi siang kamu sudah menempuh perjalanan jauh. Tentu
tubuhmu saat ini membutuhkan istirahat dan kami telah mempersiapkan tempat
dan selimut untukmu, Nak ? Tidurlah dulu !,” kilah Siti Anisyah
pada Maryam.
Maryam
merebah diri. Tidur tertelentang memandang langit-langit yang hampir tak teraba
oleh matanya. Ia pejamkan matanya, berkelebatlah bayangan perjalanan yang
ditempuhnya sejak dari kampung halamannya. Dirinya kini terhempas dinegeri
orang, jauh dari orangtua dan sanak saudaranya. “Sudah sejauh ini
perjelananku,” bisik hatinya.
Tapi,
ia telah menetapkan hatinya, dan telah melangkahkan kakinya. “Inikah yang aku
pilih,” ia kembali mempertanyakan tujuan hidupnya. “Mengapa aku tidak sebagaimana
gadis-gadis lainnya di kampung ku ?”
Pemandangan
sore tadi yang ditangkap oleh inderanya kembali menghiasai khayalnya. Pada saat
itu Maryam berdiri sejenak di ‘tanggo’, pembatas (antara) anak tangga dengan
lantai rumah dan sekaligus sebagai tumpuan batang anak tangga di surau itu
Maryam mencoba melapas pandang jauh ke sisi kiri dan sisi kanan surau.
Terlihatlah hamparan sawah sepuas mata memandang yang diterpa sinar kuning keemasan,
seakan persawahan di Kamang bagaikan hamparan permadani. Ditengedahkan
kepalanya menantap langit yang dihiasi sapuan awan– sirus– diantara kelompok cumulus,
kalong kalong mulai keluar dari sarangnya mengukir cakrawala untuk memangsa
di malam buta. Maryam hanyut dalam lamunan pesona Lembah
Kamang, karena alam Kamang ini sangat berbeda dengan kampungnya yang persis
berada di pinggung deretan Bukit Barisan yang bersebelahan dengan nagari Kamang
Mudiak itu. Sambil membetulkan lampaian tubuhnya di tikar daun pandan dengan
tangan kiri menjadi bantal dan tangan kanan ditaroknya di atas hulu
hati Maryam melanjutkan lamunan.
“Indah
nian nagari Kamang ini. Daerahnya datar, persawahan luas, di tengah tengahnya
diselingi oleh beberapa gundukan bukit yang bagaikan pulau-pulau ditengah
bahari lepas, luas. Kampung yang benar-benar berada di sebuah lembah yang
subur. Nun di Selatan terpampang pula dengan seonggok Gunung Merapi dan Singgalang,
sementara di Utara, Timur dan Barat didindingi oleh Bukit Barisan,” bisik
Maryam dalam hatinya.
“Tapi...,
siapa yang menyangka kalau di negeri yang nyaman, bumi yang subur, alamnya yang
ramah ini melahirkan anak manusia yang berwatak kesatria, taat menjalankan
perintah Islam dan adat leluhurnya. Membatu semangatnya untuk mengusir kaum
kafir yang mencoba menjajah dan menjarah negerinya sampai berpengaruh di
seluruh alam Minangkabau ini !”
“Bukankah
pula leluhurku Inyiak Peto Syarif yang bergelar Tuangku Imam Bonjol berperang
dengan Ulando pada tahun 1825-1837 dalam Perang Pidari dahulu, juga dibesarkan
dan dimatangkan oleh Guru Tuonya yang bergelar Tuangku Nan Renceh dari kampuang
Bansa. Kamang ini pula !” urai hatinya.“Kamu belum tidur, Maryam ?” Maryam
kaget, rupanya Siti Anisyah telah mencuri pandang terhadap Maryam.
“Belum,
‘Tek. Aku lelah sehingga mata susah tertidur.”
“Tidurlah,
Nak, sudah malam,” seru Anisyah kepadanya.
“Ya,
‘Tek. Terima kasih, ‘Tek,” sahut maryam. Terputus lagi pemutaran hasil bidikan
kedua lensa mata yang telah disimpan dalam memori di otaknya itu.
Satu
lagi yang membuat ia hatinya bergolak-golak, bagai kacang direbus satu, yaitu bisakah
ia diterima sebagai murid ? Keberadaannya di surau ini masih sebagai tanda
tanya. Kapan ia mendapat jawaban, diterima atau tidak ? Kalo ia diterima sebagai
murid, tentu sesuai dengan harapannya. Jika ia ditolak, apa yang harus ia lakukan ? Ia
tersentak oleh tidurnya ketika mendengar derak derik lantai. Ia tajam kan telinganya,
langkah makin banyak menginjak lantai papan itu. Ia pun bangun, dan duduk.
“Marayam,
bangunlah. Waktunya sholat subuh,” panggil Siti Anisyah.
“Ya,
Tek. Saya sudah bangun,” jawab Maryam.
Siti
Anisyah berlalu. Dalam hati ia berguman, “Gadis yang baik !”.
Haji Abdul Manan menatap Siti Anisyah dengan pandangan yang teduh sambal menghela napas panjang. Masalahnya Siti Anisyah didesak oleh Siti Maryam untuk mendapatkan kepastian dari Haji Abdul Manan tentang janjinya terhadap Maryam.
Bagian VI.
(Latihan di Malam Hari)
______________________________________
Bagian V.
(Pembekalan)Haji Abdul Manan menatap Siti Anisyah dengan pandangan yang teduh sambal menghela napas panjang. Masalahnya Siti Anisyah didesak oleh Siti Maryam untuk mendapatkan kepastian dari Haji Abdul Manan tentang janjinya terhadap Maryam.
“Maryam mendesak ambo untuk mendapatkan
jawaban dari Inyiak, kapan dia diperbolehkan belajar ilmu beladiri.”
Tuangku Haji Abdul Manan tak dapat lagi
mengelak akan kemauan keras Siti Maryam untuk memperoleh ilmu dunia, tentang
persilatan dan tentunya ilmu kebal peluru dan ilmu meringankan tubuh,
sekaligus cara menunggang kuda, meskipun ilmu tentang ajaran agama sudah dia
dapatkan semenjak awal kedatangannya berguru kepada Haji Abdul Manan di ke
Surau Kampuang Budi Kamang.
“Selain kemauan keras dari Siti Maryam, toh
aku juga menerima amanah dari Ayah semasa di tanah suci Mekah dulu juga
demiakian. ‘...kaum wanita dilahirkan tidak hanya menjadi tukang memasak di
dapur, dan mengembangkan keturunan sebagai ibu yang baik, tetapi juga harus
dididik menjadi pendekar bangsa. Tidakkah kamu mengetahui anakku bahwa
keselamatan dunia dan akhirat nantinya juga terletak di tangan kaum ibu
sendiri...”, pesan Ayahndanya itu yang masih terngiang ditelinganya, dan
sekarang sedang bergelut dalam pikirannya untuk menjawab tuntutan Siti Maryam.
“Ini adalah amanah dan tidak ada pilih kasih.
Bukankah pula kamu Anisyah, Aisyah dan kawan perempuanmu yang lain juga
telah aku beri pelajaran apa yang dituntut Maryam sekarang ini,” katanya
lagi dalam hati.
“Betul, Anisyah. Tentu Maryam kembali
menagihnya karena sudah sampai bilangan janji yang saya ujarkan beberapa waktu
lalu,” ujar Haji Abdul Manan kepada Siti Anisyah.
“Lalau bagaimana Nyiak. Apakah dia sudah
dibolehkan belajar silat ?,” desak Anisyah.
“Kalau hatinya sudah kuat, keyakinannya sudah
bulat tidak apalah. Tapi, siapa yang akan melatihnya, dia seorang gadis,” jawab
Haji Abdul Manan.
“Kalau Aisyah, bagaimana Nyiak,” pintas Siti
Anisyah.
“Aisyah.... Tidakkah dia
terlalu jauh dari Rumah Tinggi datang ke sini untuk melatih Maryam. Tentu Dt.
Rajo Pangulu, suaminya juga akan repot mengantar dan menjemputnya nanti,
meskipun waktunya hanya dua kali seminggu.”Bukankah dahulu yang
memperlancar jurus-jurus silatnya Aisyah juga kamu,
Anisyah
!”
“Kalau boleh aku bermohon
kepada Inyiak, sebaiknya Aisyah saja yang melatih Maryam. Baiknya disepakatilah
terlebih dahulu siapa yang akan melatih Maryam.Apakah kamu
atau Aisyah. Mintalah dulu pertimbangan dan izin dari
masing-masing suami kalian.”
“Baiklah, Nyiak.” Tapi, Nyiak. Tentu tetap Inyiak
yang membaiat Maryam untuk pertama kali, supaya ada berkat ilmu silat itu
padanya.”
“Insyaallah..., tapi kamu jangan lupa
menyampaikan kepada Maryam akan syarat syarat yang harus disediakannya
sebelum memulai belajar silat dan atau ilmu kebatinan lainnya.
Begitulah biasanya, Anisyah.”
“Nanti saya sampaikan dan saya bantu untuk
mendapatkan rumuan dan syarat syarat itu,
Nyiak. Apa saja yang harus disediakan Maryam,
Nyiak ?”
Akhirnya Tuangku memberikan kata pasti supaya
Maryam melengkapi terlebih dahulu syarat-syarat berguru ilmu.
“Secara lahiriahnya berupa : Sirih/pinang
langkok (lengkap), terdiri dari daun sirih, pinang muda, gambir, kapur sirih;
beras satu liter ulang-aling (ekor dan kepala liter takaran diisi beras); cabe
bulat; garam; sakin (pisau); jarum tangan;peniti; cermin kecil; selembar sapu
tangan; dan kain putih satu kabung (satuhesta). Dan secara batinnya adalah
keikhlasan dan kepasrahannya kepada Allah Subhanallahita’ala, semata !” Sebagaimana
biasanya, pada petang Kamis, malam Juma’at, yaitu selesai mengaji al-Qur’an,
tafsir, muzaqarah tentang kandungan kitab kuning berhuruf arab gundul, para
murid Tungku Haji Abdul Manan secara berangsur angsur menuju Ngalau Batu Biaro
yang berjarak lima ratus meter melalui jalan pintas dari Surau tempat mereka
ditempa. Sedangkan Maryam bersama murid perempuan lain dan beberapa tetua
kampung tetap memakukan duduknya di surau.Terlihat Siti Maryam mengenengahkan
kehadapan Haji Abdul Manan syarat-syarat yang telah disediakan sebelumnya.
Setelah memeriksa kelengkapan persyaratan yang diketengahkan Siti Maryam, lalu
Haji Abdul Manan segera menurunkan ilmu-ilmunya kepada Siti Maryam.
“Majulah, Nak !,” kata Haji Abdul Manan kepada
Maryam.
Maryam beringsut ke hadapan gurunya
itu merekapun berjawat salam. Pembaiatan Maryam untuk memperoleh ilmu
silat yang berbarengan nantinya dengan ilmu ilmu lainnya pun berlangsung. Semua
hadirin mengunci mulut, mempererat sila dan simpuhnya dengan tertib.
Dengan posisi jurus terakhir yang telah
dikuasi, Siti Aisyah mengajarkan bermacam cara meninju dan menangkap “jaro”
(tinju), cara ‘pakuak’ dan ‘tabang’ (retas) dan kemudian memerintahkan Siti
Maryam untuk menyerangnya.
“Jaro...!”, Kata Siti Aisyah kepada Siti
Maryam.
Maka Siti Maryam dengan setengah berlari
menghujamkan tinjunya ke arah perut Siti Aisyah. Dan secepat itu pula
Siti Aisyah mengelak, menghindarkan tubuhnya kekanan sehingga tinju Siti
Maryam tersorong ke depan dan bersamaan dengan itu Siti Aisyah menangkap
pergelangan tangan kanan Siti Maryam dengan tangan kanannya, sedangkan
tangan kirinya menangkap pergelangan siku Siti Maryam. Ternyata pula pangkal
betis kaki kiri Siti Aisyah pun telah mengganjal lutut kanan Siti Maryam.Maka
terkuncilah kedua persendian tangan gadis belia itu oleh kecekatan SitiAisyah.
Sehingga badan Maryam terhuyung, seakan mau jatuh ke tanah.Pada saat posisi
Siti Maryam sedang terkunci dan kehilangan keseimbangan, Siti Aisyah memberikan
penjelasan tentang gerakan tersebut. Setelah Siti Maryam memahaminya, maka Siti
Aisyah memerintahkan Siti Maryam untuk mencobakannya, dengan bergantian
menyerang. Mereka kembali keposisi sebelumnya, maka mulailah Siti Maryam
diserang dengan “jaro” oleh Siti Aisyah.
Dasar anak cerdas dan perhatiannya yang
sungguh-sungguh, maka Siti Maryam cekatan menangkap tangan Siti Aisyah seperti
yang dijarkan tadi. Namun ada kejanggalannya, kaki kiri Siti Maryam bukannya
menyilang di lututnya Siti Aisyah, melainkan tumit kanannya diangkat seperti
akan menghantam rusuk kanan Siti Aisyah. Siti Aisyah perempuan yang telah mahir
bersilat, matanya menangkap gerakan tumit yang akan mengenai rusuknya, maka
tangan kirinya yang menempel di rusuk kanannya saat menjaro tadi langsung
menangkap pergelangan kaki Siti Maryam. Sehingga terkangkanglah kaki Siti
Maryam. Maka langsung pula Siti Aisyah memberikan penjelasan tentang ‘langkah
sumbang’ Siti Maryam yang tersebut.
Tanpa disadari, pada saat kaki Siti Maryam
terkangkang itu diiringi pula oleh suara menderut, ternyata jahit celana yang
dikenakannya putus, para hadirin yang menyaksikan persilatan kedua perempuan itu terkesima
sesaat. Sutan Parmato mengigau, matanya melotot sekan mau melompat keluar.
Bukan karena apa-apa..., sekejap dia melihat bahagian tertentu paha Siti Maryam
yang putih bagaikan warna bulan purnama pada tengah malam itu disela jahitan
celana Siti Maryam yang terkoyak, putus jahitannya dari atas lutut.Gelagat si
Parmato yang memang agak suka jahil itu, terlihat oleh Datuak Rajo Pangulu dan
Kari Mudo, maka dengan arif Datuak Rajo Pangulu menepukkan tangannya sambil
menyuruh kedua orang putri itu untuk beristirahat duhulu sembari melemparkan
kain sarung– bugis makasar– yang disandangnya kepada Siti Maryam
untuk ‘kodek’ nya sementara. Datuak Rajo Pangulu menyuruh Siti Maryam
berganti pakaian ke atas surau dengan ditemani
Siti Aisyah.
Ikhwan lainnya susah menahan tawanya. Kalau
ketawa takut akan dimarahi guru, tetapi perut semakin sakit menahan, karena
melihat si Parmato yang sedang serbasalah di hadapan guru dan orang tua-tua
sekeliling sasaran silat itu. Sedangkan Si Juru Tulis melihat kejadian itu
dengan acuh tak acuh ! Supaya jangan terlalu tersurut pula si Parmato, maka
tampillah Kari Mudo ketengah gelanggang berseru supaya latihan persilatan
dilanjutkan oleh pesilat laki-laki yang berikutnya latihan bermain pedang dan
debus. Setelah latihan silat oleh pemuda - pemuda di kampung tersebut,
mereka berangkat ke Ngalau Batu Biaro untuk melakukan latihan intensif
menghadapi peparangan. Kari Mudo pun menyusul ke atas Surau, setelah menunggu
beberapa saat Siti Aisyah menemani Siti Maryam menukar pakaiannya. Kari
Mudo berkata kepada Siti Aisyah,
“Kamu tadi terlalu cepat menyambar dan terlalu
tinggi mengangkat tumit Maryam,sehingga celananya robek. Malu juga kita
jadinya karena terlihat auratnya oleh kita semua yang hadir itu.”
“Bukan itu masalahnya, Tuan Kari !” Jawab Siti
Aisyah. “Tetapi, kebetulan celana yang dikenakan Maryam itu adalah celana bekas
dari saya yang dipinjamkan kepadanya. Memang kainnya sudah agak usang dan
benangnya pun barangkali sudah rapuh. Dan ‘ambo’ pun tak memperkirakannya pula
sebelumnya, Tuan !”“Dia bersemangat sekali untuk menguasai persilatan
ini dan kelihatannya, Maryam termasuk anak yang cerdas dan lincah. Saya
yakin dia bekal cepat menguasainya,” kata Kari Mudo lagi.
“Berarti kekuatan kita akan bertambah, Tuan !”
kata Aisyah.
“Ya !, tepat sekali !, berarti
kamu dan Kak Siti Anisyah akan mendapatkan tambahan kawan dalam
mempersiapkan atau pun dalam perlawanan dengan Ulando itu nantinya. Tapi
Aisyah, hal ini tetap dalam genggaman rahasiamu, agarkamu pegang erat-erat, kau
kunci dalam batinmu bahwa Siti Maryam adalah dapat dihandalkan dalam perlawanan
kita nanti !” kata Kari Mudo sambil melangkah untuk turun kembali
ke tempat sasaran persilatan.
“Baiklah Tuan !” jawab Aisyah sambil
mengiringi Kari Mudo ke tanggo.
Pelajaran silat untuk Siti Maryam dilanjutkan.
Namun di gelanggang sudah tidak seramai tadi. Paara pesilat pria sudah
kembali ke Ngalau Kamang untuk melajutkan pelatiahan perang
mereka. Siti Maryam menyapu setiap orang masih tersisa
mencari seseorang, namun pria muda tersebut sudah berangkat pula ke Ngalau Kamang. Hatinya berharap Sang Juru Tulis
berada di gelanggang latihan tersebut, meskipun dalam bayang-bayang kegelapan.
Kari mudo rupanya melihat gelagat Siti Maryam,yang
sedikit terganggu pikirannya. “Ayo...,” bentak Kari Mudo. Siti Anisyah yang
duduk berjuntai kaki, membuang mukanya melihat kejadian sesaat itu. Ia tahu apa
yang mengganggu pikiran anak gadis itu. Kemudian, ia tatap wajah Siti Maryam.
Pandangan mereka bertemu. Siti Anisyah mempertajam matanya, sebagai isyarat
sebuah tegoran. Siti Maryam menundukkan kepalanya.
______________________________________
Bagian VI.
Malam Jum’at itu, di arena, tempat latihan
silat di belakang Surau di Kampung Budi Kamang ramai dikunjungi
orang. Baik orang tua-tua, pemuda, laki-laki ataupun perempuan. Bangku-bangku
yang terbuat dari bambu di sekeliling sasaran silat tersebut tidak termuat lagi
oleh penonton. Pada saat itu murid-murid yang sudah mahir berhenti latihan di
Ngalau Batu Biaro untuk memberikan ‘spirit’ kepada kawan baru dalam persilatan
dan sekaligus syukuran karena kawan baru itu telah ‘dibao tagak’, sebuah
lanjutan dalam dunia persilatan Minang yang sebelumnya latihan diberikan guru
barulah untuk meringankan gerakan tangan dan melenturkan pinggang dalam duduk
bersila, bersimpuh dengan jalan menukar-nukar posisi kaki, duduk jongkok
dan berputur ditempat kedudukan sendiri. Pada saat ‘mambao tagak’ latihan silat
tidak lagi dengan duduk di surau, melainkan dengan gerakan silat yang
sebenarnya.
Tuangku Haji Abdul Manan mempersilahkan
Maryam maju ke tengah arena latihan. Dengan perasaan sedikit malu, Siti Maryam
yang mengenakan pakaian hitam, baju dan celana gunting Aceh berwarna hitam
dengan sutera kuning sebagai ikat pinggang, dan kain penutup kepala dari sutera
hitam yang diikatkan dibelakang maju ke arena latihan.
Mula-mula Siti Maryam berjongkok
memberi salam kepada gurunya, kepada sekalian orang tua-tua dan kepada orang
banyak sekelilingnya. Ketika melayangkan pandangan sekeliling, mata Maryam
terpaku kepada wajah si Juru Tulis yang tengah berdiri
dibelakang penonton, seolah – olah ia hadir dengan bayang-bayangnya. Maryam
kembali memfokuskan pikirannya akan pelajaran pertama yang akan ia
terima, setelah seketika darahnya berdesir oleh tatapan Sang Juru Tulis.
Selesai memberi salam kepada orang banyak,
masih dalam keadaan jongkok Maryam menundukkan wajahnya ke bumi dan
menghunjamkan ujung-ujung jarinya ke tanah, sesuai dengan kebiasaan para juru
silat di Minangkabau.
Begitu pula dengan Siti Aisyah,
istri Datuak Rajo Pangulu dari Kamang Hilirturut
melaksanakan tata krama persilatan, berjongkok sambil menjunjung salam diatas
kepalanya meminta restu dari suaminya Datuak Rajo Pangulu.Siti
Aisyah telah dipercayai sebagai ‘guru tuo’, guru pembantu dari guru
utama untuk mengajarkan sesuatu kepada murid yang baru atau kepada murid yang
belum fasih sebelum dikhatam oleh guru utama. Setelah keduanya selesai memberi
salam dan siap ditempat masing-masing maka Haji Abdul Manan tampil ke depan
memasuki gelanggang untuk memberikan kata sambutan dan petuah tentang kandungan filsafat
silat Minang dan beberapa nasehat yang berguna bagi kedua pemain,
terutama bagi Siti Maryam.
Selesai ulama yang kharismatik itu berbicara,
maka ia memberikan isyarat bahwa permainan silat sudah dapat dimulai,
maka Siti Maryam segera mendatangi Siti Aisyah Si
Guru Tuo.
Sebelum permainan silat di mulai, maka Si
Guru Tuo, Siti Aisyah mengucapakan sepatah kata pula yang isinya mengatakan
kegembiraan dan rasa terimakasihnya atas kepercayaan yang diberikan sebagai
orang yang akan mengajarkan ilmu silat kepada Siti Maryam oleh Inyiak Manan dan
ucapan terimakasih dan mohon bimbingan selanjutnya disampaikannya kepada
suaminya Datuak Rajo Pangulu beserta tetua kampung lainnya.
Kedua perempuan itu berjabat salam dan
memulai membuka langkah yang dikomandokan oleh Siti Aisyah dengan suara
“Eep...!”
Serentak dengan suaranya, Siti Aisyah menarik
kakinya selangkah ke belakang, dengan posisi tumit kiri dan kanan bagaikan
membentuk huruf ‘v’ namun kedua tumit agak direnggangkan. Sedangkan tangan kiri
mengepit rusuk kanannya, sementara tangan kanannya agak terbuka ke atas dengan
siku agak ditekukkan. Keempat jarinya tersusun rapat dan ibu jarinya terpisah
dari keempat jari lainnya di depan dahi dengan telapak tangannya menghadap ke
arah lawan. Ayunan tangan dan langkah itu disertai pula dengan tubuh yang agak
membungkuk namun matanya menyudut ke sisi kanan, mewaspadai gerak lawan.
Sesaat Siti Aisyah bagaikan patung dengan
posisi seperti di atas, yang memberikan kesempatan kepada Siti Maryam untuk
menirukan gerakan yang dioeragakannya. Setelah Siti Maryam mengambil posisi
yang sama dengan Siti Aisyah, maka mulailah Siti Aisyah bersuara lagi.
“Ep...!”, lalu menukar gerak dengan kaki kanan yang disilangkan ke depan dan
merunduk ke tanah, sedangkan tangan kanannya telah beralih ke belakang.
Sehingga posisinya seakan duduk dipersilangan kaki bagaikan elang akan terbang.
Kemudian mematung lagi beberapa saat, hingga Siti Maryam menirukan pula gerakan
tersebut. Sehingga posisi mereka sekarang sudah berdampingan dan tidak
berhadapan hadapan lagi, dan masing-masing bahu kiri mereka lah yang
berhadapan, namun mata masing-masing secara reflek waspada.
Dengan aba-aba “Ep...!”, lagi, Siti Aisyah
memutar tubuhnya sambil berdiri sehingga posisinya seperti gerakan awal tadi,
namun arahnya telah bertukar seratus delapan puluh derajat. Maka tak ayal lagi,
Siti Maryam pun menirukan gerakan itu. Begitulah pola latihan yang didapatkan
Siti Maryam pada malam itu berulang-ulang sehingga mahir dalam jurus tersebut.
Pada malam berikutnya, jurus-jurus baru
ditambah lagi oleh Siti Aisyah. Namun sebelumnya terlebih dahulu diawali dengan
gerakan jurus yang telah dipelajari pada malam malam sebelumnya.
Dengan posisi jurus terakhir yang telah
dikuasi, Siti Aisyah mengajarkan bermacam cara meninju dan menangkap “jaro”
(tinju), cara ‘pakuak’ dan ‘tabang’ (retas) dan kemudian memerintahkan Siti
Maryam untuk menyerangnya.
“Jaro...!”, Kata Siti Aisyah kepada Siti
Maryam.
Maka Siti Maryam dengan setengah berlari
menghujamkan tinjunya ke arah perut Siti Aisyah. Dan secepat itu pula Siti
Aisyah mengelak, menghindarkan tubuhnya ke kanan sehingga tinju Siti Maryam
tersorong ke depan dan bersamaan dengan itu Siti Aisyah menangkap pergelangan
tangan kanan Siti Maryam dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya
menangkap pergelangan siku Siti Maryam. Ternyata pula pangkal betis kaki kiri
Siti Aisyah pun telah mengganjal lutut kanan Siti Maryam. Maka terkuncilah
kedua persendian tangan gadis belia itu oleh kecekatan Siti Aisyah. Sehingga
badan Maryam terhuyung, seakan mau jatuh ke tanah.
Pada saat posisi Siti Maryam sedang terkunci
dan kehilangan keseimbangan, Siti Aisyah memberikan penjelasan tentang gerakan
tersebut. Setelah Siti Maryam memahaminya, maka Siti Aisyah memerintahkan Siti
Maryam untuk mencobakannya, dengan bergantian menyerang. Mereka kembali
keposisi sebelumnya, maka mulailah Siti Maryam diserang dengan “jaro” oleh Siti
Aisyah.
Dasar anak cerdas dan perhatiannya yang
sungguh-sungguh, maka Siti Maryam cekatan menangkap tangan Siti Aisyah seperti
yang dijarkan tadi. Namun ada kejanggalannya, kaki kiri Siti Maryam bukannya
menyilang di lututnya Siti Aisyah, melainkan tumit kanannya diangkat seperti
akan menghantam rusuk kanan Siti Aisyah. Siti Aisyah perempuan yang telah mahir
bersilat, matanya menangkap gerakan tumit yang akan mengenai rusuknya, maka
tangan kirinya yang menempel di rusuk kanannya saat menjaro tadi langsung
menangkap pergelangan kaki Siti Maryam. Sehingga terkangkanglah kaki Siti
Maryam. Maka langsung pula Siti Aisyah memberikan penjelasan tentang ‘langkah
sumbang’ Siti Maryam yang tersebut. Tanpa disadari, pada saat kaki Siti Maryam
terkangkang itu diiringi pula oleh suara menderut, ternyata jahit celana yang
dikenakannya putus, para hadirin yang menyaksikan persilatan kedua perempuan
itu terkesima sesaat.
Sutan Parmato mengigau, matanya melotot sekan
mau melompat keluar. Bukan karena apa-apa..., sekejap dia melihat bahagian
tertentu paha Siti Maryam yang putih bagaikan warna bulan purnama pada tengah malam
itu disela jahitan celana Siti Maryam yang terkoyak, putus jahitannya dari atas
lutut.
Gelagat si Parmato yang memang agak suka
jahil itu, terlihat oleh Datuak Rajo Pangulu dan Kari
Mudo, maka dengan arif Datuak Rajo Pangulu menepukkan tangannya sambil
menyuruh kedua orang putri itu untuk beristirahat duhulu sembari melemparkan
kain sarung – bugis makasar – yang disandangnya kepada Siti Maryam untuk
‘kodek’ nya sementara. Datuak Rajo Pangulu menyuruh Siti Maryam berganti
pakaian ke atas surau dengan ditemani Siti Aisyah.
Ikhwan lainnya susah menahan tawanya. Kalau
ketawa takut akan dimarahi guru, tetapi perut semakin sakit menahan, karena
melihat si Parmato yang sedang serba salah di hadapan guru dan orang tua-tua
sekeliling sasaran silat itu. Sedangkan Si Juru Tulis melihat kejadian itu
dengan acuh tak acuh !
Supaya jangan terlalu tersurut pula si
Parmato, maka tampillah Kari Mudo ke tengah gelanggang berseru supaya latihan
persilatan dilanjutkan oleh pesilat laki-laki yang berikutnya latihan bermain
pedang dan debus. Setelah latihan silat oleh pemuda - pemuda di kampung
tersebut, mereka berangkat ke Ngalau Batu Biaro untuk melakukan latihan
intensif menghadapi peparangan.
Kari Mudo pun menyusul ke atas Surau, setelah
menunggu beberapa saat Siti Aisyah menemani Siti Maryam menukar pakaiannya.
Kari Mudo berkata kepada Siti Aisyah, “Kamu tadi terlalu cepat menyambar dan
terlalu tinggi mengangkat tumit Maryam, sehingga celananya robek. Malu juga
kita jadinya karena terlihat auratnya oleh kita semua yang hadir itu.”
“Bukan itu masalahnya, Tuan Kari !” Jawab
Siti Aisyah. “Tetapi, kebetulan celana yang dikenakan Maryam itu adalah celana
bekas dari saya yang dipinjamkan kepadanya. Memang kainnya sudah agak usang dan
benangnya pun barangkali sudah rapuh. Dan ‘ambo’ pun tak memperkirakannya pula
sebelumnya, Tuan !”
“Dia bersemangat sekali untuk menguasai
persilatan ini dan kelihatannya, Maryam termasuk anak yang cerdas dan lincah.
Saya yakin dia bekal cepat menguasainya,” kata Kari Mudo lagi.
“Berarti kekuatan kita akan bertambah, Tuan
!” kata Aisyah.
“Ya !, tepat sekali !, berarti kamu dan Kak
Siti Anisyah akan mendapatkan tambahan kawan dalam mempersiapkan atau pun dalam
perlawanan dengan Ulando itu nantinya. Tapi Aisyah, hal ini tetap dalam
genggaman rahasiamu, agar kamu pegang erat-erat, kau kunci dalam batinmu bahwa
Siti Maryam adalah dapat dihandalkan dalam perlawanan kita nanti !” kata Kari
Mudo sambil melangkah untuk turun kembali ke tempat sasaran persilatan.
“Baiklah Tuan !” jawab Aisyah sambil mengiringi
Kari Mudo ke tanggo.
Pelajaran silat untuk Siti Maryam
dilanjutkan. Namun di gelanggang sudah tidak seramai tadi. Paara pesilat pria
sudah kembali ke Ngalau Kamanguntuk melajutkan pelatiahan
perang mereka. Siti Maryam menyapu setiap orang masih tersisa mencari
seseorang, namun pria muda tersebut sudah berangkat pula ke Ngalau
Kamang.
Hatinya berharap Sang Juru Tulis berada
di gelanggang latihan tersebut, meskipun dalam bayang-bayang kegelapan. Kari
mudo rupanya melihat gelagat Siti Maryam, yuang sedikit terganggu
pikirannya. “Ayo...,” bentak Kari Mudo.
Siti Anisyah yang duduk berjuntai kaki,
membuang mukanya melihat kejadian sesaat itu. Ia tahu apa yang mengganggu
pikiran anak gadis itu. Kemudian, ia tatap wajah Siti Maryam. Pandangan mereka
bertemu. Siti Anisyah mempertajam matanya, sebagai isyarat sebuah tegoran. Siti
Maryam menundukkan kepalanya.
Menguji Ketangkasan
Agar lebih cepat menguasai segala tetek
bengek dalam ilmu persilatan, maka tidak henti - hentinya Siti Maryam berlatih
silat dengan Siti Aisyah.
Kali ini Siti Aisyah mengajarkan Siti Maryam
mempergunakan senjata tajam dan sekaligus mengelakkan serangan musuh yang
mempergunakan senjata seperti pisau, rudus (klewang) dan sejenisnya. Menurut
pengamatan Siti Aisyah, penguasaan Siti Maryam akan materi latihan sebelumnya
sudah cukup. Latihan silat dengan mempergunakan senjata tajam ini adalah
sebagai kelanjutan latihan-latihan sebelumnya.
“Maryam !, malam ini kita akan latihan silat
dengan mempergunakan senjata tajam. Kamu harus menguasai dan mahir
mempergunakan pisau dan kelewang, yang sekaligus menangkis dan mengelakkan
serangan musuh dengan mempergunakan senjata-senjata itu, bahkan tombak
sekalipun,” kata Siti Aisyah.
“Baiklah, Bundo !”
“Bahkan ini pulalah saat yang saya tunggu-tunggu.
Saya tidak sabar menunggu pelajaran ini dari Bundo,” timpal Siti Maryam.
“Sekarang mulailah permainanmu Maryam, saya
akan mengikuti permainanmu,” kata Siti Aisyah, yang berpakaian serba hitam
dengan ikat pinggang dari sutera putih berjumbai kiri dan kanannya dan ikat
kepala dari beludru kuning.
Siti Maryam memulai ilmu pencak, diawali
dengan kaki kanan, dan kemudian ditarik - diganti dengan kaki kiri yang berdiri
di atas tumitnya serta tangannya menari seperti elang yang hendak menyambar
mangsanya. Kadang-kadang ia berputar dengan tangan kiri di pinggang, melangkah
cepat keliling gelanggang dan kembali ketempat semula mengambil langkah langkah
baru. Sementara itu Siti Aisyah masih berdiri di tempatnya semula, mengagumi
permainan pencak yang begitu lincah Maryam dan Siti Aisyah berkata. “Mari kita
bermain Maryam, saya akan mengikuti permainanmu.”
Kedua perempuan itu mulai bermain, mula-mula
secara lambat-lambat, makin lama makin cepat dan mulailah dengan sepak -
menyepak yang cepat bagaikan kilat menyambar mendung. Siti Maryam berada
dipihak menyerang dan Siti Aisyah dipihak yang bertahan dengan mengelit ke kiri
dan ke kanan sambil mengintai terbukanya kesempatan untuk membalas serangan
Siti Maryam. Pada saat kesempatan terbuka, Siti Aisyah menyapu kaki kanan Siti
Maryam dengan secepatnya, sehingga Siti Maryam terpelanting ke belakang
beberapa langkah. Tetapi Siti Maryam berputar dengan cepat dan kemudian
berbalik menjaro Siti Aisyah dengan tinju tangan kanannya yang hampir saja
mengenai lambung sebelah kiri Siti Aisyah. Sebaliknya dengan cepatnya Siti
Aisyah, sambil berkelit langsung menangkap pinggang Siti Maryam dan
melemparkannya ke depan.
Sungguhpun Siti Maryam telah terpental
sepuluh langkah ke depan, namun yang menyentuh tanah adalah tetap ujung kakinya
yang tidak mengeluarkan bunyi sedekit pun bagaikan kucing melompat dari dahan
pohon dan menghadap kembali kearah gurunya.
“Maryam, keluarkan pisaumu !” perintah Siti
Aisyah.
Dengan serta merta Maryam mencabut pisau
‘sirauik’-nya, pisau bengkok bertangkai kayu bulat yang panjangnya satu
setengah jengkal, dan mengangkatnya kemuka pelan-pelan sambil menciumnya dan
kemudian mencorengkan ujung pisaunya ke tanah dan memberikan tanda silang serta
mempermainkan pisau dengan tarian yang sangat indah. Kemudian Siti Maryam
berpaling sambil mengucapkan, “Bundo sudah siap untuk menyambutnya ?”
“Ya !, sudah siap, Maryam !” Jawab Siti
Aisyah
Sesampai jawaban si Guru Tuo itu, Maryam
menujamkan pisaunya ke arah lambung kanan Siti Aisyah dengan sangat kencang dan
kuatnya. Tetapi, dengan santai Aisyah yang cekatan ini menyambut pergelangan
tangan Siti Maryam dan mempelintirnya, sesaat pula Siti Maryam dengan cepat
memutar badannya searah dengan putaran tangannya yang dipelintir Aisyah, serta
segera berkelit ke belakang, pelintiran Aisyah lepas dan pada saat itu Maryam
langsung menikam lambung kiri Aisyah, dan Aisyah segera pula berkelit sedikit
ke kanan, sedangkan kaki kanannya cepat menyepak pangkal siku Maryam dan
kemudian mengepit tangan Siti Maryam ke tanah hingga pisau terlepas dari tangan
Siti Maryam. Pisau itu oleh Siti Aisyah, sementara Siti Maryam dengan cepat
pula berbalik ke belakang.
“Waaah....!” bisik penonton dibalik
kain sarung yang disandangnya, karena melihat ketenangan Aisyah mematikan
serangan Siti Maryam dan sekaligus melihat lincahnya gadis itu berkelit sambil
waspada akan serangan balik Siti Aisyah.
“Iyo, bebar-benar alot !,” komentar penonton
lainnya, karena permainan kedua ‘merpati’ itu tidak terputus putus. Saling
mengunci dan melepaskan kemudian meyerang kembali, seolah mereka memiliki
cadangan gerakan dalam geliat permainan itu.
“Sekarang giliranku Maryam, karena
pisaumu berada dalam genggamanku,” kata Siti Aisyah. Sudah siapkah kau, Maryam
?”
“Sudah, Bundo, Majulah Bundo !” jawab Siti
Maryam.
Siti Aisyah maju menjuruskan pisau
ditangannya itu ke arah lambung kanan Siti Maryam, sambil memberikan
aba-aba.
“Awas...!,” teriak Aisyah.
Sesaat itu pula Siti Maryam dapat berkelit,
cuma saja dia tidak dapat menangkap pergelangan tangan Aisyah. Sehingga Aisyah
pun terlaju beberapa langkah ke depan, secepat itu pula Aisyah berbalik dan
menghela napas sejenak untuk mengumpulkan tenaga dan kembali menyerang Maryam.
Kali ini Maryam tidak berupaya untuk menangkap dan mengunci persendian Guru Tuo-nya
itu, melainkan hanya mengelak dan mengelak saja dengan lincahnya. Akhirnya Siti
Aisyah kehabisan tenaganya sendiri, terkuras staminanya karena tubuhnya
terseruk kesana kemari, kearah dia menyerang sementara sasaran serangnya
berupaya tidak tersentuh sama sekali. Siti Aisyah merasa letih dan segera
merangkul pinggang Siti Maryam sambil berkata
“Sudah cukup Maryam, ambo sudah letih.”
“Baiklah, Bundo ! Terimakasih, Bundo !,”
jawab Siti Maryam yang kemudian mencium kedua pipi gurunya.
Selesai memberi salam kepada Haji Abdul Manan
dan kepada yang tua-tua dan sekalian penonton yang masih terkesima dan terganga
yang seakan di bumikan di tempat duduknya masing-masing Keduanya duduk pada
tempat yang sudah disediakan, dan Haji Abdul Manan bertepuk
tangan dengan rasa puas mempersaksikan kepintaran Siti Maryam dan sosok Siti
Aisyah sebagai Guru Tuo yang penuh kearifan dan bijaksana memandu dan melatih
Gadis dari kampuang Hanguih, Bonjol itu.
Setelah Datuak Rajo Pangulu dan Kari
Mudo bertepuk tangan mengiringi tepuk tangan Haji Abdul Manan,
barulah penonton sadar bahwa permaian Siti Aisyah membimbing Siti Maryam sudah
selesai. Ternyata jam sudah menunjukkan pukul satu dinihari.
Dengan sudut matanya, Siti Maryam
mencari-cari diantara penonton. Tetangkaplah olehnya seseoramg yang berdiri
diremang-remang. Sebuah bibir tertarik tipis, Siti Maryam merasa senyuman kecil
itu ditujukan untuknya. Darah paling dalam Siti Maryam berdesir, mendapatkan
sebuah senyuman itu daro Si Juru Tulis – yang mana beberapa saat menghilang. (bersambung)
______________________________________
Bagian VII.
(Menguji Ketangkasan)
Agar lebih cepat menguasai
segala tetek bengek dalam ilmu persilatan, maka tidak henti - hentinya Siti
Maryam berlatih silat dengan Siti Aisyah.Kali ini Siti Aisyah mengajarkan Siti
Maryam mempergunakan senjata tajam dan sekaligus mengelakkan serangan musuh
yang mempergunakan senjata seperti pisau, rudus (klewang) dan sejenisnya.
Menurut pengamatan Siti Aisyah,penguasaan Siti Maryam akan materi latihan
sebelumnya sudah cukup. Latihan silat dengan mempergunakan senjata tajam
ini adalah sebagai kelanjutan latihan-latihan sebelumnya.
“Maryam !, malam ini kita akan
latihan silat dengan mempergunakan senjata tajam. Kamu harus menguasai dan
mahir mempergunakan pisau dan kelewang,yang sekaligus menangkis dan mengelakkan
serangan musuh dengan mempergunakan senjata-senjata itu, bahkan tombak
sekalipun,” kata Siti Aisyah.
“Baiklah, Bundo !”
“Bahkan ini pulalah saat yang
saya tunggu-tunggu. Saya tidak sabar menunggu pelajaran ini dari Bundo,” timpal
Siti Maryam.
“Sekarang mulailah permainanmu
Maryam, saya akan mengikuti permainanmu,”kata Siti Aisyah, yang berpakaian
serba hitam dengan ikat pinggang dari sutera putih berjumbai kiri dan kanannya
dan ikat kepala dari beludru kuning. Siti Maryam memulai ilmu pencak, diawali
dengan kaki kanan, dan kemudian ditarik - diganti dengan kaki kiri yang berdiri
di atas tumitnya serta tangannya menari seperti elang yang hendak menyambar
mangsanya. Kadang-kadang ia berputar dengan tangan kiri di pinggang, melangkah
cepat keliling gelanggang dan kembali ketempat semula mengambil langkah langkah
baru. Sementara itu Siti Aisyah masih berdiri di tempatnya semula, mengagumi
permainan pencak yang begitu lincah Maryam dan Siti Aisyah berkata. “Mari kita
bermain Maryam, saya akan mengikuti permainanmu.”
Kedua perempuan itu mulai
bermain, mula-mula secara lambat-lambat, makin lama makin cepat dan mulailah
dengan sepak - menyepak yang cepat bagaikan kilat menyambar mendung. Siti
Maryam berada dipihak menyerang dan Siti Aisyah dipihak yang bertahan dengan
mengelit ke kiri dan ke kanan sambil mengintai terbukanya kesempatan untuk
membalas serangan Siti Maryam. Pada saat kesempatan terbuka, Siti Aisyah
menyapu kaki kanan Siti Maryam dengan secepatnya, sehingga Siti Maryam
terpelanting ke belakang beberapa langkah.Tetapi Siti Maryam berputar dengan
cepat dan kemudian berbalik menjaro Siti Aisyah dengan tinju tangan kanannya
yang hampir saja mengenai lambung sebelah kiri Siti Aisyah. Sebaliknya dengan
cepatnya Siti Aisyah, sambil berkelit langsung menangkap pinggang Siti Maryam
dan melemparkannya ke depan.
Sungguhpun Siti Maryam telah
terpental sepuluh langkah ke depan, namun yang menyentuh tanah adalah tetap
ujung kakinya yang tidak mengeluarkan bunyi sedekit pun bagaikan kucing
melompat dari dahan pohon dan menghadap kembalikearah gurunya.
“Maryam, keluarkan pisaumu !”
perintah Siti Aisyah.Dengan serta merta Maryam mencabut pisau ‘sirauik’
-nya, pisau bengkok bertangkai
kayu bulat yang panjangnya satu setengah jengkal, dan mengangkatnya kemuka
pelan-pelan sambil menciumnya dan kemudian mencorengkan ujung pisaunya ke tanah
dan memberikan tanda silang serta mempermainkan pisau dengan tarian yang sangat
indah. Kemudian Siti Maryam berpaling sambal mengucapkan, “Bundo sudah siap
untuk menyambutnya ?”“Ya !, sudah siap, Maryam !” Jawab Siti Aisyah
Sesampai jawaban si Guru Tuo
itu, Maryam menujamkan pisaunya ke arah lambung kanan Siti Aisyah dengan
sangat kencang dan kuatnya. Tetapi, dengan santai Aisyah yang cekatan ini
menyambut pergelangan tangan Siti Maryam dan mempelintirnya, sesaat pula Siti
Maryam dengan cepat memutar badannya searah dengan putaran tangannya yang
dipelintir Aisyah, serta segera berkelit ke belakang, pelintiran Aisyah lepas
dan pada saat itu Maryam langsung menikam lambung kiri Aisyah, dan Aisyah
segera pula berkelit sedikit ke kanan, sedangkan kaki kanannya cepat menyepak
pangkal siku Maryam dan kemudian mengepit tangan Siti Maryam ketanah hingga
pisau terlepas dari tangan Siti Maryam. Pisau itu oleh Siti Aisyah,sementara
Siti Maryam dengan cepat pula berbalik ke belakang.
“Waaah....!” bisik penonton dibalik kain
sarung yang disandangnya, karena melihat ketenangan Aisyah
mematikan serangan Siti Maryam dan sekaligus melihat lincahnya gadis itu
berkelit sambil waspada akan serangan balik Siti Aisyah.
“Iyo, bebar-benar alot !,”
komentar penonton lainnya, karena permainan kedua‘merpati’ itu tidak terputus
putus. Saling mengunci dan melepaskan kemudian meyerang kembali, seolah mereka
memiliki cadangan gerakan dalam geliat permainan itu.
“Sekarang giliranku Maryam,
karena pisaumu berada dalam genggamanku,” kata Siti Aisyah. Sudah siapkah kau,
Maryam ?”
“Sudah, Bundo, Majulah Bundo !” jawab Siti Maryam.
Siti Aisyah maju
menjuruskan pisau ditangannya itu ke arah lambung kanan Siti Maryam, sambil
memberikan aba-aba.
“Awas...!,” teriak Aisyah.
Sesaat itu pula Siti Maryam
dapat berkelit, cuma saja dia tidak dapat menangkap pergelangan tangan Aisyah.
Sehingga Aisyah pun terlaju beberapa langkah kedepan, secepat itu pula Aisyah
berbalik dan menghela napas sejenak untuk mengumpulkan tenaga dan kembali
menyerang Maryam. Kali ini Maryam tidak berupaya untuk menangkap dan mengunci
persendian Guru Tuo-nya itu, melainkan hanya mengelak dan mengelak saja dengan
lincahnya. Akhirnya Siti Aisyah kehabisan tenaganya sendiri, terkuras
staminanya karena tubuhnya terseruk kesana kemari, kearah dia menyerang
sementara sasaran serangnya berupaya tidak tersentuh sama sekali. Siti
Aisyah merasa letih dan segera merangkul pinggang Siti Maryam sambil
berkata
“Sudah cukup Maryam,
ambo sudah letih.”
“Baiklah, Bundo ! Terimakasih,
Bundo !,” jawab Siti Maryam yang kemudian mencium kedua pipi gurunya. Selesai
memberi salam kepada Haji Abdul Manan dan kepada yang tua-tua dan sekalian
penonton yang masih terkesima dan terganga yang seakan di bumikan ditempat
duduknya masing-masing Keduanya duduk pada tempat yang sudah disediakan, dan
Haji Abdul Manan bertepuk tangan dengan rasa puas mempersaksikan kepintaran
Siti Maryam dan sosok Siti Aisyah sebagai Guru Tuo yang penuh kearifan dan
bijaksana memandu dan melatih Gadis dari kampuang Hanguih, Bonjol itu.Setelah
Datuak Rajo Pangulu dan Kari Mudo bertepuk tangan mengiringi tepuk tangan Haji
Abdul Manan, barulah penonton sadar bahwa permaian Siti Aisyah membimbing Siti
Maryam sudah selesai. Ternyata jam sudah menunjukkan pukul satu dinihari. Dengan
sudut matanya, Siti Maryam mencari-cari diantara penonton. Tetangkaplah olehnya
seseoramg yang berdiri diremang-remang. Sebuah bibir tertarik tipis, SitiMaryam
merasa senyuman kecil itu ditujukan untuknya. Darah paling dalam Siti Maryam
berdesir, mendapatkan sebuah senyuman itu daro Si Juru Tulis– yang mana
beberapa saat menghilang
______________________________________
HAJI Abdul Manan, putra Haji Ibrahim bekas pejuang dan asuhan Tuangku Nan Renceh cukup
berpengalaman juga dalam perlawanan dan peperangan, seperti terlibat
sebagai pasukan relawan perang
Acehmelawan Belanda. Ia lebih awal melakukan siasat propaganda, konsilidasi
dan pengkristalisasian pemikiran akan semangat anti penjajahan Belandadengan semangat jihat
anti kaum kafir-nya di Kamang dan melebar ke beberapa daerah
lainnya. Issu ‘kafir’ merupakan propaganda terbilang ampuh bagi masyarakat Minangkabau yang tidak waktu itu, kecuali bagi
– Belanda Hitam – si Melayu yang kebelanda-belandaan. Untuk melaksanakan
kegiatan propaganda, lobby ini tidak semua orang yang mampu, karena dituntut
suatu kecerdasan, kelincahan, kefasihan berbicara dan lihai meyakinkan banyak
orang, serta mempunyai keberanian yang besar.
Pada sisi lain,
dengan adanya tantangan dalam masyarakat terhadap rodi dan belasting, maka
Belanda merasa khawatir kalau suatu waktu akan bermuara pada pemberontakan rakyat,
seandainya kegiatan agitasi yang dimotori oleh para ulama dan dibantu oleh
penghulu adat tidak dihentikan.
Sehingga Haji Abdul Manan ditangkap dan ditawan di kota Benteng
Fort de Kock, Bukittinggi. Mitra Haji Abdul Manan waktu itu Tuangku Laras
Sungai Pua juga ditangkap dan diasingkan ke Batavia. Meskipun demikian,
ternyata beberapa tokoh masyarakat ada yang tidak bergeming akan bujuk rayuan
yang disertai ancaman oleh pemerintah Belanda tersebut.
Dipenghujung tahun
1901, Belanda mulai melancarkan siasat ‘pecah belah’-nya dengan membujuk para
laras dengan suatu perjanjian yang sekaligus bernada ancaman, bahwa : 1) Para
Laras yang menyatakan setia kepada pemerintah Ulando dan Ratu Wihelmina akan diberi pangkat yang tinggi dan
bintang jasa ‘Oranje van Nassau’ (bintang penghargaan tertinggi); 2) Para alim
ulama dan pemangku adat (Penghulu) yang membantu pemerintah Belanda juga akan
diberi bintang jasa dan ‘besluid’ (inilah cikal-bakal pangulu nan bapisuluik),
dan mereka akan mendapatkan sebahagian dari hasil pungutan pajak; 3) Laras dan
Penghulu Kepala yang tidak menyokong program pemerintah (Belanda) tentang
memberlakukan belasting akan dipecat dari jabatannya dan akan diasingkan dari
masyarakatnya.
Setelah satu tahun
dalam tahanan, Haji Abdul
Manan dan Laras Sungai Puar dibebaskan dari hukuman, dipulangkan
ke kampungnya masing-masing. Sepulangnya kedua tokoh ini dari pembuangannya,
ternyata disambut rakyat dengan antusias sebagai pertanda bahwa
masyarakat pendukungnya tidak takut akan ancaman-ancaman Belanda tersebut.
Melihat reaksi
masyarakat dan intensitas kegitan agitasi kedua tokoh ini, maka pemerintah
Belanda menukar siasatnya. Tuangku Laras Sungai Pua kembali ditangkap dan
diasingkan ke Betawi, sedangkan Haji Abdul Manan dibiarkan saja (tidak ditangkap),
namun secara terus menerus diawasi.
Dengan cara
seperti itu Belanda berharap pengaruh Laras Sungai Pua dapat dipadamkan,
yang sekaligus menyurutkan nyali para laras yang lainnya supaya tunduk kepada
pemerintah Belanda. Sedangkan ruang gerak Haji Abdul Manan semakin dapat
dilokalisir dan pada suatu waktu nantinya dapat ‘dipressure’ dan dilenyapkan.
Upaya ini masih
belum ampuh, langkah berikutnya Controleur
LC. Westenenk yang ringan
dalam lidah rakyat di Agamtuo dengan sebutan Tuan Siteneng, mengumpulkan
seluruh Kepala Laras se Agamtuo,
yaitu Tuanku Laras Baso, Tuanku Laras Kamang, Tuanku Laras Tilatang, Tuanku
Laras Magek, Tuanku Laras Salo, Tuanku
Laras Canduang, Tuanku Laras Ampek Angkek, Tuanku Laras Kapau, Tuanku Laras
Sungai Pua, Tuanku Laras Banuhampu, Tuanku Laras Ampek Koto di kantornya di For
de Kock, dengan tujuan untuk mempengaruhi pemimpin-pemimpin rakyat itu untuk
‘menerima saja’ peraturan gubernemen (pemerintah) dan memaksakan kepada rakyat
melalui Kepala Nagari-nya masing-masing.
Berkhotbahlah Tuan
Siteneng, katanya dengan sangat hati-hati dalam kefasihannya berdialek Minang,
“Tuangku-tuangku Laras ! Gubernemen Belanda tidak mau menyusahkan lagi anak
nagari di sini. Tidak lagi disuruh menannam kopi dan menjualnya hanya kepada
gubernemen. Anak nagari boleh menanam kopi sesuka hatinya saja. Kini gubernemen
bikin peraturan baru. Anak nagari harus membayar beberapa rupiah kepada
gubernemen untuk segala macam kekayaan. Namanya ‘belasting’.”
Kemudian ucapan
itu ditindaskannya kepada Tuanku Laras Kamang yang sudah tua itu. Tuanku Laras
Kamang melegakan, memperiyakan (musyawarah ala Minangkabau) kepada Tuanku Laras
Sungai Pua.
“’Tabek, Tuan...! Kami setuju belasting dan rodi itu dijalankan di negeri kami,” jawab oleh Tuanku Laras Sungai Pua. “Akan tetapi – dagang – harus bertolak dari rantaunya. Dari negeri kami ini!,” sambungnya lagi dengan kata bulat bersanding itu. Artinya belasting dan rodi mau dijalankan, tetapi Belanda sebagai pedagang harus meninggalkan Hindia Belanda.
“’Tabek, Tuan...! Kami setuju belasting dan rodi itu dijalankan di negeri kami,” jawab oleh Tuanku Laras Sungai Pua. “Akan tetapi – dagang – harus bertolak dari rantaunya. Dari negeri kami ini!,” sambungnya lagi dengan kata bulat bersanding itu. Artinya belasting dan rodi mau dijalankan, tetapi Belanda sebagai pedagang harus meninggalkan Hindia Belanda.
Dengan bijak Tuan
Siteneng menanggapi, “Kalau begitu, kita tunda dahulu. Saya mengerti, bahwa
rakyat belum mampu,” kata Tuan Komendur itu. Dan rapat selesai. Bubar.
Sindiran halus,
tajam yang lebih tajam dari pisau silet dari pemimpin rakyat yang bertanggung
jawab untuk membela rakyatnya sendiri itu sangat menyayat-nyayat hati dan
pikiran LC. Westenenk.
Dengan apa lagi dilumpuhkan, mata pancing tidak mengena meskipun telah diberi
umpan yang empuk dengan membebaskan rakyat dari ‘coffeestellsel’
Tidak beberapa
lama muncul pula ide, muslihat yang agak ampuh namun memerlukan sedikit
tambahan ‘coss’, biaya.
Laras-laras
cendikiawan dan berpengaruh itu dikirim ke Batavia untuk berjumpa dengan orang nomor
wahid di Hindia Belanda, Tuan Gubernur Genderal. Namun sebelumnya, ada acara semacam
kompetisi para Laras - untuk menguji kepandaian dan kepintarannya. Tidak
obahnya kompetisiwalinagari /
lurah pada masa sekarang. Laras yang akan dikirim ke Batavia hanya sebanyak
lima orang.
Memang benar,
mendengar akan ada Kepala Laras yang akan pergi ‘examen’ ke Batavia dan bertemu
pula dengan Tuan ‘Ge-Ge’, sedikit agak terlonjak pasak Tuanku Laras, agak
berbesar hati para Laras di Agamtuo.
Dalam seleksi,
terpilihlah lima besar dari dua belas Laras se Agamtuo, yaitu Tuanku Laras
Ampek Koto (Koto Gadang), Tuanku Laras Sungai Pua, Tuanku Laras Banuhampu,
Tuanku Laras Kamang, Tuanku Laras Tilatang (Agus Warido).
Berangkatlah
kelima Laras terbaik itu dengan kapal api dari Teluk Bayur. Sesampai di Batavia
kelima laras tersebut dites lagi, ternyata Tuanku Laras Sungai Pua
dinyatakan peringkat pertama dan Tuanku Laras Kamang peringkat kedua.
”Lolos penjahit,
lolos kulindan” kata pepatah Minangkabau.
Sepulang dari Batavia dengan congkak dan semakin bijaknya para Tuangku Laras
ini menjilat air ludahnya sendiri. Para laras tersebut merasa tersanjung,
setelah mendapatkan pelayanan terbaik di Batavia bagai raja kecil.
Inilah hasil yang
dibawa pulang oleh laras tersebut. Penaksiran kepada pemilikan penduduk mulai
dijalankan, ada yang kena 1 gulden, ada yang ditaksir 1,20 gulden dan malah ada
yang dibebani belasting hingga 2 gulden.
Pada bulan Mei
1908, Tuanku Laras Sungai Pua tidak terdengar lagi suaranya. Sedangkan Tuangku
Laras Kamang sengaja melaksanakan ibadah Jum’at ditempat Haji Abdul Manan. Dari mimbar
selesai shalat jum’at Tuangku Laras meneriakkan seruannya, “Oi...! orang yang
dalam sidang Jum’at ini, bayarlah belasting supaya aman hidup kita ini !”
Mendengar seruan Tungku Laras Kamang itu tanpa berpikir panjang Haji Abdul Manan menjawab. “Kami tidak akan membayar !”
katanya. “Lalu pinjaik, lalu kulindan. Anak cucu kami juga yang akan
menanggungnya !,” sambungnya lagi dengan lantang.
“’Kalau begitu,
Haji engkar !,” bentak Tuanku Laras. “Iko pamarentah,” sambungnya dengan
menepuk dada. “Tabujua lalu, tabalintang patah (terbujur lalu, terbelintang
patah),” hentaknya lagi memperlihatkan tangan besinya. Lalu merentak
keluar mesjid, meninggalkan jamaah.
Dengan demikian
pelajaran kedua pun kita dapatkan, bahwa untuk kesekian kalinya Belanda
berupaya dan membawa hasil untuk menciptakan ‘image’ bahwa – ‘penguasa’ – itu
harus dihormati, rakyat harus ‘membungkuk bungkuk’ terhadapnya.
Sebaliknya, kita
harus mengakui hasil penyelidikan Nahuys
van Burgstsewaktu pertama kali menginjakkan kakinya di Minangkabau tiga tahun berlangsungnya Perang Paderi dan laporan hasil penyelidikannya itu
disampaikan kepada pemerintahan Hindia Belanda tiga tahun kemudian, yaitu tahun
1827.
Tapi, jauh hari
sebelum dia menginjak kakinya di bumi Minangkabau, Nehuys van Burgst yang ahli hukum itu, datang ke Hindia
Belanda sebagai penasehat negara dan keuangan dalam sebuah panitia dikirim
khusus olehRaja Louis Napoleon tahun 1805, semasa Kerajaran Belanda
menjadi taklukan Perancis. Empat tahun kemudian dikirim lagi ke Hindia Belanda
sebagai penasehat agung Daendels. Pada waktu itu ia sempat sebagai
pengacara yang menyelamatkan Pangeran
Paku Alam dan seorang lagipangeran
keraton Surakarta (di Jawa)
dari tiang gantungan karena dihukum Daendels.
Selama perang Diponegoro, Nehuys banyak berjasa
bagi pemerintah kolonial karena hubunganya sangat dekat dengan raja-raja Jawa,
bahkan dia pulalah yang berhasil membujuk raja-raja Jawa untuk menyerahkan
sebahagian daerah kekuasaannya kepada Belanda.
Setelah beberapa
tahun menetap di Eropa, Nahuys
van Burgst yang sudah
berpangkat Mayor Jenderal tituler dan anggota Dewan Hindia dikirim kembali ke
Hindia Belanda. Kali ini untuk mengunjungi Pagaruyung, pusat Kerajaan Minangkabau versi
Belanda dan membuat laporan kepada pemerintahnya.
“Secara sosio-kultur
orang Melayu (Minangkabau),” katanya, “Kepala (raja) dari semua rakyat
Minangkabau yang oleh penulis-penulis tua dikatakan lebih dihormati lagi
daripada Paus di Roma, ternyata adalah seorang tanpa pengaruh dan tidak
mengesankan sama sekali. Penghormatan yang didapatnya, jauh lebih kecil dari
yang diberikan kepada wedana-wedana di Pulau Jawa, dan orang-orang di Jawa
merasa takut pada kepala desa daripada orang-orang di sini (Minangkabau)
terhadap raja mereka. Pendapatannya kurang dari 100 gulden setiap bulan, tidak
cukup untuk hidup mewah dan tidak mempunyai tanah kecuali yang didapat dari
perkawinan. Maka tidak mengherankan jika dia lebih merupakan opas kepala
daripada kepala rakyat.”
“...Dan saya melihat bahwa orang-orang pribumi yang rendahan sekalipun, semuanya hilir mudik saja, meskipun dalam jarak yang dekat sekali dari Raja Minangkabau itu, dan tanpa memperlihatkan rasa takut (sungkan) sama sekali ! Berlainan dengan raja-raja di Jawa, karena tidak kelihatan iringan tersendiri membawa bermacam-macam tempat sirih, tempat rokok, talempong, tempat air, payung emas, alat-alat tulis, dll. Sebaliknya dia hanya mempunyai satu pengiring yang membawa payung China warna coklat yang di Jawa semua orang bisa memakainya....’
“...Dan saya melihat bahwa orang-orang pribumi yang rendahan sekalipun, semuanya hilir mudik saja, meskipun dalam jarak yang dekat sekali dari Raja Minangkabau itu, dan tanpa memperlihatkan rasa takut (sungkan) sama sekali ! Berlainan dengan raja-raja di Jawa, karena tidak kelihatan iringan tersendiri membawa bermacam-macam tempat sirih, tempat rokok, talempong, tempat air, payung emas, alat-alat tulis, dll. Sebaliknya dia hanya mempunyai satu pengiring yang membawa payung China warna coklat yang di Jawa semua orang bisa memakainya....’
“...Selain itu,
orang-orang Melayu (Minangkabau) berlainan dengan orang-orang di Jawa,
mereka tidak begitu menghormati kepala-kepala mereka.... Di sini (Minangkabau)
jarang saya lihat, penghormatan diberikan kepada Tuanku (Raja) dan tidak pernah
kepada kepala-kepala yang lebih rendah.... Pernah saya alami sendiri bersama
asisten residen dan raja Minangkabau berkunjung pada sebuah kota di pinggir
danau (mungkin Danau Singkarak) yang cukup padat penduduknya. Di sana kami
diterima oleh kepala kepala kampung yang acuh tidak acuh saja, mereka mengenali
rajanya pun tidak..., dan sewaktu saya tanya bagaimana keadaan kalau
orang-orang Belanda meninggalkan mereka begitu saja tanpa perlindungan ? Dengan
tegas kepala di sana itu menjawab, ‘Kalau kita bisa hidup damai saja dengan
orang-orang Pidari..., kami tidak lagi membutuhkan orang-orang Belanda di
sini’.”
Lalu, apa simpulan
dan saran oleh Nuhuys kepada pemerintahnya ?
“Mengingat
semangat merdeka rakyat di sini, saya takut pemerintah akan mendapat banyak
sekali kesulitan kalau di sini dijalankan pajak, pajak tanah umpamanya.... Kita
akan tersesat jika kita bandingkan orang-orang Melayu begitu saja dengan
orang-orang Jawa. Suatu kenyataan pula bahwa dengan menjalankan pajak-pajak
(sebagaimana dalam Surat
Keputusan Gubernur Jenderal No. 18 tanggal 4 November 1823) itu, kita akan
menghadapi banyak bahaya dan kesulitan nantinya.”
Dalam laporannya
itu Nuhuys van Burgst menceritakan kemuakannya atas
kekejaman yang dilakukan oleh tentara Belanda. Nuhuys van Burgst menceritakan
tentang pembantaian-pembantaian terhadap tua, muda, anak-anak maupun jompo dan
wanita, disemblih tanpa ampun jika suatu desa jatuh ke tangan tentara Belanda,
tanpa dapat dicegah oleh para perwira-perwiranya.
***
Semenjak kejadian dengan Haji Abdul Manan di Mesjid pada hari Jum’at itu, maka apar-apar besi atau bengkel pandai besi mulai berdentang. Gemerincing besi panas ditenpa untuk dijadikan kelewang, rudus dan pedang. Dan yang agak lebih dirahasiakan adalah sewaktu membuat ‘badia balansa’, sejenis senjata api tradisionil yang pelurunya terbuat dari beling, sepihan besi.
Semenjak kejadian dengan Haji Abdul Manan di Mesjid pada hari Jum’at itu, maka apar-apar besi atau bengkel pandai besi mulai berdentang. Gemerincing besi panas ditenpa untuk dijadikan kelewang, rudus dan pedang. Dan yang agak lebih dirahasiakan adalah sewaktu membuat ‘badia balansa’, sejenis senjata api tradisionil yang pelurunya terbuat dari beling, sepihan besi.
Sementara itu, Muhammad Amin Pamuncak Sutan
Bagindo PenghuluKepala dari Koto
Tuo Ampek Angkek, aktif pula mengumpulkan dana yang akan dikirim kepada
saudaranya di Singapura untuk ditukar dengan mesiu standard Eropa – nantinya
diselundupkan dalam perlawanan rakyat menentang belasting.
Berbarengan dengan
tekanan untuk membayar belasting, Belanda mengeluarkan kebijakan berikutnya,
yaitu mencoba mengalihkan perhatian masyarakat (umum) dengan adanya
keramaian-keramaian (alek). Maka pada tahun 1908 Pemerintah Belanda membuka pasar malam dan alek
pacu kuda serta mempergiat
pesta anak nagari di kampung kampung, seperti pesta ‘panjek batang pinang’
(panjat pinang) yang dimeriahkan pula dengan berbagai atraksi rakyat.
Dan yang tidak
kalah pentingnya pada setiap keramaian itu rakyat diperbolehkan menggelar
perjudian, terutama ‘barambuang’, dadu kuncang, dadu putar, menyabung ayam
dengan tujuan bukan saja membinasakan moral anak nagari, tetapi juga
untuk mengalihkan perhatian rakyat akan persoalan belasting tersebut.
Dari beberapa
kebijakan Belanda tersebut maka Haji
Abdul Manan tidak tinggal
diam, meskipun sedikit telah mulai kecewa akibat melemahnya iman para laras dan
para pemangku adat akan siasat Belanda itu. (bersambung)…
______________________________________
PERTEMUAN – pertemuan pemimpin - pemimpin
masyarakat dengan Haji Abdul Manan, maka aku sebagai
juru tulis dalam gerakan ini diperintahkan mengundang tokoh-tokoh masyarakat
seperti Muhammad Saleh Datuak Rajo Pangulu, Abdul
Wahid Kari Mudo, Datuak Parpatiah (di Magek) dariKamang
Ilia, Angku Jangguik yang dikenal pula
dengan panggilan Inyiak
Jabang, Datuak Parpatiah di Pauah, Haji Samad, Tuangku Pincuran, Datuak Rajo
Pangulu dari Babukik Limau
Kambiang dan Datuak Marajobeserta pemimpin
lainnya yang dirasa patut untuk membicarakan tindakan yang akan diambil
terhadap upaya-upaya pemerasan oleh Ulando itu.
Inyiak Haji Abdul Manan ditetapkan
sebagai utusan ke Padang Panjang, Pariaman, Lubuak Aluang, Padang, Pauah IX dan
sekitarnya. Sedangkan Solok dan Sawah Lunto diserahkan kepada rombongan dari
Padang Panjang. Datuak Parpatiah (di Magek) dan Datuak Rajo Pangulu, keduanya
dari Kamang Ilia menuju Limo Puluah Koto dan Tanah Data. Inyiak Jabang dan Tuangku
Pincuran ke Suliki, Suayan, Koto Tinggi, Pua Gadih, Palupuah, Bonjo dan
Sipisang.
Sedangkan Siti Aisyah, Siti Anisyah
dan Siti Maryam kaum perempuan pilihan untuk memegang peran sebagai
propagandis, selain beberapa tokoh laki-laki yang dianggap mapan untuk peran
tersebut.
Siti Aisyah karena terpaut dengan pertalian syara’, yaitu telah bersuami maka hanya mengambil peran di sekitar Tilatang Kamang. Sedangkan Siti Maryam yang masih perawan, sebelumnya telah dimatangkan berbagai keterampilan dirinya oleh Inyiak Manan, termasuk menunggang kuda, mendapat amanah ke beberapa daerah matahari terbenam dan Utara Kamang, seperti ke Tiku, Mangopoh, Lubuk Basung dan Simpang Empat (Pasaman).
Siti Aisyah karena terpaut dengan pertalian syara’, yaitu telah bersuami maka hanya mengambil peran di sekitar Tilatang Kamang. Sedangkan Siti Maryam yang masih perawan, sebelumnya telah dimatangkan berbagai keterampilan dirinya oleh Inyiak Manan, termasuk menunggang kuda, mendapat amanah ke beberapa daerah matahari terbenam dan Utara Kamang, seperti ke Tiku, Mangopoh, Lubuk Basung dan Simpang Empat (Pasaman).
Beberapa tokoh-tokoh lainnya cukup mematangkan semangat perlawanan di daerah Agam Tuo dan sekitarnya. Sementara itu para angkatan muda dengan pimpinan Haji Ahmad dan Kari Mudo giat berlatih mempergunakan dan menangkis senjata tajam serta memperdalam ilmu batin, terutama ilmu kebal guna dapat dipergunakan pada waktunya nanti.
Pada awal bulan April 1908, bertepatan dengan
digelarnya alek pacu kudaoleh pemerintah Belanda di Bukit
Ambacang, sengaja dikondisikan agar semua utusan daerah mempergunakan
moment itu untuk berkumpul guna mematangkan gerakan dan pemberontakan melawan
tirani Hindia Belanda dengan issu anti belasting sebagai kelanjutan revolusi
Minangkabau setelah perang Paderi dapat dipadamkan.
Bagai masyarakat Minangkabau sebelum
kedaulatannya dikembalikan secara bulat ketangannya oleh pemerintah Hindia
Belanda, maka bara api sisa-sisa api revolusi Pederi itu tetap dinyalakan.
Untuk mengkonkritkan perlawanan, maka moment alek (pesta) pacu kuda di Bukit
Ambacang itutidak disia-siakan sama sekali.
Kali ini pertemuan dari berbagai utusan
daerah yang menjadi motor pengerak ‘gerakan anti belasting’ itu berkumpul di
Bukittinggi dengan alasan untuk menghadiri alek pacu kuda di Bukik Ambacang.
Tepatnya pertemuan rahasia itu dilaksanakan di Bukik Apik, suatu perkampungan
di pinggir jurang Ngarai Sianok. Sebelum pertemuan dilaksanakan, Siti
Aisyah telah melakukan propaganda pengkondisian yang intensif secara rahasia
kebeberapa tokoh perempuan di sekitar Tilatang Kamang.
Sehubungan berkumpul itu, Siti Aisyah
mengkondisikan beberapa orang penjual masakan di Nagari Kapau
(Tilatang). Karena para kaum perempuan Kapau selain bertani banyak juga
yang berjualan makanan, seperti penjual nasi kapau - yang banyak ditemukan
pakan-pakan (pasar pasar) nagari dan di pasar Bukittinggi sendiri di bawah
payung-payung kaki lima.
Kepada beberapa penjual nasi kapau itu
dikondisikan untuk berjualan nasi diBukit Ambacang pada saat alek
pacu kuda dilaksankan yang tujuannya selain berdagang adalah juga sebagai arena
pusat informasi tentang pelaksanaan dan hasil pertemuan rahasia di Bukik Apit
tersebut.
Menjelang alek digelar telah disebar informasi secar berantai ke daerah-daerah di Minangkabau bahwa tempat Rabiatun Kapau berjualan nasi kapau dengan ciri-cirinya yang sudah dikondisikan di atas Bukit Gulai Bancah sebagai pusat informasi. Siti Aisyah dan Siti Maryam berperan sebagai pembantu Rabiatun Kapau untuk meladeni orang yang singgah makan.
Hari yang telah dinantikan tiba.
Berduyun-duyunlah masyarakat disekitarAgamtuo dan dari beberapa
daerah menghadiri pesta rakyat menonton kuda kuda yang dijagokan dalam berpacu.
Pemerintah Belanda pun tidak mencurigai siapapun, karena sudah biasa di
gelanggang manapun pacu kuda dilaksankan di berbagai tempat dan daerah di
Sumatera. Apalagi kalau di Gulai Bancah Bukittinggi karena
arenanya cantik dan bagus yang dikelilingi oleh bukit. Penonton dengan
leluasa memandang bundaran oval tempat kuda menguji ketangkasannya.
Rakyat, penonton tidak sabar lagi menunggu kuda - kuda berpacu untuk dimulai. Bagi orang-orang terhormat menurut Belanda, duduk berjejar di tribune yang telah disediakan di kiri kanan dan dibelakang para pembesar Belanda. Sedangkan orang biasa yang tidak berpangkat namun sedikit berada dapat menyewa tribune beratap rumbia bertiang bambu, duduk dibangku bangku yang terbuat dari bambu yang dibelah dua yang disediakan di sepanjang pinggir lapangan oleh penduduk yang punya tanah tersebut. Sedangkan rakyat biasa, orang-orang yang hanya mampu berjalan kaki ke gelanggang pacuan dengan bermodalkan nasi berbungkus daun pisang batu atau pisang abu yang dipersiapkan sejak subuh hari, menonton dengan sebebas-bebasnya di atas bukit berpayung langit, berjemur matahari berselimut angin.
Rakyat, penonton tidak sabar lagi menunggu kuda - kuda berpacu untuk dimulai. Bagi orang-orang terhormat menurut Belanda, duduk berjejar di tribune yang telah disediakan di kiri kanan dan dibelakang para pembesar Belanda. Sedangkan orang biasa yang tidak berpangkat namun sedikit berada dapat menyewa tribune beratap rumbia bertiang bambu, duduk dibangku bangku yang terbuat dari bambu yang dibelah dua yang disediakan di sepanjang pinggir lapangan oleh penduduk yang punya tanah tersebut. Sedangkan rakyat biasa, orang-orang yang hanya mampu berjalan kaki ke gelanggang pacuan dengan bermodalkan nasi berbungkus daun pisang batu atau pisang abu yang dipersiapkan sejak subuh hari, menonton dengan sebebas-bebasnya di atas bukit berpayung langit, berjemur matahari berselimut angin.
Setelah panitia pacuan mengumumkan bahwa
pacuan segera dimulai, maka penonton semakin antusias, berdesakan ke pinggir
gelanggang, sehingga mendapat deraan rotan dan pentungan petugas keamanan
untuk mengusirnya kembali guna menjauhi arena kuda berlari. Sedangkan yang
berada di atas bukit riuh rendah mencari posisi yang paling menguntungkan untuk
menonton kuda-kuda yang akan berpacu.
Acara dimulai setelah adanya pidato singkat dari ketua panitia dan pembesar Belanda di kota Fort de Cock. Dalam kata sambutannya L.C. Westenenck(Controleer Out Agam, kemudian sebagai Assistent Resident Sumatera Westkuust)
Acara dimulai setelah adanya pidato singkat dari ketua panitia dan pembesar Belanda di kota Fort de Cock. Dalam kata sambutannya L.C. Westenenck(Controleer Out Agam, kemudian sebagai Assistent Resident Sumatera Westkuust)
“...bahwa pergelaran alek pacu kuda dan menampilkan
acara kesenian dan kebiasaan - kebiasaan lama daerah ini, termasuk dibebaskan
untuk menggelar berbagai bentuk perjudian dan sabung ayam adalah suatu bentuk
kepedulian pemerintah terhadap budaya Minangkabau asli sebelum
kedatangan Islam yang harus dipupuk dan dipelihara. Kami pihak pemerintah tidak
akan mengikis kebudayaan-kebudayaan lama tersebut, karena hal itu adalah
miliknya masyarakat Minangkabau yang diwarisinya dari para leluhurnya sejak
dahalu kala....”.
Padahal perjudian, menghisap candu dan sabung ayam telah dilarang De Stuers berdasarkan desakan melalui surat yang ditandai tangani oleh Tuangku Lintau, Tuangku Guguak, Tuangku Nan Saleh dan Tuangku Nan Renceh pada April 1826. Karena sebetulnya yang memperkenalkan candu dan khamar tersebut kepada pemuka-pemuka adat di Minangkabau adalah Belanda sendiri, karena kedua benda itu adalah komoditi dagang yang paling menguntungkan semenjak zaman VOC dahulu - yang ditukarnya dengan hasil bumi, seperti kapur barus, merica, emas, dll.
Padahal perjudian, menghisap candu dan sabung ayam telah dilarang De Stuers berdasarkan desakan melalui surat yang ditandai tangani oleh Tuangku Lintau, Tuangku Guguak, Tuangku Nan Saleh dan Tuangku Nan Renceh pada April 1826. Karena sebetulnya yang memperkenalkan candu dan khamar tersebut kepada pemuka-pemuka adat di Minangkabau adalah Belanda sendiri, karena kedua benda itu adalah komoditi dagang yang paling menguntungkan semenjak zaman VOC dahulu - yang ditukarnya dengan hasil bumi, seperti kapur barus, merica, emas, dll.
“Marilah kita untuk selalu menjunjung tinggi
kebiasaan-kebiasaan lama leluhur orang Minangkabau ini,
sedangkan pemerintah tidak sedikit pun berniat untuk campur tangan terhadap
kedaulatan rakyat Minangkabau. Namun supaya tetap berjalannya pemerintahan dan
hubungan yang baik antara rakyat dan pemerintah, maka diperlukan pula kerjasama
yang baik dalam berbagai bidang untuk lebih memperelok nagari-nagari, terutama
nagari-nagari di Agamtuo ini. Sedangkan untuk memperelok nagari, memperbagus
jalan-jalan dan jembatan, serta guna membiayai pemerintah, termasuk gaji para
pegawai dan opas maka diperlukan biaya yang besar sekali. Karena biaya yang
banyak itulah diperlukan pungutan belasting,“ sambung Westenenck
lagi. Kemudian dia mengajak seluruh masyarakat supaya membantu pemerintah
dalam membangun dan membayar belasting.
Pidato-pidato Contreleur Agamtuo itu
disanjung-sanjung oleh barisan ‘Belanda Hitam’ dengan mengangguk-anggukkan
kepala dan memperlihatkan keseriusan, kesungguhan dan mengelu-elukan bujuk
rayuan, ajakan L.C. Westenenck yang telah fasih berbahasa Minang itu. Akan
tetapi bagi rakayat ‘badarai’, rakyat banyak yang berada di tribune yang
beratap rumbia dan yang berada di atas bukit tersebut tidak memperdulikannya,
karena tidak sampai ke telinga mereka, dan lagi maksud kedatangan mereka ke
Bukit Ambacang semata untuk menonton kuda-kuda berpacu.
“Kapan kudanya berpacu ? Kalau pidato
berpidato juga !,” diantara mereka berciloteh
“Habih hari dek pidatosen kasudahano,”
ciloteh yang lain lagi. Maksudnya, habis waktu karena pidato-pidato.
Tatkala terompet pertama dibunyikan oleh seorang opsir Belanda di rumah orkes di samping kiri tribun utama, diumumkanlah nama-nama kuda yang akan berpacu beserta joki dan warna pakaiannya. Berselang pengumuman itu disusul dengan aba-aba “...joki segera ditimbang...!” Maka sorak-sorai pengunjung sudah mulai membahana.
Tatkala terompet pertama dibunyikan oleh seorang opsir Belanda di rumah orkes di samping kiri tribun utama, diumumkanlah nama-nama kuda yang akan berpacu beserta joki dan warna pakaiannya. Berselang pengumuman itu disusul dengan aba-aba “...joki segera ditimbang...!” Maka sorak-sorai pengunjung sudah mulai membahana.
Terompet kedua dibunyikan, kuda-kuda yang
sudah ditenggeri para jokinya memasuki garis star, di depan tribune bulat
yang lebih dikenal dengan dengan sebutan ‘rumah bulat’.
Terompet ketiga dibunyikan, tukang bendera
yang melepas kuda sudah mulai bersiap-siap dan bendera pun segera dikibarkan,
kuda-kuda berhamburan dari garis start. Bersamaan lepasnya kuda-kuda tersebut
penontonpun bersorak.
“Kudo lapeh...!, kudo lapeh....!” Maksudnya
kuda lepas, yaitu kuda sudah mulai berpacu. Sesaat kemudian sorak-sorai beralih
dengan terikan “Agam...!, Agam...!, Agam...!” Maksudnya kuda orang Agam
dengan jokinya berpakain warna merah yang menggambarkan Luhak Agam berwarna
merah sedang berada di depan dan sekaligus memberi semangat kepada joki untuk
merambah kudanya dengan rotan di tangannya supaya kudanya melesar, melejit
kencang. Meskipun kuda dari Lima Puluh Kota yang ditandai pakaian jokinya
berwarna hijau yang duluan sampai di garis finish dan disusul kuda berjoki
warna kuning, dari Tanah Datar, namun teriakan “Agam...!, Agam...!,
Agam...!” terus berkumandang.
I
Semenjak pagi kedai nasi di bawah payung
bundar dengan tonggak dan kaso kasonya terbuat dari buluh, bambu dan atapnya
dari kertas semen porland yang dijahitkan, dan kedai nasi itu berdindingkan
kain berwarna putih belum disinggahi pengunjung. Setelah ‘rece’, putaran
pertama barulah pengunjung berangsur-angsur mencari tempat makan dan minum. Dan
Siti Aisyah, Siti Maryam mulai melayani pengunjung yang masuk ke
kedainya itu, Rabiatun Kapau berlagak sebagi induk semang yang
hanya menerima dan mengembalikan uang kembali pengunjung setelah selesai
menikmati masakan khas Kapau-nya.
Pada saat putaran kedua digelar dan para
pengunjung Bukit Ambacang kembali hiruk pikuk karena kuda-kuda telah dilepas
lagi untuk berpacu. Pada saat itu masuklah ke kedai Rabiatun Kapau dua orang
laki-laki dewasa dari sisi kedai yang berbeda, sepertinya kedua orang ini tidak
saling mengenal karena dinisbatkan hanya sebagai pengunjung alek pacu kuda.
Akan tetapi Siti Aisyah telah mengenal wajah
kedua pria itu, namun tetap berpura-pura tidak mengenalinya dan langsung
meladeni pengunjungnya itu. Siti Aisyah menanyakan lauk nasi yang diingini.
“Uni ambo ka makan, sambanyo jo tambunsu, yo
Ni..!” (Uni saya mau makan, lauknya adalah usus, ya Uni),”
kata salah seorang laki-laki itu kepada sang
pelayan.
“O, ya !,” jawab Siti Aisyah.
“Tuan sambanyo jo apo ?,” tanya Aisyah pula
kepada yang seorang lagi.
“Untuak ambo sambanyo randang itiak, Ni,”
(untuk saya lauknya rendang itik, Uni) jawab orang tersebut.
Meskipun Aisyah lebih muda usianya dari kedua
laki-laki tersebut, tetapi laki-laki ini memanggil uni kepada pelayan itu
sebagi basa basi dalam bertutur kata kepada orang yang belum dikenal. Kalaupun
ada orang yang menguping di luar maka orang tidak akan curiga karena sepertinya
adalah pengunjung biasa saja. Selesai kedua orang itu menikmati makanan dari
nagari Kapau itu, seorang diantaranya bertanya,
“Dimana dapur tempat memasaknya, Uni ?”
“Di sebuah Rumah Gadang di Bukit Apik,” jawab
Aisyah dengan suara berbisik sambil menunjuk ke arah Barat Daya dari tempatnya
itu, kemudian menderaskan kembali suaranya menyambung bisikannya itu,
“Agak jauh juga dari sini, Kapau nama
negerinya,” sambung Aisyah.
Rupanya pertanyaan seseorang itu merupakan
sebuah isyarat yang maksudnya adalah tempat pertemuan rahasia itu. Maka jawaban
Siti Aisyah dengan suara lunak itu langsung mengatakan tempat pertemuan
tersebut yang kemudian ditimpali dengan kalimat berikutnya tentang Negeri
Kapau, sebagai pengelabuan kalimat pertamanya, kalau-kalau ada pihak lain yang
mendengar dari luar tabir kedainya itu.
Menimpali jawaban Aisyah itu, seorang lagi
bertanya pula. “Dengan apa kita ke sana, Ni ? Apa saja kampung yang kita lewati
menjelang sampai di sana ?”
“Ke sana cukup berjalan kaki, kalau mau naik
bendi pun bisa. Maka naikilah bendi di luar gelanggang ini dan kusir bendi
pasti tau akan kampung itu !,” jawab Aisyah pula.
“Terimakasih, Uni,” jawab pria itu lagi
sambil merogo kantongnya dan berdiri untuk membayar hutangnya.
Kemudian diringi pula oleh yang seorang lagi
Kali ini bukan Rabiatun Kapau lagi yang
menerima dan memberikan uang kembali, melainkan langsung diterima oleh Siti
Aisyah. Pada saat memberikan uang kembali, maka Siti Aisyah menyelipkan
selembar kertas kecil dalam sela uang kertas kembalian tersebut. Kedua orang
itu berlalu dari kedai Rabiatun Kapau secara terpisah dan langsung masuk ke
dalam keramaian penonton.
Dalam jarak sepuluh meter dari kedai
Rabiatun Kapau, kedua orang ini bertemu kembali sambil berjalan menuju
parkiran bendi, sembari mencuri pandang ke kiri-kanan dalam kewaspadaan mereka
membuka kertas kecil yang diselipkan Siti Aisyah tadi guna mempelajari rute dan
ciri rumah rahasia yang akan ditujunya.
Sepeninggal kedua orang pria itu Rabiatun
Kapau bertanya dengan berbisik tentang siapa dan darimana kedua orang tersebut.
“Pria yang berjenggot hitam dan duduk di
sebalah kanan tadi utusan yang datang dari Padang Panjang. Sedangkan yang duduk
di bangku sebelah kiri utusan yang datang dari Selayo (Solok), Tek !,“ jawab
Siti Aisyah kepada Rabiatun Kapau.
Begitulah siasat yang dijalankan untuk
beberapa kali oleh tamu-tamu rahasia yang berdatangan ke kedai Rabiatun Kapau
dalam mencari petunjuk dan informasi pada saat-saat orang sedang dilengahkan
oleh deru telapak kuda, dihiasi gumpalan kabut mengepul di belakang kuda sedang
bertarung mengejar garis finish.
Utusan - utusan itu bermacam gaya dan corak
pakaian yang dikenakannya. Ada yang berlagak seperti parewa, ada seperti orang
intelek dan ada pula berlagak seperti orang kampung totok. Rata-rata diantara
mereka tidak memperlihat ciri-ciri sebagai ulama dan ninik mamak atau
cerdik pandai (cendikiawan).
Tentu saja cara-cara seperti ini adalah untuk
menghindari kecurigaan para opsir dan ‘spion melayu’ Belanda. Kalau dintara
mereka seorang ulama dan berpakaian ulama, tentulah akan mencurigakan pihak
Ulando. Karena tidaklah mungkin seorang ulama mau datang ke gelanggang pacu kuda
yang dimeriahkan dengan berbagai bentuk perjudian tanpa ada maksud-maksud yang
terselubung.
Begitu pula bagi para ninik mamak dan
cerdik-pandai, ninik-mamak dan cerdik pandai yang pro-Belanda sudah disediakan
tempatnya di tribune. Dan tentu saja ninik mamak dan cerdik pandai yang
membangkang pada Belanda tidak akan mau menghadiri acara yang dibuat oleh
Belanda tersebut.
Dalam pertemuan rahasia pada sebuah ‘Rumah
Gadang’ di Bukit Apit itu, dengan suara bulat diambil beberapa butir
kesepakatan sebagai keputasan rapat. Dan rapat tersebut berjalan dengan aman
dan tertib, sama sekali tanpa adanya gangguan dan kecurigaan pemerintah
Belanda. Kondisi ini tercipta adalah berkat bantuan dan fasilitator yang
sungguh sungguh dari Tuanku Laras Kurai yang berperan dari belakang layar.
Bersimpatiknya Tuanku Laras Kurai
ini adalah berkad pendekatan yang dilakukan oleh Pakiah Muncak,
seorang pemuda Kurai (Pakiah Mucak gugur sebagai suhada dalam perang 1908 di
Kamang dalam usia tiga puluh tahun)
Menjelang tengah hari di tengah lapangan arah
Utara Nagari Gadut, disitu digelar beberapa hiburan, termasuk perjudian. Ada
yang menyabung ayam, dadu kuncang dan sebagainya. Kesemuanya itu berada
dalam perlindungan dan pengawasan polisi-polisi Ulando.
‘Malang tak dapat ditolak – mujur tak dapat
diraih’. Ternyata di gelanggang perjudian itu, persisnya pada tempat ‘dadu
kuncang’ diputar, terjadi perkelahian antara petaruh dan bandarnya. Perkelahian
itu dipicu karena bandar judi ketahuan berlaku curang, semenatara petaruh yang
berkumis tebal itu sedang kalah banyak. Si kumis naik pitam dan merampas uang
yang sedang menumpuk di depan bandar judi. Dan pada saat Si Kumis sedang
merunduk merangkul uang-uang tersebut, sang bandar judi terkaget, secara reflek
tumit kakinya yang sebalah kanan langsung melayang kearah rumpun telinga
sebelah kiri Si Kumis. Pada saat itu juga Si Kumis membalas dengan mengarahkan
tinju ke mulut sang bandar, tetapi dapat dielakkan oleh sang bandar. Terjadilah
perseteruan dengan memperlihatkan kebolehannya masing-masing, yang akhirnya
berobah menjadi cakak banyak, perkelahian masal.
Pada saat Si Kumis menyentakkan pisau yang
terselip di pinggang sebelah kirinya, mengacungkan pisaunya itu dan kemudian
mengejankan tuahnya.
“Rasokan dek waang makan pisau kamanakan lareh
sungai pua ko !” (Rasakan olehmu pisau kemenakan Tunagku Laras Sungai Pua ini
!)
Dijawab oleh si bandar judi yang telah
mengambil ancang-ancang, pasang kuda-kuda.
“Buliah ! Supayo nak tau pulo waang jo aden
nan dubalang lareh kurai ko !” (Boleh ! Supaya tau pula kamu dengan saya
sebagai dubalang Tuangku Laras Kurai ini !)
Si Kumis yang mengaku sebagai kemenakan
Tuanku Laras Sungai Pua itu pun menikamkan pisaunya yang mirip kuku elang yang
panjangnya hampir sehesta itu ke arah lambung si bandar judi yang katanya
dubalang Tuangku Laras Kurai tersebut
Rupanya kedua parewa ini sama-sama lihai
dalam bersilat, meskipun dubalang menyentakkan pisaunya pula tetapi keduanya
tidak sempat terluka oleh masing-masing tikamannya. Agak lama juga mereka itu
berkelahi dengan mempergunakan pisau. Sehingga terpaksalah seorang opas Belanda
menembakkan senapannya ke udara untuk melerai perkelahian yang sengit ini. Pada
saat kedua orang yang sedang bermain pisau itu tertegun, barulah opas-opas yang
lain menangkap masing-masingnya dan langsung tangan kedua orang itu dirantai
dan digiring ke pos keamanan. Sebentar mereka ditawan di pos keamanan itu,
kemudian komandan polisi Belanda memerintahakan untuk secepatnya diangkut
langsung bersama anak buahnya masing-masing yang terlibat dalam cakak banyak
itu dengan bendi dalam pengawalan opas menuju Pos Polisi dekat kantor kontroler
di jantung kota, demi keamanan alek dan juga supaya tidak terlalu tersiar
beritanya tentang keonaran itu. Tidak lama diproses di Pos Pilisi dekat kantor kontroler,
disamping Jam Gadang itu, para perusuh itu pun dibawa ke penjara sebagai
titipan sementara
Di Bukit Apit, yang terkenal dengan rendang
kopinya itu rapat pun berakhir bersamaan dengan berakhirnya alek pacu kuda,
sehingga peserta rapat kembali pulang ke daerahnya masing-masing untuk
melakukan persiapan yang matang guna melaksanakan keputusan yang telah
disepakati.
Seorang pemuda sambil berjalan pulang, mampir
dulu ke kedai Rabiatun Kapau yang sedang berkemas-kemas pula untuk pulang.
Pemuda itu mampir pura-pura menanyakan sudah habisnya julan Rabiatun Kapau.
“Sudah habis dagangannya, Tek ? Adakah
laris dagangannya ?,” tanyanya kepada Rabiatun Kapau.
“Alhamdulillah, berkad pertolongan Allah,
habis semua dagangan kami,” jawab Rabiatun Kapau.
Kemudian dengan suara berbisik dan gaya yang
sangat hati-hati pemuda itu bertanya kepada Rabiatun Kapau.
“Mana, Kak Aisyah dan Maryam, Tek ?”
“Mereka sedang mengantarkan barang barang ke
pedati,” jawab Rabiatun Kapau.
“Kalau begitu tolong saja etek berikan surat
ini kepada Maryam nanti, dan saya duluan pulang. Permisi, Tek,”
kata pemuda itu lagi, sambil mengunjukkan
surat tersebut.
Sekemblinya Maryam membantu Aisyah
mengantarkan barang-barang ke pedati, Rabiatun Kapau menyerahkan surat itu
dengan sembunyi kepada Siti Maryam. Surat tersebut yang bertulisan Arab-Melayu
itu dibuka dan dibaca Maryam. Ternyata isinya sebuah perintah kepada Siti
Maryam supaya berangkat segera ke Mangopoh untuk menemui Yahya
Taungku Sutan, Rahman Saidi Rajo, Sutan Syarif, Kana Angku Padang dan Majo
Ali guna menjalankan misi khusus. Tapi sebelum menemui tokoh gerakan
bawah tanah di Mangopoh itu terlebih dahulu berkonsultasi dengan Siti
(Siti Mangopoh).
Sambil berkemas-kemas, mereka mendiskusikan
persoalan keberangkatannya ke Mangopoh. Meskipun Siti Maryam keras
hatinya untuk langsung berangkat ke Mangopoh sore itu juga, Rabiatun Kapau
menyarankan sebaiknya Siti Maryam pulang dulu ke Kamang untuk
beristirahat karena sudah kecapaian seharian sebagai pelayan, tukang cuci
piring di kedainya itu dan penjaja makanan yang berkeliling di tengah lapangan
pacu kuda.
“... dan sampai sekarang kita belum tau pesan
apa yang akan dibawa kepada Ibu Siti Mangopoh. Jadi, sambil
beristirahat nanti malam, kamu bisa meminta penjelasan dan pertimbangan lebih lanjut
dari pimpinan gerakan kita, terutama kepada Inyiak Manan atau
kepada Tuan Datuak Rajo Pangulu dan pemimpin lainnya !,” Kata
Siti Aisyah yang diamini pula oleh Rabiatun Kapau.
Besok harinya Contreleur memanggil Tuanku
Laras Kurai untuk menghadap di kantornya, dekat Jam Gadang. Pagi-pagi
Laras Kurai telah naik bendi kebesarannya menghadap ke kantor kontroler.
Sesampai disana Tuangku Laras dipersilakan masuk. Contreleur J.C. Westenenk langsung
bertanya setelah Tuanku Laras di persilakan duduk dalam jarak tertentu
dengannya dengan dibatas sebuah meja batu oval.
“Tuanku Laras, tahukah tuan laras sebab
dipanggil ke sini ?,” tanyaWestenenk.
“Tau, tuan komendur !,” jawab Laras Kurai.
“Kira-kira apa itu persoalan, Tuan Laras ?,”
tanya Westenenk lagi.
“Barangkali..., mengenai persoalan ‘cakak
banyak’ di gelanggang kapatang, Tuan !,” jawab Tuanku Laras.
“Bukan barangkali...!, Tuan Laras...!,”
belalak Westenenk. Memang itu persolannya. Dan malah kenapa yang
kedua belah pihak sebagai dalang perkelahian tersebut adalah di bawah dagu
tuan-tuan laras sendiri ?,” tukas Westenenk lagi dengan nada agak meninggi,
kesal.
“Maafkan hamba, Tuan Komendur. Sama sekali
itu hal adalah di luar sepengetahuan saya, Tuan ! Kan tuan mengetahui sekali
bahwa saya sama-sama duduk dengan laras-laras dan penghulu kepala lainnya di
belakang para pembesar pemerintah, Tuan Kumendur,” jawab Tuangku Laras Kurai.
“’Ik’... tidak menuduh tuan Laras mengetahui
persis persolannya. Untuk mengetahui sebab-sebab perkelahian itu, ‘Ik’ sudah
cukup punya informasi dan saksi mata, Tuan Laras !,” bentak kontroler yang
tidak simpatik itu.
“Lalu..., kenapa Tuan mempersoalkan itu
kepada hamba, Tuan komendur ?,” tanya Laras Kurai sambil memperbaiki posisi
duduknya dengan sedikit memperlihatkan wajah menantang.
“Maksud ‘Ik’, adalah itu orang mau diapakan
Tuan Laras ? Karena mereka itu sama-sama dibawah lenggang ketiaknya
Tuanku-tuanku laras ! Kalau itu orang-orang biasa yang bikin onar seperti itu,
maka ‘Ik’ tak ambil peduli. Pasti akan dihukum berat. Ini adalah timbang rasa
kami kepada laras berdua !,” kata Westenenk membujuk Laras itu.
“Kalau begitu, berarti kita sependapat Tuan
!, dan bukan alasannya seperti penuturan Tuan Komendur itu saja. Tetapi yang
lebih celaka lagi adalah apa kata masyarakat banyak nanti, bahwa dengan
perjudian yang telah pemerintah bebaskan itu ternyata menyebabkan sebuah
perkelahian banyak. Tuan pun sangat tau bahwa perjudian adalah sesuatu yang
dilarang keras oleh agama kami. Apakah hal ini akan menjadi alat
propaganda oleh kelompoknya Haji Abdul Manan yang sedang giat-giatnya menentang
pelaksanaan rodi dan belasting, Tuan !,” kata Tuanku Laras Kuarai yang sedang
bermuka dua.
Westenenk terdiam sejenak, keningnya semakin
berkilat-kilat dan urat-urat darah semakin mengelembung dibalik kulit dahinya
yang lebar itu.
“Terimakasih tuan Laras, bagus juga analisa
‘Yey’ tersebut. Dan itulah yang menggundahkan ‘Ik’ semalam. Tentu Dul Manan
dengan tenaga propagandanya semakin bertambah bahannya untuk mendapatkan
dukungan simpatik rakyat. Tapi menurut tuan Laras siapa kira-kira yang berperan
dibalik kejadian ini ?”
“Tuan Komendur jangan menanyakan hal-hal diluar kemampuan hamba seperti itu, tetapi kalau untuk menyelidikinya adalah termasuk tugas hamba, Tuan Komendur !,” pintas Tuanku Laras.
“Tuan Komendur jangan menanyakan hal-hal diluar kemampuan hamba seperti itu, tetapi kalau untuk menyelidikinya adalah termasuk tugas hamba, Tuan Komendur !,” pintas Tuanku Laras.
”Tapi yang penting menurut hamba sekarang,
Tuan Komendur janganlah berlama lama menawan mereka itu di sel penjara, Tuan
Komendur ! Lebih baik kita berpura-pura tidak ada masalah terhadap kejadian
itu, sehingga masyarakat pun tidak bertanya-tanya pula kiri kanan. Dan dipihak
kelompok Haji Abdul Manan kehabisan bahan propaganda pula jadinya, Tuan
Komendur. Maafkan saya kalau saya terlalu lancang dalam persoalan ini, Tuan
Komendur !,” kilah Tuanku Laras pula.
Tuan komendur yang ongeh (congkak) itu tidak
menanggapi pernyataan Tuanku Laras Kurai itu, dia hanya diam dalam wajah yang
mengkal. Setelah dia berfikir sejenak maka dia memanggil ajudannya.
“Ajudan !, sampaikan kepala lapas penjara
agar tawanan yang berkelahi di gelanggang kemarin itu dilepaskan saja
tanpa proses. Lepaskan saja seperti melepaskan anak ayam dari kandangnya
!,” perintah Westenenck.
Kemenakan Laras sungai Pua dan dubalang Laras
Kurai berserta pengikutnya yang ditawan karena terlibat perkelahian di
gelanggang Bukit Ambacang sejak kemarin itu dibebaskan. Sedangkan kedok Tuanku
Laras Kurai tidak terbongkar sebagai dalang keonaran guna mengalihkan perhatian
opas untuk meraziai kampung-kampung di sekitar Bukit Ambacang, karena di Bukit
Apit sedang berlangsung pertemuan rahasia kaum gerakan.
Sewaktu angku sipir penjara akan melepaskan
para tahanan itu, lama juga dia memperhatikan tingkah kedua orang tahanan yang
sengaja di satukan kamarnya. Angku sipir melihat Si Kumis dan Si Dubalang
berganti-gantian pijit-pijitan sambil bercakap-cakap yang terlihat sangat
akrab. Sejenak dia mengurungkan niatnya untuk membuka kunci pintu jeruji besi
dan berupaya menyelinap untuk menguping pembicaraan mereka. Secara seksama
angku sapir menangkap pembicaraan kedua tokoh yang membuat kacau di gelanggang
tempo hari. Sang Sipir merogo kantongnya dan mengeluarkan notes kecil untuk
mencatat atas pembicaraan mereka.
Rupanya kedua orang itu adalah teman
seperguruan silat dahulunya. Sewaktu masih belia, mereka sama-sama
belajar silat kepada Nan Batapo di Lasi dalam Kelarasan
Canduang. Tentu saja tidak ada diantara mereka itu yang terluka karena
mereka bukan berniat untuk saling membunuh, tidak lain mereka sedang beratraksi
kepintarannya di depan umum, sambil mefasihkan kembali pelangkahan, jurus-jurus
silat yang sudah lama tidak diulang.
Rupanya, Si Dubalang disuruh Laras
Kurai untuk membuka perjudian dadu kuncang dan kemudian dia harus
bermain curang yang nantinya dia pura-pura dirampas dan diserang oleh seseorang
yang berbadan tegap berkumis tebal yang memakai topi trabus, sejenis topi
morris.
Si Kumis mengakui pula kepada Dubalang bahwa
dia menerima pesan dari Tuan Laras Kurai yang disampaikan oleh Siti
Maryam, bahwa dia harus datang memasang taruhan dadu kuncang dan
nantinya berpura-pura menyerang, dengan menggunakan pisau.
“Tetapi sesampai di tengah gelanggang, ambo
bingung, di lapiak (tikar) dadu mana rencana ini harus dilaksankan, karena ambo
dapati ada lima tempat yang menggelar dadu kuncang tersebut. Lama juga ambo
memperhatiakan ke lapiak mana yang akan dituju,” kata Si Kumis sambil memijit
pundak dan punggung Si Dubalang.
“Lalu kenapa awak sampai juga di lapaiak dadu
ambo tuk ?,” tanya Si Dubalang kepada Si Kumis.
“Nah, sewaktu ambo mematut-matut itu, menyerempetlah seseorang dari arah rusuk kiri ambo, ambo terkejut dan ambo lihat rupanya anak gadis yang sadang bajojo lapek (jajakan lemper), bika dan sarikayo katan dalam niru yang dijujungnya. Kemudian tukang kue itu langsung bolak-balik di depan lapiak dadu awak tu sambia (sambil) berpura-pura bajojo lapek,” cerita Si Kumis.
“Nah, sewaktu ambo mematut-matut itu, menyerempetlah seseorang dari arah rusuk kiri ambo, ambo terkejut dan ambo lihat rupanya anak gadis yang sadang bajojo lapek (jajakan lemper), bika dan sarikayo katan dalam niru yang dijujungnya. Kemudian tukang kue itu langsung bolak-balik di depan lapiak dadu awak tu sambia (sambil) berpura-pura bajojo lapek,” cerita Si Kumis.
Maksud awak gadih nan bajojo lapek jo bika tu
si Maryam ?,” tanya Dubalang pada Si Kumis.
“Iya, siapa lagi dia kalau bukan Siti Maryam !,” jawab Si Kumis.
“Iya, siapa lagi dia kalau bukan Siti Maryam !,” jawab Si Kumis.
Itulah yang membuat mereka ketawa terkekeh-kekeh di kamar yang sempit dan lembab itu. Mendengar itu semua, sipir penjara mengangguk-angguk saja dan selesai mencatat dalam notes kecilnya tentang semua perbincangan parewa di balik jeruji itu, lalu memasukkan catatannya ke kantong bajunya yang sebelah kanan dan pulpen di kantong kirinya.
“Bagus, bagus...! Sudah berbaikankah kalian
?,” tanya sipir memutus pembicaraan mereka.
“Sudah, Tuan. Kami tidak bermusuhan lagi, kami telah sadar tuan,” jawab mereka berdua serentak.
Tapi, karena perintah Kontroleur segera untuk membebaskan tawanan itu maka sapir pun tak dapat berbuat banyak, kecuali menyuruh orang-orang dalam kurungan itu segera keluar sambil membuka kunci jeruji besi tersebut. (bersambung)
“Sudah, Tuan. Kami tidak bermusuhan lagi, kami telah sadar tuan,” jawab mereka berdua serentak.
Tapi, karena perintah Kontroleur segera untuk membebaskan tawanan itu maka sapir pun tak dapat berbuat banyak, kecuali menyuruh orang-orang dalam kurungan itu segera keluar sambil membuka kunci jeruji besi tersebut. (bersambung)
______________________________________
Bagian X.
Sampai jualan Siti Mariam di kediamana Siti
Mangopoh. Setelah napas Siti Maryam lega, mulailah dia mengutarakan
maksud kedatangannya kepada Mande Siti Mangopoh dan suami Siti Mangopoh, Rasyid
Bagindo Magek. Hadir pula sat itu Majo Ali, Dullah Sutan Marajo yang saban
hari berjualan sate dan sebagai tepatan Siti Maryam di Mangopoh untuk
mendapatkan dan menyampaikan informasi dari dan ke Kamang pusat, gerakan anti
belasting di Minangkabau sebelum dia melanjutkan perjalanan ke Talu dan
Pariman. Secara khusus Siti Maryam menyampaikan hasil pertemuan rahasia
yang difasilitasi oleh Tuanku Laras Kurai pada sebuah ‘Rumah Gadang’ di Bukit
Apit Bukittinggi tempo hari.
“Mande, dari hasil pertemuan itu telah
disepakati bahwa, pertama kita tetap menolak pembayaran belasting; kedua,
andaikan masih dipaksakan juga oleh pihak Ulando maka tetap akan dilawan;
ketiga, jika Ulando memaksakan dengan kekerasan akan dihadapi pula dengan
kekerasan; keempat, haram hukumnya bagi orang muslim membayar pajak (upeti)
kepada pemerintah yang zhalim dan atau pemerintah kafir; kelima, apabila pada
suatu daerah terjadi sesuatu hal, perlawanan atau peperangan dalam menentang
belasting tersebut maka daerah lain harus segera memberikan bantuan,” jelas
Siti Maryam.
“Kalau begitu sudah saatnya kita lebih
mepersiapkan tenaga dan segala perlengkapan perang yang diperlukan,”
pintas Majo Ali.
“Tentu saja, kita juga memerlukan tempat yang
lebih aman untuk memusatkan kegiatan pembekalan para pejuang kita,” tukas Siti
Mangopoh.
Wajah Siti Mangopoh seketika mengkeru.
Bibirnya memagtup. Nampkanaya dia berpikir keras. Para pendampignya menunggu, melihat
gelagat itu. Suasana terasa tegang.
“Barangkali tempat yang paling aman adalah di
Padang Pusaro atau di Padang Mardani Lubuak Basung, karena agak kepedalaman dan
jauh dari penciuman Ulando,” sambung Siti Mangopoh lagi.
“Sepertinya Padang Mardani sangat cocok,
Mandeh, dan saya sangat setuju disitu dijadikan sebagi pusat latihan. Karena
selain pertimbangan keamanan saya juga lebih terbantu untuk melakukan
perjalanan yang bolak-balik ke Kinali dan Air Bangis di Pasaman dan ke Kamang
sendiri. Bahkan saya juga harus mengunjungi Pariaman,” jawab Siti Maryam Pula
memberikan pertimbangan kepada Siti Mangopoh.
“Tapi, biarlah kita rundingkan dulu dengan
tokoh-tokoh kita yang lain, seperti dengan Dullah, Tuangku Padang dan
sebagainya,” saran Bagindo Magek.
“O, ya! Tentu pula Tuangku Padang akan
bertemu dulu dengan Inyiak Manan di Pariman sebelum beliau
datang kesini, Mandeh ?” tanya Maryam Pula.
“Memangnya Inyiak Manan akan berkunjung ke
Pariaman, Maryam ?,” Siti Mangopoh balik bertanya kepada Siti Maryam.
“Iya, Mandeh ! Setelah alek pacu kuda itu
pada malam harinya dilanjutkan pertemuan di rumah Inyiak Manan di Kampung
Tangah, diantra perkara yang diputuskan adalah kita harus berbagi tenaga untuk
menyampaikan hasil pertemuan di Bukik Apik dan langkah-langkah yang akan
diambil selanjutnya. Inyiak Manan ditetapkan sebagai utusan ke Padang Panjang,
Pariaman, Lubuak Aluang, Padang, Pauah IX dan sekitarnya,” jelas Siti Maryam.
“Kalau begitu, ya... harus kita tunggu
terlebih dahulu apa hasil pembicaraan orang berdua tersebut, baru kita tentukan
pula apa langkah kita selanjutnya,” saran Rasyid Bagindo Magek, suami Siti
Mangopoh yang tidak tergopoh-gopoh untuk mengambil sikap dan itupun dianggukkan
pula oleh Majo Ali.
“Hal lain yang perlu juga kita ketahui
bersama, Mande! Bahwa dalam acara alek pacu kuda di Bukit Ambacang tempo hari
itu juga telah terjadi ‘cakak banyak’ yang diawali oleh kemenakan Tuanku Laras
Sungai Pua dan si Dubalang Tuanku Laras Kurai,” kata Siti Maryam Lagi.
“Apa penyebabnya?,” tanya Bagindo Magek pula.
“Karena perjudian,” jawab Maryam.
“Kalau begitu judi membuat orang lebih
sengsara, itulah buktinya pada kejadian tersebut,” kata Majo Ali.
“Persis begitu Tuan. Justru itu kejadian kita
jadikan sebagai propaganda kita kepada masyarakat guna menyulut kebenciannya
kepada Ulando,” jawab Siti Maryam Lagi.
“Tapi, kenapa hal itu bisa terjadi ?,” tanya
Siti Mangopoh pula.
“Sebetulnya kejadian itu telah direncakan
sebelumnya, Mandeh ! Ini adalah siasat yang telah direncanakan sebelumnya oleh
Tuanku Laras Kurai untuk mengalihkan
perhatian Ulando, kalau-kalau Ulando mencium dan mencurigai pertemuan kita di
Bukit Apit itu. Disamping itu, dapat pula sebagai pembuktian kepada masyarakat
akibat perbuatan Ulando membebaskan perjudian pada saat alek pacu kuda itu,”
jelas Siti Maryam.
“Ooo...!,” Siti Mangopoh sedikit terperajat
mendengarkan sebuah skenario yang telah dimainkan bak kucing dan tikus itu.
Sebanyak akal kucing sebanyak itu pula akl tikus.
“Berapa hari kamu direncanakan menemani kami
di sini, Maryam ? Andaikan bisa, bantulah kami dulu di sini untuk melatih
tenaga-tenga perempuan kita guna lebih menguasai ilmu persilatannya!,” kata
Siti Mangopoh kemudian.
“Sebetulnya kehendak Mande itu telah
direncakan. Tapi sebelumnya saya harus ke Pasaman dulu untuk mengabarkan berita
yang sama dan juga untuk mengobarkan semangat anti rodi dan belasteng di
sana. Sepulang dari Pasaman nanti barulah saya akan tinggal beberapa hari di
sini, Mandeh !,”jawab Siti Maryam.
“Makanya tadi saya lebih setuju kalau kegiatan kita dipusatkan di Padang Mardani itu, Mandeh. Kan saya dari Pasaman tidak terlalu jauh menuju Padang Mardani itu nantinya,” tukas Siti Maryam lagi.
“Makanya tadi saya lebih setuju kalau kegiatan kita dipusatkan di Padang Mardani itu, Mandeh. Kan saya dari Pasaman tidak terlalu jauh menuju Padang Mardani itu nantinya,” tukas Siti Maryam lagi.
“Kalau persoalan tempat dimana akan
dipusatkan latihan dan menyusun siasat perang nanti akan kami kabari kamu,
Maryam. Meskipun kamu masih berada di Pasaman !,” jawab Siti Mangopoh
pula.
INTENSITAS latihan perang dengan mempermahir
gerakan mempergunakan rudus, pedang terhunus buatan Apar, pandai besi di
Palembayan, Salo dan Salimpaung semakin meningkat. Tempat latihan dilaksankan
tidak saja di goa batu, Ngalau Batu Biaro tetapi telah berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lain, guna menghindari pemantauan kaki tangan,
intel-intel Belanda. Kali ini latihan silat yang boleh dikatakan latihan
berkelahi dengan mempergunakan senjata tajam dilaksankan di halaman belakang
Surau Taluak, arah Utara dari Simpang Pintu Koto sekitar lima kilometer di
Timur Kampuang Budi.
Semua pasukan ‘harakiri’, pasukan berani mati
Haji Abdul Manan tidak pernah absen mempersiapkan dirinya untuk perang basosoh
(serentak) dengan pasukan Belanda nantinya, termasuk ketiga orang srikandi
Kamang, Siti Anisyah, Siti Aisyah dan Siti Maryam. Perang frontal dengan
menyerbu sedekat mungkin dengan musuh adalah salah satu jalan untuk melawan dan
melumpuhkan musuh.
Tidak biasanya malam itu Siti Anisyah membawa
putranya yang semata wayang ke arena latihan. Tetapi karena Ramaya yang tidak
mau tinggal bersama neneknya malam itu, terpaksa Sutan Nan Basikek, suami
Anisyah menyuruh istrinya untuk membawa serta Ramaya ke arena latihan malam
itu.
Pada saat Anisyah maju ke tengah arena
latihan, Ramaya dipeluk oleh Siti Maryam yang bergantian dengan Siti Aisyah.
Tetapi pada saat Anisyah sedang latihan dengan Aisyah dan Maryam barulah Ramaya
berpeluk dengan bapaknya, Sutan Nan Basikek yang sering kami panggil dengan Mak
Sikek.
Malam telah larut, kelopak mata Ramaya
bertaut karena mengantuk dia ditiurkan di dalam surau dengan berselimut kaian
sarung bapaknya. Sesuatu yang penuh haru mengundahkan Siti Anisyah, Maryam,
Siti Aisyah.
Dalam lelapnya di atas surau, terdengar isak
tangis Ramaya yang tersentak tidur, dia memangil-manggil ayah dan ibunya.
Sehingga ibunya segera naik ke atas surau memungut dan memeluk anaknya itu
sambil membujuknya untuk berhenti menangis. “...ma... apak mak...?,” dalam isak
tangis yang menghiba Ramaya menanyakan mana bapaknya meskipun dia telah dipeluk
ibunya.
“Apak sedang latihan bersilat di luar nak.
Apakah kamu mau melihat apak bersilat?,” jawab Anisyah menenangkan hati
anaknya.
“Iyo, Mak,” kata Ramaya.
“Kalau begitu, ayao kita lihat bapak, tapi
jangan nangis lagi, ya...!”
Ramaya memang tidak menangis lagi, dia
menerawang menatap ayahnya yang lagi asyik berlatih dengan sebilah rudus
di tangannya menghadapi tiga orang lawan yang di tangannya masing-masing juga
memegang rudus dan pedang.
“’Mak..., mak...!,’ kata Ramaya mengalihkan
perhatian ibunya yang sedang asyik menonton kelincahan gerakan suaminya ‘kalau
amak dan apak pai baparang nanti jo sia awak amak tinggakan.’” Maksudnya Kalau
Ibu dan Bapak pergi berperang nanti dengan siapa dia (Ramaya) ditinggalkan.
Rupanya desas-desus akan terjadi perlawanan rakyat terhadap kompeni sudah
santer di Kamang, tua, muda, besar dan kecil bahkan anak-anak dibawah umur
seperti Ramaya sendiri sduah mengetahuinya.
“Kan ada nenek dan etek,” jawab Anisyah
“Kalau amak jo apak pai baparang nanti, dan
mati amak jo apak. Jo sia awak amak tinggakan, Mak...?!,” sambung Ramaya lagi.
Maksdunya ‘andaikan ibu dan bapak pergi berperang nanti, dan meninggal ibu dan
bapak, dengan siapa saya ibu tinggalkan ?
Mendengar pertanyaan anaknya yang polos, lugu
dalam usia tidak lebih lima tahun itu kerongkongan Siti Anisyah terasah
tercekik, namun dia berupaya untuk tidak memperlihat wajahnya yang berubah pilu
itu.
Anisyah menekurkan wajahnya memandang
tubuhnya yang masih belum kering dari keringatnya sehabis latihan tadi, sekejap
memandang ke arah suaminya yang sedang berlatih di tengah gelanggang sambil
mendekap dan mengelus-elus kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. Kepalanya
berdenyut bagaikan tersengat listrik tegangan tinggi, diiringi deraian air mata
yang satu demi satu mulai menimpa tubuh Ramaya dalam pelukannya itu.
Terbayang akan kegelapan masa depan si
buyung yang tidak berkakak dan beradik itu nantinya. Anak semata wayang yang
tidak akan disinari oleh kasih sayang ayah dan ibunya sepeninggalnya kelak
kalau nasib tidak berpihak kepadanya dalam peperangan. Sebaliknya perang
melawan tirani Belanda adalah sebuah perjuangan suci yang berpegang kepada tali
agama dan untuk negeri, anak cucu dikemudian hari.
Ramaya bingung melihat pandangan ibunya yang
nanar yang diiringi deraian air mata itu. Cepat-cepat Siti Anisyah mendekap
anaknya lagi. Anisyah takut akan timbul kegalauan dan pertentangan dalam bathin
anaknya. Namun tanpa disadarinya kristal-kristal mutiara kasih sayang ibu
semakin tidak terbendung, mulai menganak sungai menelusuri lekukan batang
hidung Anisyah hingga ke dagunya dan jatuh satu-satu membasahi dahi Ramaya yang
sedang mentengedah dalam pelukannya ibunya.
Pada saat itu Maryam yang duduk agak terpisah
dari Anisyah, tetapi masih dalam balutan pandangannya melihat sebuah gelagat
yang tidak biasanya pada diri Anisyah. Maryam pun memberi isyarat kepadaku
untuk menghampiri Anisyah.
Aku coba mendekati Anisyah, sekilas aku
menangkap ada sesuatu yang berkecamuk dalam dirinya. Hal itu terlihat jelas
dari urat-urat yang menegak di dahi, matanya basah pada bandar hidungnya
terlihat lendir bening yang meleleh, sedangkan sikap dan bawaannya sedikit
gelisah, tidak tenang. Dengan suara setengah berbisik aku berusaha membuka
tabir rahasia sesaat yang telah mencurigakan pandangan Maryam tadi.
“Apa gerangan yang terjadi, Tek. Sakitkah Ramaya atau... etek yang kurang sehat ?”
“Apa gerangan yang terjadi, Tek. Sakitkah Ramaya atau... etek yang kurang sehat ?”
“Tidak, jurutulis. Tidak apa-apa. Tapi...,
dimana Maryam tadi, adakah kamu melihatnya ?” Aku tahu persis, bahwa jawaban
dan sikap Anisyah seperti itu adalah caranya mengalihkan perhatianku dan
sekaligus mengalihkan perasaannya yang sedang galau. Tapi aku belum tau apa
sesungguhnya yang terjadi. Akupun tidak mau pula mendesaknya.
“Ada, Tek. Tadi Maryam berdiri di sebelah
sana, dekat ‘Kak Aisyah. Apakah perlu aku panggilkan dia, Tek ?”
“Kalau kamu tidak keberatan, suruhlah Maryam
ke sini !”
“Baik, Tek.”
Aku berjalan membungkuk-bungkuk,
menyelinap-nyelinap disela-sela penonton yang sedang menunggu giliran
untuk latihan akupun sampai juga didekat Kak Siti Aisyah dan Maryam.
“Kak, Kak Aisyah, sepertinya etek Anisyah ada
masalah, beliau menanyakan Maryam. Bagaimana kalau Maryam menemui dia dulu ke
sana, ketempat dia beristirahat itu dan mana tau Maryam bisa mencari tau
masalah yang dihadapi Etek Anisyah,” kataku pelan.
“Bagaimana baiknya, Tek ?,” kata Maryam pula
kepada Aisyah. Karena Maryam tidak enak juga meninggalkan kakak Aisyah begitu
saja sendirian.
“Sebaiknya kita ke sana saja, Maryam !,”
jawab Siti Aisyah.
Kami bertiga pun telah mengelompok bersama
Anisyah dan Ramaya dalam keramian itu.
“Apa gerangan yang terjadi Kak ?,” Aisyah.
“Apa gerangan yang terjadi Kak ?,” Aisyah.
”Ayolah, Tek ! Apa gerangan yang telah
menimpa diri etek,” bujuk Maryam pula menimpali pertanyaan Siti Aisyah dalam
posisi jongkok dan memegang lutut Anisyah dengan tangan kirinya, sementara
tangan kanannya membelai-belai kepala Ramaya.
“Kak, kenapa hanya diam saja, cobalah kakak
berbagi sedikit dengan kami,” timpal Aisyah kembali kepada Anisyah.
“Tidak ada apa-apa Aisyah, tidak perlu pula
kalian turut gelisah, karena tidak ada kejadian apa apa.”
“Kalau tidak kenapa mata etek memerah dan
pipi Etek basah oleh air mata, dan wajah Ttek kusam pula,” sela Maryam secara
beruntun.
“Hanya mengenai Ramaya, namun biarlah
perasaan ini aku rasakan sendiri, karena kalian pun tidak akan dapat
memahaminya,” jawab Anisyah
“Meskipun kami belum mempunyai anak, tapi
bukankah kejadian kita dari nur kasih sayangNya Allah, Tek ! Maka secuil
perasaan untuk turut merasakan yang dialami orang lain pasti ada disetiap kita.
Ini adalah sebuah keyakinan, Tek !”
Tanpa aku sadari ternyata aku telah
mendakwahi orang yang hampir sepataran ibuku itu dan malah selama ini beliau
telah turut membesarkanku dalam pandangan hidup dan bersikap.
“Biarlah aku yang memeluk Ramaya mejelang
latihan ini selesai, Tek. Kelihatnnya dia sudah tertidur,” kata Maryam.
“Maukah kakak berbagi dengan kami ?,” pnita
Aisyah lagi.
“Setidaknya, supaya kami tidak mendustai jiwa
dan nurani kasih sayang itu, Tek,” tegasku pula kepada Anisyah yang sedang
mengepal kedua tinjunya dan mendekapkan ke dadanya sambil menggoyang goyangkan
tubuhnya ke arah dengkulnya menahan pilunya. Tak obahnya seperti orang sedang
didepan bara api dalam kedinginan.Sambil menegakkan tubuhnya dalam posisi duduk
itu, dia tidak dapat menyembunyikan kisah yang baru saja memilukan hatinya.
“Tadi Ramaya bilang kepada saya ’kalau amak
jo apak pai baparang nanti, dan mati amak jo apak. Jo sia awak amak tinggakan,
Mak...? ”
“Ibu manakah yang tidak akan luluh hatinya
mendengarkan ucapan anak yang tidak lebih tiga setengah tahun lalu melepaskan
mulut dari punting susuku jika dia haus, lapar, buang hajat atau karena rasa
mengantuk sedang merajam matanya tatkala berucap seperti itu dengan lidah yang
belum fasih itu,” rintih Anisyah lagi kepada kami.
Akh, celakalah aku. Tepat juga rupanya alasan
etek Siti Anisyah, sehingga berat hati untuk berbagi dengan kami. Sekarang tiba
giliran kami, leherku kaku, urat-urat darah terasa meregang di dahiku. Maryam
memalingkan muka dan menutup wajahnya dengan ujung kain panjang penyelimut
Ramaya. Kak Aisyah seakan menatap replika keabadian pohon beringin sunsung di
bulan yang hampir ditutup awan itu, deraian air mata pun menjelajahi pipinya
menuju muaranya di dagu yang runcing itu milik mamak Datuak Rajo Pangulu itu.
“Pertanyaannya itulah yang melemaskan
tulang-tulang dan menggoyahkan persendianku ini,” sambung Anisyah dengan suara
memelas meceh kebekuan kami.
Kamipun tidak menduga, kalau pada saat itu
juga Siti Anisyah tetap memberikan semangat hidup kepada Ramaya
“Ramaya, anakku. Semua orang akan menjadi
ayah dan ibumu, nak ! Selagi orang orang itu tetap membenci perangai Ulando
yang ingin menguasai negeri ini, dan ingin merubah cara hidup kita ini, Nak !,”
ujar istri Mak Sikek itu.
Rupanya, betapapun tegarnya hati seorang ibu,
tetapi karena ‘sayang kepada anak sepanjang jalan’ luluh juga perasaan ‘singa
betina’ dari kaki Bukit Barisan itu.
Dalam diam, senyap yang hanya ditingkah bunyi
telapak kaki dalam perjalanan pulang dari Surau Taluak menuju Kampung Tangah
pikiranku pun melayang kepada kejadian yang menimpa pejuang kita, Tuangku Nan
Cerdik di Naras Pariman tempo dulu dengan kepiliuan yang menimpa Etek
Anisyah tadi.
Taungku Nan Cerdik nama
lain dari Bagindo Maraganti atau disebut orang juga dengan Bagindo Nan Cerdik atau Tuangku Ketek (Kecil), adalah pewaris tahta raja di
hulu yang berkedudukan di Mangguang, Naras Pariman menggantikan mamak
(paman)-nya, Rajo Nando. Tuangku Nan Cerdik tidak mengacuhkan larangan
Belanda untuk berdagang dengan Aceh dan membuat garam sendiri yang pada waktu
itu Belanda telah memonopoli perdagangan dengan memasok garam dari Madura - dan
rakyat di pesisir dilarang membuat garam sendiri.
Pada bulan Desember 1930 Komandan Militer
Sumatera Barat De Rochemont membawa pasukan satu detasemen dari Padang ke
Pariman dengan invantri, berjalan kaki selama sebelas jam, dan secara
diam-diam dapat menguasai Pariaman. Kemudian Resident Mac Gillavry
menugaskan Asisten Residen Padang untuk mengambil alih pemerintahan di Pariman
tersebut guna menghancurkan Tuangku Nan Cerdik itu.
Penyerangan ke Mangguang dimulai pada 12 Desember 1930,
dengan memberangkatkan pasukan sebelum subuh yang terdiri dari 1.000 orang
invantri, 50 orang marinir dan pelaut-pelaut dari korvet “Pollux” bersama
sejumlah besar pasukan pribumi dengan membawa 3 buah meriam kecil dan 1
buah meriam besar.
Perjalanan dari pusat pemerintahannya di
Pariaman dilakukan dengan menyisir pantai menuju utara dan dua buah kapal
perang pun dikerahkan ke Naras (Mangguang). Sesampai di Manguang ternyata kota
itu telah dikosongkan Bagindo Nan Cerdik.
Akhirnya Belanda tetap melanjutkan
perjalanan ke Naras dengan meninggalkan sepasukan di Mangguang untuk
berjaga-jaga. Saat memasuki Naras pasukan Belanda mulai dibuat kucar-kacir oleh
tembakan senjata dan meriam pasukan Tuangku Nan Cerdik. Belanda kewalahan,
meriam-meriam belanda berbalik pulang ke Pariman. Adalah kekecawaan
pertama pasukan Belanda, meskipun meriam-meriam perang dari dua buah kapal yang
telah sampai di laut muka Naras, turut “menggonggong” mengahantam kubu
pertahanan Tuangku Nan Cerdik tersebut.
Pada 21 Desember diatur lagi strategi
berikutnya dan dimulailah penyerangan balasan oleh Belanda. Kalau taktis ini
kita namakan dengan ‘rencana B’, maka rencana B juga tidak berhasil. Ternyata
Tuangku Nan Cerdik selama gencatan senjata telah menebar banyak ranjau dan
semakin memperkuat benteng pertahanannya di Naras. Hal hasil Komandan Militer
Belanda De Rochemont sebelum bertempur telah ketakutan dan menyuruh saja
pasukannya untuk mundur. Komandan Militer Belanda, De Rochemont sebagai bekas
pasukan Napoleon itu terpaksa meracik otaknya membuat ‘rencana C’.
Dalam bulan Mei 1831 rencana itu pun
dilaksankan. Dibawah pimpinan Michiels dengan sebuah ekspedidi kuat
berhasrat kembali untuk menghancurkan Naras, tentu saja yang dicari adalah sang
raja pesisir itu. Tanggal 7 Juni 1831 Naras dan VII Koto digempur habis-habisan
oleh Belanda, sehingga lokasi untuk menempati meriam-meriamnya menghadap
ke Naras dan VII Koto dinamakan orang dengan dusun Meriam.
Meskipun Naras telah rata dengan tanah, namun
dengan sebuah tipu muslihat Tuangku Nan Cerdik dengan pasukannya dapat
meloloskan diri ke Bonjol. Belanda kesal, sakit hati, marah. Karena entah kemana
rasa sakit hati akan dilepaskan akhirnya ‘rencana D’ perlu dipikirkan untuk
membalas sakit hati karena telah dipermalukan oleh Tuangku Nan Cerdik lantaran
yang dihancurkankan adalah kampung yang telah tidak berpenghuni itu.
Belanda mengambil cara yang licik. Akhirnya
ibu, istri dan kedua putri Tuangku Nan Cerdik ditangkap. Istri dan ibu Tuangku
Nan Cerdik dipenggal kepalanya oleh Belanda dan dibawa ke Pariman untuk
dipertontonkan dikhalayak ramai, sedangkan seorang putrinya di bawa Ellout ke
Padang untuk ‘dididik’-nya. Wallahu a’lam bissawab. Putri yang seorang lagi
ditawan di rumah komandan militer di Pariaman.
Sejalan dengan penghinaan Belanda yang tidak
berprikemanusiaan itu ‘rencana E’ pun dilancarkan. Ellout mengeluarkan sebuah
sayembara, bahwa “barang siapa yang dapat menangkap Tuangku Nan Cerdik
hidup-hidup akan mendapat hadiah 1.000 gulden; dan siapa yang hannya dapat
menyerahkan kepala Tuangku Nan Cerdik akan memperoleh uang 500 gulden.
Tapi, toh sayembara itu tidak laku, tidak
membuahkan hasil. Sekarang Gubernur Militer Sumatera Westkust mendapat giliran,
hidup seperti kue ‘bika’, ditasnya bara di bawahnya api. Jabatan harus
dipertaruhkan kembali kepada Gubernur Jenderal di Batavia seandainya Tuangku Nan Cerdik masih belum dapat dilumpuhkan. Alasan
petinggi di Batavia sederhana saja, karena sudah banyak biaya yang dikeluarkan
pemerintahan kerajaan gara-gara seorang itu saja, belum lagi menghadapi pasukan
Paderi yang dipimpin Tuangku Imam.
Dalam bulan Maret 1832 kedudukan Belanda di
Utara mulai gawat. Momen ini dipergunakan oleh Tuangku Imam Bonjol yang dibantu Tuangku Muda membawa 4.000 orang pasukan bergerak
menuju Tiku. Sedangkan Tuangku Nan Cerdik memimpin 3.000 pasukan. Pasukan
Paderi yang bergerak dari Bonjol itu membuat pertahanan di Mangopoh.
Pihak Belanda harus mematangkan ‘Rencana E’
dan dilaksankan. Belanda mulai memerlukan kapten intel, yang terkenal dengan
‘spion-spion melayu’-nya.
Sekali lagi Petinggi Belanda di Padang
memasukkan benaknya ke kilangan akal untuk mendapatkan setetes harapan lagi
untuk melumpuhkan Tuangku Cerdik kalau tidak, tuan Gubernur Militer di Sumatera
Barat itu akan memperoleh seuntai kalimat ‘penghargaan’, yaitu
“Selamat Jalan” menuju tanah kelahiran. Holland masih setia menunggu
kepulangannya.
‘Rencana E’ belum hasilnya, target
belum tercapai. Terpaksalah ‘rencana E’ dikembangkan menjadi ‘Rencana.
Sewaktu Tuangku Nan Cerdik memasuki VII Koto,
Elout menyeret anak gadis kecil Tuangku Nan Cerdik ke hadapannya untuk
dipampangkan kehadapan bapaknya sendiri yang telah siap menyerbu pasukan
Belanda yang sedikit dalam keadaan ‘nervous’ itu. Dengan tiba-tiba pasukan
Taungku Nan Cerdik langsung mengundurkan diri dan lari meninggalkan medan
pertempuran. Tentu saja ‘psywar’ yang diciptakan Kolonel Elout ini
telah membawa hasil gemilang di pihak Belanda
Dengan berhasilnya ‘rencana F' inilah
lumpuhnya perjuangan – ‘petak umpet’ – Tuangku Nan Cerdik terhadap Belanda.
Adalah karena ‘si pengobat rindu-pelerai deman - si buah hati limpa berkurung’
telah menjadi pampasan perang. Demi anak ‘tidak kayu jenjang pun di keping”,
demi anak apun diperbuat.
“Zonderlinge overwinning”, suatu kemenangan
aneh buat Belanda. Akhirnya Tuangku Nan Cerdik pada bulan Agustus 1832 itu
menyerahkan diri, karena tidak kuat menahan rindu kepada anak yang masih hidup
dan ditawan orang ‘lanun’ dari negeri asing di seberang lautan luas itu. Beliau
menyerahkan diri dan memohon untuk dapat berjumpa dengan anaknya yang sedang
ditawan dan berjanji akan hidup bersama anaknya itu di Padang, tidak kembali
lagi ke Mangguang dan Naras.
Sehingga dikemudian hari ‘borderline’, garis
batas, antara daerah pesisir dan darek mulai terbuka bagi Belanda untuk
mendesak jantung gerakan Paderi di pedalaman Luhak
Agam terus ke utaranya, yaitu Bonjol.
Dalam keasyikanku melayang jauh ke masa lalu
itu, yaitu setelah kami berpisah dengan Aisyah dan suaminya Datuak Rajo Pangulu
di Simpang Pintu Koto . Kami berbelok ke kanan, ke arah Joho menuju Surau Koto
Samiak. Dan persis selepas jembatan di Joho tiba-tiba Mak Sutan Nan Basikek,
suaminya Etek Siti Anisyah memegang lenganku, seakan mengisyaratkan berhenti
sejenak.
“Ambo ingin bertanya sesuatu padamu, apakah
boleh ?”
“Boleh, Mak. Apa gerangan, Mak”, aku
masih terkaket karena baru saja disentakkannya dari lamunanku barusan.
“Begini, sepertinya ada terjadi sesuatu
diantara kalian tadi itu. Tetapi karena saya khawatir membuyarkan semangat
kawan-kawan yang sedang latihan makanya saya tidak mendekati kalian,” jelas Mak
Sikek kepadaku sambil kembali melangkah kembali melanjutkan perjalanan pulang.
“O, rupanya mamak, memperhatikan kami juga
tadi itu ?,” jawabku mereda.
Aku raba dan akau usap-usap kepala Ramaya
yang terkulai lelap dalam gendongan ayahnya itu.
“Nanti lah Mak, nanti akan saya ceritakan apa yang terjadi tadi itu kepada mamak,” ulasku lagi.
“Apakah kamu juga akan tidur di rumah kami malam ini ?”
“Nanti lah Mak, nanti akan saya ceritakan apa yang terjadi tadi itu kepada mamak,” ulasku lagi.
“Apakah kamu juga akan tidur di rumah kami malam ini ?”
“Tidaklah, Mak ! Bagaimana pula saya akan
bertandang di rumah mamak, sedangkan Maryam juga ada di sana. Tidak bagus
dilihat orang, tentu akan menjadi fitnah pula nantinya, Mak.”
“O, ya!, Lalu...?,” tanya Mak Sikek lagi
“Ya, saya tetap tidur di Surau Inyiak, Mak,”
jawabku.
Kemudian kami hanyut lagi dalam keheningan
malam dalam perjalanan pulang. Maklumlah beralas kakipun tidak sehingga yang
terdengar adalah bunyi telapak kaki pada saat menginjak jalan tanah dan becek
yang ditingkah oleh suara kodok, caciang gilo yaitu cacaing berukuran besar di
semak-semak di sepanjang sawah. Sudah separo jalan kami berlalu, kemudian Mak
Sikek memulai angkat bicara lagi.
“Kalau malam ini aku tidur bersamamu di surau
bagaimana, ya ?, sehingga sebelum tidur kamu dapat menceritakan kejadian itu
padaku.”
“Kalau begitu tidak apalah, Mak.”
“Jadi sekarang kita antar mereka ini dulu
bersama-sama ke rumah, setelah itu kita berbalik menuju suaru di Budi.”
Di Surau Inyiak Manan di kampung Budi cerita tentang Ramaya pun aku paparkan kembali, sebagai laporan kepada orang yang punya anak dan istri. (Bersambung)
Di Surau Inyiak Manan di kampung Budi cerita tentang Ramaya pun aku paparkan kembali, sebagai laporan kepada orang yang punya anak dan istri. (Bersambung)
______________________________________
BELANDA secara berangsur-angsur bagaikan tikus
mengerek telapak kaki orang yang sedang tidur, dengan cara mulai merombak
sistem pemerintahan dan sistem moneternya di Minangkabau.
Untuk kesekian kalinya pasca perang Paderi 1837, perjanjian Pelakat Panjang
disetujui tahun 1833 dilanggarnya. Sebagai kelanjutan atas Surat
Keputusan Gubernur Jenderal No. 18 tanggal 4 November 1823, yang berisikan
selain bentuk-bentuk pemerintahan untuk Minangkabau,
diantarnya menyangkut bidang kepolisian, pajak, cukai pengadilan dan lain-lain.
Dipicu pula oleh kebutuhan akan biaya yang semakin sangat besar karena Kerajaan
Belanda mengalamai resesi moneter dan terkurasnya dana untuk membiaya
peperangan pada awal abad ke-20, maka dipaksakanlah diberlakukannya ‘pajak
langsung’ yang dikenal dengan ‘belasting’ dalam bentuk penyerahan langsung
berupa uang yang dipaksakan kepada rakyat Minangkabau sebagai pengganti ‘Coffeestelstel’
- buah tangan Deandels denganNederlandshe Handels
Maatshappij sebagai agen
tunggalnya selama ini.
Besarnya ‘pajak
langsung’ itu didasarkan kepada harta kekayaan, sawah-ladang dan termasuk
luasnya pekarangan rumah. Dan, tidak ada pengecualiannya, sekalipun tanah
ulayat, harta milik kaum.
“Peraturan untuk membayar ‘Balasting’ itu adalah berarti membayar uang takut atau upeti kepada Belanda padahal kita hidup di atas tanah kita sendiri. Selama ini hasil tani kita telah disitanya dengan sistem monopoli dagangnya.
“Peraturan untuk membayar ‘Balasting’ itu adalah berarti membayar uang takut atau upeti kepada Belanda padahal kita hidup di atas tanah kita sendiri. Selama ini hasil tani kita telah disitanya dengan sistem monopoli dagangnya.
“Dengar ya, Maryam
! Bahwa di tanah yang di ‘taruko’ (dipaculi), hasil cencang retas ninik moyang
kita - yang dahulunya hanyalah hutan rimba, rawa, semak belukar sekarang harus
pula kita membayar kepada sihudung anggang tersebut,” ketus si Juru Tulis dalam
perbincangannya dengan Maryam di rumah istri Sutan Nan Basikek.
“Kalau begitu bisa
hilang juga tanah milik ulayat kita nantinya, Kanda,” sela Maryam.
“Ya, tepat sekali
! Memang itu sasaran akhir dari sifat monopoli kekuasaannya, yang katanya,
mereka sebagai penguasa negeri ini. Sebagai pemerintah, katanya,” jawab si Juru
Tulis lebih meyakinkan Maryam. Maryam pun manggut-manggut seperti orang yang
sedang menganalisa sebuah sebab dan akibat kejadian,
“Darimanakah, Kanda tau tentang itu ?”
“Darimanakah, Kanda tau tentang itu ?”
“Dari tindakan
Ulando hari demi hari saja telah menjelaskan kepada kita.”
Hukum adat
Minangkabau dipandang Belanda sebagai kendala atau
penghalang dalam pengambilalihan tanah oleh pemerintah. Karena tanah yang tidak
bertuan sebetulnya tidak terdapat di Minangkabau ini.
Posisi hak ulayat
atas tanah sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Tanah ulayat merupakan
persoalan hidup dan mati bagi setiap kaum dan tanah ulayat nagari adalah
lambang kebesaran dan aset anak nagari di Minangkabau. Akibatnya, upaya
penyediaan tanah garapan menjadi terkendala bagi Belanda. Terkendala bagi kaum
kapitalis yang berfikiran materialistis.
Berdasarkan hal
tersebutlah, akhirnya memaksa pemerintahan Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria 1875, Nomor
199a yang berisikan
‘domeinverklaring’ itu, berupa pernyataan pemerintah bahwa tanah ulayat nagari
“dicaplok” menjadi milik negara. Di atas tanah-tanah itulah perkebunan liberal
dilangsungkan di Minangkabau.
Munculnya
Undang-Undang Agraria 1875 dengan domeinverklaring-nya, berarti penghapusan
segala bentuk hak ulayat di Minangkabau, sama artinya menghapuskan hukum
kewarisan dalam hukum adat , karena tanah ulayat melambangkan persekutuan hukum
dalam masyarakat.
Kondisi ini
diperparah lagi oleh kebijaksanaan Belanda di Minangkabau dengan banyaknya
penghulu yang diangkat dan diberi ‘besluid’ oleh pemerintah Belanda. Kenapa
tidak, orang-orang yang dikatagorikan sebagai ‘urang nan malakok’ (pendatang
baru), tidak mempunyai hubungan genologis dalam status adatnya di dalam kaum di
nagari itu oleh Belanda dibuka peluang untuk mengangkat penghulunya sendiri.
Sehingga, mereka duduk sama rendah, tegak sama tinggi dengan orang yang
memayunginya secara hukum adat dan sekaligus - yang telah memberinya tumpangan
hidup. Malah statusnya pun di back-up oleh pemerintah (Belanda) asalkan dia
patuh sebagai - ‘pesuruh’ - Belanda, seperti para Angku Suku, Angku Palo, Laras,
Demang dan paling tidak
sebagai Penghulu Nan
Bapisuluik, yang telah dilegalkan oleh pemerintah Ulando dengan berbagai
pengkondisian dan perekayasaannya, kesemuanya mendapat tunjangan dan gaji dari
pemerintah.
Meskipun tidak
semua yang diberi pangkat dan jabatan masih ada orang yang asli, tapi Ulando
tetap mendasarinya kepada “kepatuhan” seseorang. Tujuannya adalah kukuhnya
kekuasaan, pengerukan kekayaan rakyat, menghancurkan pola musyawarah dan
munfakat rakyat, hidup timbang rasa dan kikis sistem hukum adat Minangkabau.
Artinya, “Bareh diserakkan, pinggalan diacungkan” (beras ditebar, pentungan
diacungkan), fasilitas pembangunan dilengkapi, tapi kedaulatan rakyat
dikerdilkan, sehingga masyarakat tidak bisa melawan kesewenang - wenangan
ninik mamak – boneka – Belanda semacam itu. Sebaliknya, meskipun dalam ‘ranji’
ninik mamak di setiap nagari tetap terberai, tetapi karena takut dengan ancaman
pemerintah maka terpaksa didiamkan. Kesemuanya akan dinilai atas kekayaan dan
keberadaan seseorang dan bukan lagi karena luasnya ilmu seseorang dan bukan
pula atas ketawaqalan nya terhadap Tuhan.
Kebijakan ini
bagaikan pedang bermata dua, ‘tidak ujung – pangkal pun mengena’, karena secara
berangsur-angsur akan menipis dan hilangnya nilai-nilai - ‘raso jo pareso’ -
sesama anak nagari nantinya, berkuah darah antara anggota satu kaum kelak pun
bisa terjadi. Peluang konflik telah diciptakan dalam kerangka ‘devide ed
impera’, karena ninik mamak akan berbuat semau-maunya disebabkan di dalam
dirinya sudah tertanam paham sebagai penguasa dan bukan lagi sebagai seorang
pemimpin.
Seseorang diukur
dari sudut materialisme. Penghulu itu adalah pemimpinn, bukan penguasa. Karena
itu sifat seorang penghulu di Minangkabau harus merujuk kepada sifat-sifat Rasulullah, Saw.
Begitulah
upaya-upaya yang dilakukan oleh Belanda untuk menghilangkan status adat
Minangkabau, tahap demi tahap, pelan tapi pasti.
“Maryam, benar
juga apa yang disampaikan oleh guruku dahulu bahwa ‘jerat tidak akan lupa
dengan burung balam, jerat serupa dengan jerami.’ Memang penjajahlah yang pertama
sekali menjerat kita untuk meluluhlantahkan aturan dan kehidupan banagari,”
kata Si Juru Tulis.
Kemudian, pada
tahun 1901, permulaan abad ke-20 pemerintah Belanda membutuhkan anggaran
belanja yang tidak sedikit untuk memperkuat kedudukannya di Minangkabau,
apalagi untuk menutupi biaya yang telah cukup besar dikeluarkan selama
berlangsungnya ‘Perang Minangkabau’. Bayangkan saja, satu-satunya daerah
yang didatangi langsung oleh seorang Gubernur General yang lebih dikenal oleh
masyarakat kita dengan sebutan ‘Tuan GeGe’ ke wilayah jajahannya di
Nusantra ini dalam menumpas pemberontakan rakyat pada masa itu, hanyalah Minangkabau.
Toh, meskipun pada
akhirnya peperangan itu hanya dapat dihentikan Belanda dengan siasat, tipu
muslihat pula, karena Belanda sendiri mengakui bahwa orang-orang kita
tangguh, “deden van ongelooflijken med”, sebuah tindakan berani yang luar biasa
dengan penuh perhitungan (strategi). Dengan jalan berpura-pura ingin melakukan
perundingan, Peto Syarif
Tuangku Imam Bonjol disandera.
Dan untuk kesekian kalinya pula hasil perundingan Pelakat Panjang
itu pun mereka ingkari.
“Ulando itu kan
memerintah di negeri kita ini, Kanda, tentu ada yang mendasari hingga sejauh
itu tindakannya, baik terhadap kehidupan maupun terhadap adat dan agama kita ?”
sela Maryam pula.
Mendengar
pancingan Siti Maryam itu semakin timbul semangat si Juru Tulisdan semakin
terungkap segala pengetahuan dan analisisnya selama ini.
“Maryam, semua
tindak-tanduk, kebijakan Ulando di Minangkabau pada prinsipnya didasari oleh
surat rahasia Tuan GeGe kepada Tuan Resident di Padang,” tegas Juru Tulis.
“Surat rahasia
yang mana, Kanda ?,” Maryam sedikit terkaget.
Maryam, pada tahun
1839, Tuan GeGe yang bernama Van
den Bosch, menulis sebuah surat rahasia kepada Resident di Padang. Dan
salinan surat rahasia itu telah berada di Inyiak
Manan. Kemudian Inyiak
Mananmembahasnya bersama Mak
Garang Datuak Palindih, Tuan Kari Mudo, Mak Datuak Rajo Pangulu, Inyiak Haji
Musa, Inyiak Jabang. Kemudian hasil pembahsan itu kami kembangkan pula
kepada beberapa ninik mamak dan cerdik pandai yang patut serta mungkin
lainnya.”
“Sejak kapan
Inyiak Manan menyimpan surat yang amat penting itu, Kanda ?”
“Itu tidak perlu
kita bahas.”
“Siapa yang
berbaik hati untuk membocorkan rahasia itu, Kanda ?”
“Itu tidak
Penting. Tapi sudah pasti melalui tangan seseorang yang dipercayai Inyiak Manan
sendiri,” Juru Tulis seperti merahasiakannya kepada Maryam
siapa yang berperan sebagai penghubung antara mata air dan saluran air ke
sawah. Sementara itu Maryam sedikit tersentak hatinya, agak curiga.
“Adakah sesuatu
yang Kanda sembunyikan kepadaku ?” lentuh Maryam kepada Juru Tulis.
“Tidak, Maryam.
Untuk apa saya sembunyikan kepadamu. Saya sungguh tidak tau kapan dan siapa
yang telah membawa surat rahasia itu kepada Inyiak Manan.”
“Ada apa, kenapa
kamu memikirkankan dan gigih tentang sumber surat itu, Maryam ?”
“Tidak apa-apa, Kanda. Saya hanya sekedar tau saja.”
“Tidak apa-apa, Kanda. Saya hanya sekedar tau saja.”
“Tapi, Maryam,
yang pasti... salinan surat itu dari Pandeka
Mukmin.”
“Apa ? Pandeka
Mukmin ? Berarti belum lama ini ?,” Maryam terperanjat sambil menempelkan jari
tangan kananya dibibir dalam keheranan.
“Ya ! Pandeka
Mukmin, prajurid Ulando di Gaduang, di Bukittinggi. Memangnya kenapa, Maryam
?,” Si Juru Tulis pun heran dan ingin tau sebaliknya dari Maryam.
“Ya, karena dalam
kurun waktu ini hanyalah saya yang pernah bertemu dengan Pandeka Mukmin.
Disuruh Inyiak Manan, Kanda.”
Juru Tulis
mengerinyitkan dahinya sebagai ekspresi dari berkecamuk pikirannya dalam
kebisuan kata-kata. Jangan-jangan Maryamlah yang telah menjadi tukang pos
antara Pandeka Mukmin dengan Inyiak Manan.
Kalau memang
begitu, kenapa aku tidak tau atau dikasih tau oleh Maryam atau Inyiak Manan
sendiri ?
“Tapi, Kanda. Pandeka Mukmin tidak ada memberikan surat apapun, kecuali hanya sepotong ranting buluh bambu.”
“Tapi, Kanda. Pandeka Mukmin tidak ada memberikan surat apapun, kecuali hanya sepotong ranting buluh bambu.”
“Bagaimana
ceritanya pertemuan kamu dengan Pandeka Mukmin, Maryam ?”
“Beberapa waktu
lalau saya disuruh Inyiak
Manan menemui Pandeka Mukmin ke Gaduang. Dan pandeka mukmin
pura-pura membeli kue talam saya lalu menyelipkan sebuah ranting buluh bambu ke
bawah daun di dalam talam kue saya itu.”
“Jadi kamu yang
membawa benda keramat itu !,” Juru Tulis lebih memastikannya kepada Maryam.
Juru Tulis mulai
menggerutu dalam hatinya ...rupanya memang dialah yang menjadi ‘tali bandar’,
sebagai saluran tersier antara Pandeka Mukmin dan Inyiak Manan. Aku terkecoh !
“Benda Keramat
bagaimana, Kanda ?,” Maryam agak kaget pula.
Si Juru Tulis
tidak menjawabnya malah balik bertanya.
“Apakah kamu tidak
tau isi dari ranting bambu kecil itu, Maryam ?”
“Tidak, Kanda.”
“O, begitu !,”
Juru Tulis merespon dengan dingin, tapi hatinya merasa geli.
“Kenapa begitu,
Kanda. Saya tidak berani mebuka benda itu, Kanda ! Karena saya kira benda itu
adalah penangkal sesuatu atau semacam ajimat anti peluru, dan lagi amanah yang
saya terima hanya menerima sesuatu dari Pandeka Mukmin dan memberikan kepada
Inyiak Manan. Itu dalam penuh kerahasiaan dan tidak boleh jatuh ketangan orang
lain.”
“Tepat sekali,
Maryam, benda itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Tetapi ternyata Ulando
itu dapat juga dikecoh oleh Pandeka
Mukmin.”
“Memangnya, ada
apa dengan benda itu. Apa hubungannya dengan Pandeka Mukmin dan Ulando, Kanda
?”
Untuk mengelabui
Belanda apabila terjadi pemeriksaan dan kertas itu ditemukan maka disiasatilah
oleh si punya ide. Surat itu dilipat kecil dan dimasukkan ke dalam sepotong
ranting buluh bambu sepanjang tiga sentimeter. Ranting bambu itu dililit dengan
benang tujuh rupa dan ditempeli dengan kemenyan pada kedua ujungnya, sehingga
menyerupai sebuah azimjat. Sudah pasti Belanda tidak akan memperdulikan benda
yang berhubungan dengan ‘magic’
“Benar, Maryam.
Benda itu tidak ada hubungannya dengan ilmu kebatinan, tetapi isinya lebih
berbahaya daripada sihir apapun.”
“Kenapa seperti
itu, Kanda.”
“Betul kamu tidak
membukanya, Maryam,” sekali lagi Juru Tulis mencari kepastian dari Siti Maryam,
si buah hati yang lugu itu.
“Benar, Kanda.
Bukankah sudah saya jelaskan tadi. Saya hanya memegang amanah sebagaimana yang
diperintahkan saja Kanda. Apakah kanda tau isi benda itu ?”
“Untuk kamu
ketahui, Maryam ! Bahwa benda yang kamu serahkan Kepada Inyiak Manan tersebut
di dalamnya adalah sebuah surat rahasia yang ditulis prajurit Belanda si
Hendrick itu. Surat itu dia dimasukkan ke dalam ranting bambu itu. Kamu sediri
yang membawanya menyangka pula benda itu adalah sebuah azimat, bukan ?”
“Surat rahasia
apa, Kanda ?”
“Ya ! Itu...,
adalah surat rahasia dari ‘si hidung anggang’ yang berkulit pasi – putih pucat
– itu. Tentu saja surat rahasia dari tuan GeGe Van den Bosch di Jawa kepada
tuan resident di Padang yang saya maksudkan tadi."
“Saya tidak ada
bertemu dengan prajurit Ulando yang bernama Hendrick, Kanda. Sungguh, saya
berani bersumpah, Kanda ! Yang menyerahkan benda itu adalah Pandeka Mudo. Bukan
Hendrick, Kanda !” Maryam sedikit cemas seakan dia telah menjalin hubungan
gelap atau bermuka dua dengan pihak Belanda. Ya, begitulah tabiat seorang yang
lugu.
“Ha, ha, ha...!,
maksudmu Pandeka Mukmin ?”
“Iya, Kanda !”
“Ha, ha, ha...!,
Pandeka Mudo, Pandeka Mukmin atau dipanggil orang juga dengan Pandeka
Ulando...,adalah si Hendrick itu, Maryam! Hendrick
Scouten nama lengkapnya.”
“Jadi..., yang
menyerahkan benda berkemenyan itu adalah Hendrick. Hendrick adalah Pandeka
Mukmin atau Pendeka Mudo, Pandeka Mudo adalah Hendrick, begitu Kanda ?,” Maryam
bingung.
“Bukankah dia
orang Kamang ini, Kanda ?” Tanya Maryam pula.
“Iya, dia sejak
kecil sudah menjadi orang Kamang ini, Maryam.”
“Lalu, kenapa dia
mau menjadi tentara Ulando, Kanda.”
“Akh..., itu
panjang ceritanya, Maryam. Lain waktu akan saya kisahkan kepadamu siapa si
Hendrick itu sesungguhnya. Biarlah menjadi bahan cerita menjelang tidur di
malam pengantin kita nanti, Maryam. Ha..., ha..., ha...!”
“’Ah, Kanda...’
Maryam merungut mesra, menekurkan wajahnya tapi tidak mencubit atau menepuk si
abangnya itu, seperti anak gadis sekarang ‘...ambo bersungguh sungguh, tapi
kanda ‘bergurau’ pula !”
Masih dalam wajah
menunduk Maryam memoles kata dalam hati yang berbunga-bunga itu. Adalah pula
sebuah kehangatan dan kemesraan yang tidak terhingga oleh si Juru Tulis melihat
rungut sang kekasihnya itu.
“Tapi yang pasti, Maryam.... Hendrick itu adalah anak dari Mayor Scouten yang telah pensiun dari tentara Ulando semenjak Hendrik masih berumur delapan tahun,” Juru Tulis menambah sedikit penjelasan untuk menormalisasikan suana mereka.
“Tapi yang pasti, Maryam.... Hendrick itu adalah anak dari Mayor Scouten yang telah pensiun dari tentara Ulando semenjak Hendrik masih berumur delapan tahun,” Juru Tulis menambah sedikit penjelasan untuk menormalisasikan suana mereka.
“Apakah Kanda juga
ikut dalam membahas isi surat rahasia yang disalin Pandeka Mukmin itu ?”
“Tentu saja iya !, kan saya juru tulis Inyiak Manan, saya dilibatkan dalam pertemuan tersebut, Maryam. Dan malah saya disuruh menyalinnya kembali dalam buku catatan penting saya ini.”
“Tentu saja iya !, kan saya juru tulis Inyiak Manan, saya dilibatkan dalam pertemuan tersebut, Maryam. Dan malah saya disuruh menyalinnya kembali dalam buku catatan penting saya ini.”
“Kapan Kanda
memperlihatkan salinan surat rahasia itu kepada saya ?”
“Sekarang pun
bisa, Maryam.” Aku pun membuka buku catatan itu. Akupun berani membukanya
karena telah dapat izin sebelumnya oleh Inyiak Manan.
“Maryam perlu tau
isi surat itu, karena dia adalah salah satu kekuatan kita dalam mengkampanyekan
tentang perang melawan kekuasaan Ulando ini,” kata Inyiak Manan kepadaku
setelah rapat membahas surat rahasia ini, begitu peserta musyawarah membubarkan
diri.
“Sekarang kamu
dengarkan baik-baik, ya ! Biar saya bacakan surat rahasia dari Tuan Ge-Ge yang
bersemayam di Batawi itu kepada Gubernur Militer ‘Sumatera Barat’
di Padang.
‘Batavia, Tanggal
17 April 1839 No. La A5-1839. SRHS.”
“Tunggu dulu,
Kanda. Apa artinya SRHS itu, Kanda?,” sela Maryam.
“SRHS adalah
singkatan dari Sangat Rahasia Sekali. Dengarkan baik-baik, ya.”
“Prinsip campur
tangan dalam urusan rakyat dalam ‘nagari’ harus tunduk pada tujuan akhir kita
di Minangkabau, yakni
mengukuhkan kedudukan kita di sana. Walaupun untuk mencapai tujuan tersebut
lebih baik kita tidak campuri pemerintahan sehari hari dalam nagari, namun baik
sekali jika para penghulu di berbagai daerah makin lama makin mendapat pengaruh
lebih besar dari kita dan dengan demikian mereka bisa bekerja untuk kepentingan
kita selanjutnya. Rakyat harus terbiasa dengan pemerintahan yang teratur dan
disamping itu pemerintahan berpemimpin ‘satu’, dan harus didirikan pula sebuah
‘aristokrasi’ yang terkait pada kita untuk mengganti ‘demokrasi-nya’.”
Sambil menyimpan buku itu kembali, aku memberi tambahan semangat, mendorong semangat Maryam, kenapa harus diadakan perlawanan terhadap Belanda dengan alasan perang anti belasting ini.
Sebetulnya, tanaman kopi adalah sesuatu komoditi yang teramat istimewa di Minangkabau dan membawa suatu drama mengerikan yang tidak kalah hebatnya dengan apa yang dialami di Pulau Jawa.
Lain halnya
sewaktu perbandingan kekuatan Belanda melawan kaum Paderi masih seimbang,
penanaman kopi berupa anjuran saja oleh pemerintah Belanda, dan petani bebas
menjual kepada siapa pun walaupun pemerintah Belanda menjamin harga minimum,
sesuai dengan bunyi pasal dalamPalakat Panjang – Van
den Bosch Tahun 1833.
Dari fakta sejarah
dapat disimak bahwa kekuatan yang menyebabkan Belanda kewalahan menghadapi
perlawanan rakyat atau perang
Minangkabau itu tidak lain
adalah karena pertama, adanya semangat ukhuwah yang sama-sama merasakan
penderitaan dari penindasan yang dilakukan oleh kaum penjajah. Semangat ini
semakin dibakar, didorong oleh kabar gembira yang tertera dalam al-Qur’an,
Kitabnya kaum Muslimin. “’Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: ‘Kamu pasti
akan dikalahkan, di dunia ini dan akan digiring
ke dalam neraka Jahannam. Dan itulah tempat yang seburuk- buruknya’."
“Kedua, Karena kesadaran bersama akan filosofi “Syara’ Mangato, Adat Mamakai” (Syara' mengatakan, adat memakai) apa saja yang ditentukan dan dilaksanakan menurut adat adalah didasarkan kepada hukum hukum yang ada dalam syara’, sebagai pembuktian akan pandangan hidup “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”.
Apatah yang menjadi penguat akat fondasi adat ini ?”, si Juru Tulismemunculkan sebuah pertanyaan. Kemudian dia langsung menambah penjelasannya ,“Terutama adalah akan peringatan Allah Swt dalam al-Qur’an. “’Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang orang yang di luar kalanganmu (kaum kafir), karena mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya’.”
“Ketiga, sistem perang gerilya sangat berperan pula dalam menghadapi serdadu Belanda yang sudah terlatih dengan senjata lengkap dan modern. Keempat, yang tidak kalah penting juga adalah alam Minangkabau sangat menyulitkan untuk ditembus Belanda dalam perang secara frontal. Kelima, perlawanan-perlawanan yang dilakukan rakyat Minangkabau, umumnya digerakkan oleh alim ulama sebagai inspirator dan kekuatan moral, spiritual yang sarat dengan persoalan religius bagi rakyat untuk berjihad, karena persoalan keregeliusan di Minangkabau adalah persoalan hidup dan mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Keenam, Seperti yang diakui Letnan Boelhouwer, salah seorang militer yang mengikuti Kolonel Elout memasuki Bonjol 1833.
“...orang Pederi berbeda mengenai pakain, kelakuan maupun kebiasaannya dengan orang Melayu lainnya. (Red: terutama yang berpihak kepada Belanda). Orang Paderi jijik melihat candu, sementara yang lain asyik mengisap candu; orang Paderi tidak mau mengerjakan judi, sedangkan yang lain sibuk berjudi dan berteriak-teriak. Pongah; orang orang Paderi bertubuh kekar dan berotot jika dibandingkan dengan pasukan-pasukan pembantu kita” (Red: orang Jawa, Bone, Madura dan Melayu lainnya)”. Tulis Boelhouwer lagi. “... Suatu bukti nyata betapa cara hidup dapat mempengaruhi pertumbuhan tubuh manusia. Seorang Paderi seakan-akan seorang raksasa ketimbang orang Melayu yang telah dicelakakan oleh candu...”
Kemudian
Boelhouwer melanjutkan komentarnya bahwa, “... Seseorang tidak usah tinggal
lama di Hindia Belanda untuk mengenal pengisap candu dengan mudah mengenalnya
bahwa matanya tidak bercahaya, putih matanya menjadi kuning dan gerak badannya
yang loyo. Semua dikerjakannya tanpa tenaga, dengan kesal dan tidur adalah
suatu kenikmatannya. Orang Paderi hidup penuh bergairah, kuat dan berotot, satu
kepala lebih tinggi dari orang Melayu....”
“Terang saja tentara bayaran Belanda dari bangsa pribumi (Melayu) ini sangat gampang dibabat tentara Paderi. Sebaliknya tentara Belanda Hitam itu sangat bringas membumihanguskan, memporak porandakan guna mengharapkan harta rampasan sebanyak banyaknya yang dibumbui pula dengan santapan ‘pemerkosaannya’ terhadap perempuan yang tercecer dari tindakan penyelamatan diri,” sela Maryam merespon kutipan si Juru Tulis itu.
“Sedangkan Verkerk
Pistorius dalam tahun 1868 menyampaikan hasil penelitiannya, “We (the Ductch)
are standing on Vulcanic soil, because of the great influence of the Ulama
among the people, hence blocked [by] our willingness that.”
“Guna memperkuat kedudukannya itu, maka pemerintah Belanda berupaya untuk mengepung surau dari berbagai sisi, katakanlah dari sisi ideologis, politis, ekonomi, pendidikan, sistem pemerintahan maupun dalam tata aturan kehidupan sosial sehingga pada suatu waktu kelak eksistensi dan bahkan secara fisik surau kehilangan tempatnya ditengah masyarakat Minangkabausendiri kelak dikemudian hari,” lanjut si Juru Tulis.
“Pada suatu waktu
tertentu Belanda sangat perlu membangun jalan raya dan jembatan guna
memperlancar hubungan lalu lintas dan ekonomi. Membangun pasar-pasar guna
mempermudah urusan perniagaan yang sekaligus dengan tameng untuk mengatasi
keterisolasian dan kemajuan ekonomi penduduk. Tiap-tiap nagari dianjurkan membangun
pasar-pasar dengan tenaga rodi dan pasar itu menjadi milik nagari-nagari yang
mengirim tenaga rodinya,” imbuh si Juru Tulis pula.
Memang demikian kenyataannya belakangan hari. Bahwa, tanah yang dipergunakan sebagai pasar tersebut dibebaskan dari kaum yang mempunyainya dengan iyuran nagari yang bersangkutan dan atau iyuran beberapa nagari yang berekatan dalam satu kelarasan. Dan pasar-pasar semacam itu dinamakan dengan ‘passerfond’. Pasar serikat itu diklasifikasikan pula atas tiga golongan atau tingkatan, yaitu ‘Pasar Serikat A’ bagi daerah luhak seperti Pasar Bukittinggi. ‘Pasar Serikat B’ untuk pasar di kewedanaan. ‘Pasar Serikat C’ pada tingkat kenagarian, sehingga masyarakat mulai dibiasakan dalam kehidupan untuk hidup berorientasi pasar dalam paham ‘materialisme-kapitalisme’ ekonomi.
Kalaulah dengan cara sukarela atau secara gotong royong ala budayaMinangkabau pemerintah Belanda tidaklah akan mendapatkan sumber tenaga manusia yang banyak untuk membangun jalan, jembatan dan pasar-pasar tersebut. Sehingga dikeluarkanlah peraturan semua pekerjaan berat tersebut secara paksa yang lebih dikenal dengan ‘rodi’. Pelaksanaan kerja paksa tersebut ditentukan dengan perhitungan besarnya jumlah pemuda dan orang dewasa yang diwajibkan melaksankan pekerjaan membangun jalan dan pasar sebanyak empat hari dalam satu kwartal atau enam belas hari dalam satu tahun.
Secara tidak
langsung, dengan berdirinya pasar-pasar serikat tersebut terbuka peluang pada
masyarakat untuk terjadinya kegaduhan, bentrokan atau perselisihan antar
nagari-nagrai yang memiliki saham - ‘iyuran’ - dan tenaga ‘rodi’ yang membangun
pasar tersebut atas hasil dan rasa memiliki pasar tersebut. Inilah jarum
‘devide et impera’ pemerintah Belanda untuk meruntuhkan tatanan budaya yang
berhubungan dengan masalah ‘raso jo pareso’ atau ‘salang tenggang’ antar nagari
dalam satu kelarasan adat ‘Koto Piliang’ atau ‘Bodi Caniago’, sebagai
percampuran dari keduanya sistem adat tersebut, dalam konteks ekonomi.
Juru Tulis belum
mengakhiri pembicaraannya kepada Maryam yang masih didampingi oleh Sutan Basikek dan istrinya Siti Anisyah itu. “Pada tahap berikutnya, untuk
mendapatkan sumber dana yang banyak maka dilancarkanlah pemungutan ‘pajak
langsung’ yang lebih dikenal dengan ‘belasting’, sementara sitem jual beli dan
harga pasaran kopi dan hasil bumi lainnya tetap dalam kendali pemerintah
Belanda. Upaya Belanda ini tidak kalah hebatnya mendapat tantangan dari rakyat,
termasuk beberapa Laras yang dibentuk pemerintah Belanda sendiri. Sebetulnya,
sesudah Bonjol jatuh direbut Belanda, maka
semenjak 1847 kopi dijadikan tanaman paksa diMinangkabau, dan harus
dijual pada pemerintah dengan harga yang dipaksakan”.
“’Coba mamak
bayangkan’, kata si Juru Tulis pula kepada Sutan Basikek, ‘harga yang
ditetapkan pemerintah Belanda 7 gulden/pikul, sedangkan harga jual pemerintah
hampir dua kali lebih tinggi. Sepuluh tahun kemudian, harga beli pemerintah
menjadi sepertiga harga jualnya (10,50 gulden : 34 gulden).”
Perbandingan harga
tersebut terus memburuk hingga akhir abad ke-18. Pemerintah memaksakan harga
beli dari rakyat hanya 15 gulden sewaktu harga pasaran telah mencapai 75
gulden. Harga beli yang dipaksakan ini tidak pernah diubah hingga tanaman paksa
kopi dihapuskan pada tahun 1908, yang diganti dengan pembayaran ‘balasting’
oleh rakyat sebagai sumber pemasukan pemerintah Belanda.
Dengan sendirinya
penetapan harga dan monopoli Belanda atas produksi kopi rakyat adalah merupakan
pajak tidak langsung pemerintah Belanda terhadap rakyat.
Sebetulnya, ‘coffeestelsel’ yang dipaksakan Belanda sebelumnya telah menyebabkan penggunaan jenis tanah adat yang berfariasi sifatnya. Awal pemberlakuannya tanah pekarangan yang berada di sekitar pemukiman penduduk dimanfaatkan untuk memproduksi kopi. Kebijakan ini secara tidak sengaja telah menaburkan benih kebencian rakayat Minangkabau terhadap Belanda. Sehingga pada masa ini banyak kendala yang dihadapi pemerintahBelanda, terutama masalah status tanah di Minangkabau yang terdiri dari nagari-nagari yang bersifat otonom dan memiliki banyak pengusaha yang menguasai untuk penggarapannya, serta tidak mengenal adanya tanah-tanah yang tidak bertuan.
Meskipun demikian, rakyat tetap tidak setuju dengan diterapkannya pajak langsung berupa ‘balasting’ dan ‘pekerjaan rodi’. Dalam arti kata ‘cultuurstelsel’ untuk Minangkabau lebih dikenal juga dengan ‘coffeestelsel’ jauh lebih merugikan dari pada balasting, namun bagi Belanda ‘belasting’ adalah iyuran rakyat yang teratur dan terukur setiap tahunnya, sementara pemerintah tidak dibebani pula dengan modal awal. Sedangkan dalam ‘coffeestelsel’ pemerintah harus pula memodali untuk pembelian dari rakyat, menggaji para pegawai untuk menjaga mutu kopi, dan keuntungan tidak tetap karena pengaruh spekulasi pasar, dalam keamanan pengiriman barang semenjak dari produsen hingga kota tujuan turut menjadi beban ekstra bagi pemerintah’.
“Alaaa..., untuk apa pula kamu ceramahi kami tentang tetek bengek kerja si Ulando itu. Mana pula kami mengerti, kami orang buta huruf, kami tidak sekolah di gubernemen. Kalau kamu ada sekolah diguvernemen !,” sela Siti Anisyah. “Kepada Maryam sajalah kamu bercerita,” sambung Anisyah lagi.
“Aha...ha, ha !,” Si Juru Tulis tertawa lepas karena tersandung.
“Tak apalah, kan
bertambah juga pengetahuan kami yang bodoh ini,” sela suami Siti Anisyah pula.
“Etek kamu itu ada-ada saja ulahnya, orang lagi bersemangat dia patahkan pula.
Lanjutkan saja ceritamu itu,” sambung Sutan Basikek lagi.
“Tek, saya
khawatir ! Kalau-kalau setelah ini tidak ada lagi waktu untuk kita mengurai
benang kusut yang menimpa negeri dan orang kita di Minangkabau ini.
Mudah-mudahan kelak diantara kita ini dapat mewariskan cerita ini. Pangkal bala
yang sesungguhnya ini,” Juru Tulis merespon kembali selaan Siti Anisyah tadi.
“Nah, berkali-kali L.C. Westenenck selaku Komendur mendatangi
rakyat Kamang yang sering difasilitasi oleh Laras Magek-Salo Agus Warido
seorang keturunan Jawa, bekas mantri kopi kelas.
Dalam pertemuan
itu L.C. Westenenck tetap membujuk rakyat bahwa sebetulnya dalam
kalkulasi dan spekulasi dagang, dengan ‘coffestelsel’ Belanda mendapat untung
sebanyak 0,50 gulden – 0,16 gulden = 0,34 gulden/kg. Andaikan seorang rakyat
minimal menghasilkan 30 kg kopi dalam satu kali panen, maka dari seorang
penduduk, Ulando akan mendapat keuntungan 30 kg x 0,34 gulden = 10,20
gulden/panen. Sedangkan iyuran balasting yang ditetapkan Belanda hanya 1,20
gulden/tahun. Jangankan terjadi gagal panen pada tahun 1856, harga beli
pemerintah di pedalaman, seperti di sini adalah 7 gulden, sedangkan harga
jualnya di Padang 30 gulden.”
“Ya, untuk apa
lagi kopi ditanam ?, toh semakin mensengsarakan rakyat juga,” sela
Maryam.
“Sebetulnya, tanaman kopi tidak bernilai lagi Maryam. Akan tetapi pembayaran belasting adalah.... Akh, saya tidak bisa menjelaskan apa akibatnya bagi masyarakat kita Maryam.“
“Sebetulnya, tanaman kopi tidak bernilai lagi Maryam. Akan tetapi pembayaran belasting adalah.... Akh, saya tidak bisa menjelaskan apa akibatnya bagi masyarakat kita Maryam.“
“Nah, setelah
1847-1862, timbul rasa benci rakyat terhadap budidaya kopi karena harga bayar
pemerintah yang tidak manusiawi. Seperti pada tahun 1856, harga beli pemerintah
di pedalaman adalah 7 gulden, sedangkan harga jualnya di Padang 30 gulden.”
“Ada sebuah lagi, Maryam ! Bahwa 14 Oktober 1831 Van den Boschmenuangkan kekecewaan dan patah hatinya yang teramat dalam kepada Kolonel Elout sebelum Ulando menyerang Katiagan untuk merebut Bonjoldulu. Juga melalui sebuah surat rahasia, Maryam.”
Maryam kelihatan sangat bersemangat dan pelupuk matanya semakin tegak menunggu kelanjutan cerita si Juru Tulis. Juru Tulis kembali membalik catatannya itu.
“...'Sampai
sekarang saya masih saja menunggu laporan Tuan (maksudnya Elout) mengenai
cara-cara bagaimana dan apa-apa yang harus dikerjakan untuk mendatangkan
keuntungan bagi kita di Minangkabau. Mengadakan peperangan dan menaklukkan
rakyat dan sesudah tujuan ini tercapai, baru memikirkan apa yang harus
diperbuat. Ini tidak cocok dengan kepentingan kita dan bertentangan dengan
cara-cara kita bekerja...,’ Kata Van den Bosch dengan tajam kepada Elout,
Maryam’.”
Kemudian surat itu dilanjutkan dengan pengakuannya bahwa, “...pemerintahan terbaik dan penggunaan yang tepat dari segala yang dapat kita kerjakan, ialah mengetahui kekayaan alam dari suatu daerah dan mengalirkan semua kekayaan itu kepada kita ! Oleh karena itulah saya berulang-ulang menekankan kepada Tuan untuk memusatkan perhatian pada soal ini !’ Demikian antara lain Van den Bosch menulis. Selanjutnya dia menyatakan tidak bersedia lagi mengirim tambahan tentara bantuan, jika Elout tidak dapat menjalankan yang dikehendakinya’.
“Terang saja, Kanda. Sampai sekarang Ulando itu semakin menjadi-jadi dengan berbagai upaya memeras kita untuk memperoleh kekayaan sebesar-besarnya !,” respon Maryam
“Tepat sekali,
Maryam !”
“Kalau begitu,
sudah tepat, Kanda. Kita harus berputih tulang pula menentang upaya upaya
Ulando ini. Kita harus tegakkan kedaulatan kita. Kita harus lindungi ‘urang
awak’ ini, Kanda. Kita tidak perlu lagi berbasa basi, menyegani Ulando itu.
Kita tidak boleh takut melawan kesewenang-wenagan ini, Kanda ! Aku benar-benar
ikhlas untuk berkalang tanah dalam hal ini, Kanda !,” menyerocos dari
mulut yang tipis dan mungil itu.
Tapi, malah si Juru Tulis nyeleneh lagi dengan kalimat guyonnya.
“Kalau kamu
meninggal nanti, nasib saya bagaiman ?”
“Ah..., Kanda.
Seperti itu lagi. I...h !,” Maryam geregetan, merungut sambil memukul mukulkan
kedua kepalan jarinya ke kedua pahanya. Kalulah bukan ‘abangnya ?, mungkin saja
batang leher si Juru Tulis yang humoris itu sudah dicekiknya.
Menurut anggapan rakyat pajak tidak langsung dalam sistem ‘coffeestelsel’ masih dapat diterima, karena sifatnya adalah jual beli dalam sistem perdagangan. Rakyat sebagai penjual dan pemerintah sebagai pembeli, maka sistem dagang seperti ini di dalam ajaran Islam diperbolehkan, meskipun tidak membenarkan mendapatkan keuntungan yang berkesangatan seperti yang diterapkan kaum kapitalis materialistis, seperti Belanda itu. Sedangkan balasting yang merupakan pajak langsung, sepertinya sebuah ‘upeti’ kepada kaum kafir berupa pemberian yang diwajibkan atau sewa tanah dari rakyat yang hidup di buminya sendiri.
Pada sisi lain, dengan dipaksakannya untuk memberlakukan belasting terhadap rakyat Sumatera Barat, maka secara terang terangan Belanda telah mengkhianati isi Plakat Panjang 1833, yang didalamnya termaktub akan ‘hak milik harta berpunya’ menurut hukum adat Minangkabau.
Terbukti sudah apa yang dikatakan Allah Swt dalam Al-Qur’an, bahwa “orang orang kafir itu akan selalu melakukan tipu daya (pengkhianatan)”.
Ketersinggungan atas kearifan lokal inilah yang lebih mengukuhkan kembali semangat perlawanan mengakar semenjak dari leluhurnya antara kaum adat dan kaum agama menantang akan keberadaan kaum kafir di ranahnya sendiri.
Pungutan pajak sama artinya ‘memeras susu dari sapi mandul’. Dan yang lebih berbahaya lagi adalah dengan adanya pemikiran oleh rakyat yang sisa-sisa kaum Paderi bahwa haram hukumnya membayar upeti kepada kaun kafir.
Perlawanan rakyat dalam menentang balasting 1908 tersebut merupakan antiklimaks dari suatu proses pergerakan bawah tanah rakyat Minangkabau untuk mengenyahkan kekuasaan Belanda di daerah ini, sebagai kelanjutan dari perjuangan Paderi yang kekalahannya tidaklah feir dan sportif, melainkan melalui sebuah tipu muslihat Belanda.
Pada sisi lain, dari kejujuran Kolonel de Stuers yang membuat saran dalam sebuah laporannya menuliskan bahwa supaya Gubernemen mendapat penghasilan yang melimpah maka perdagangan candu dan tuak yang telah berlangsung semenjak VOC agar semakin dikembangkan. Opsir-opsir dan pegawai-pegawai Gubernemen Belanda harus berlomba-lomba menjual candu dan tuak (miras), kepada masyarakat, terutama kaum bangsawan Minang untuk membelinya.
“Demikianlah kekotoran sisat Gubernemen Belanda pada waktu itu di Minangkabau,” kata Kolonel itu. “Dan upaya itu bukan saja untuk mendapatkan keuntungan yang besar tetapi adalah juga untuk menghancurkan generasi Minangkabau nantinya,” tulisnya lagi.
Dari ‘advisory’, dari laporan-laporan perangai pihak Belanda inilah menjadi alasan menentang atau memberontaknya rakyat Minangkabau yang pada umumnya dipelopori oleh kaum ulama, baik semasa Perang Paderi maupunPerang Kamang 1908. Perang terhadap penyebaran candu dan miras.
Belasting adalah pemicu belaka. (Bersambung)
______________________________________
Bagian XII.
(LC. Westeneck, Ketelan Putik
Durian/Balasting adalah pemicu belaka)
GERAKAN anti Belanda oleh
rakyat mengkristalisasi dalam bentuk gerakan anti belasting. Fenomena anti
belasting itu pada awalnya diperlihatkan dalam bentuk demonstrasi spontan
masyarakat ‘Oud Agam’ (Agam Tuo) ke kantor kontroleur di
Bukittinggi pada 22 Maret 1908, yang dimotori oleh Haji Saidi
Mangkuto, danDatuak Makhudum.
Haji Saidi Mangkuto adalah seorang pedagang batik asal Pahambatan IV
Koto,Agam Tuo yang merantau di Solok. Pada pertengahan Maret 1908
dia pulang ke IV Koto melalui dusun Layang-layang. Di kampungnya, dia secara
diam-diam seringkali mengadakan rapat dengan para penghulu andiko dan para
ninik mamak lainnya.
Pada pertemuan yang kesekian kalinya akhirnya
didapatkan persesuaian paham untuk ‘menolak’ membayar belasting dan
tidak akan memberi keterangan pada petugas pemerintah (Belanda) supaya
pemerintah tidak mempunyai data-data untuk menentukan besarnya pembayaran
pajak. Hasil kesepakatan ini segera pula disebarkan kenegeri-negeri
terdekat dan menjalar keseluruh pelosokMinangkabau, meskipun beberapa
daerah persoalan ini hanya seperti ‘kiambang diatas air’ saja, hanyut tidak
terendam pun tidak.
Menyikapi hasil kesepakatan yang telah
menyebar seantero Minangkabau itu, maka meraka melakukan
demonstrasi tertib tanpa diiringi perbuatan anarkhis, malah membawa senjata
tidak diizinkan untuk ikut berdemonstrasi.
Tanggal 12 Juni 1908 Rakyat Kamang kembali
berunjuk rasa di depan KantorLuhak Agam di Bukittinggi,
tetap dibawah pimpinan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak
Kondo. L.C. Westenenck yang bertindak sebagai wakil
pemerintah menerima utusan para demonstran di ruang kerja dalam kantornya.
Wakil demonstran menyatakan bahwa rakyat tetap menolak iyuran belasting dalam
bentuk apapun. Dan mendesak agar Belanda menarik kembali pengumumannya tanggal
1 Maret 1908 tentang pemberlakuan pemungutan belasting itu.
Dalam hal ini Belanda menjalankan
kecurangan untuk kesekian kalinya. Rakyat disuruh bubar dan pulang kembali ke
kampungnya masing-masing, sedangkanDatuak Makhudum, Sidi
Gadang dan Datuak Kondo ditahan olehWestenenck untuk
penyelesaian selanjutnya. Ternyata ketiga pemimpin itu dijebloskan ke dalam
penjara.
Demonstrasi terbesar ini adalah merupakan
mata rantai dari demonstrasi sebelumnya, yaitu pada tahun 1895 rakyat Magek dan
Salo menuju rumah Assisten Residen di Bukittinggi.
Mereka datang dengan tenang tanpa banyak
bicara. Mereka sama sekali tidak memperlihatkan rasa permusuhan, namun begitu
mereka tidak mau disuruh pulang, tetap saja duduk dengan diam seakan orang yang
pasrah menerima nasib. Akhirnya terpaksa dipanggil serdadu untuk mengusir
mereka. Tak obahnya seperti mereka datang, sebelum diusir mereka diam-diam
meninggal tempat tanpa bicara, tanpa teriak dan tanpa yel-yel.
Meskipun pada waktu itu masyarakat belum
mengenal akan kata ‘demonstrasi’, tetapi mereka pada waktu itu tidak lebih dari
‘unjuk perasaan’ untuk memperlihatkan ‘sikap’ mereka yang ‘saciok bak ayam,
sadanciang nan bak basi’ (secicit bak ayam, sedenting bak besi) dan
tandanya ‘penghulu nan saundiko. Adatnya laki-laki samalu, adat parampuan nan
sarasan’
Mereka mengajukan tuntutan melalui perwakilan
yang dipercayanya saat itu untuk ‘berorasi’, menyampaikan maksud kedatanagan
mereka. Sebagai dasar tuntutan mereka adalah: Pertama, Agar pemerintah
membebaskan Penghulu Andiko dari IV Koto yang
telah ditawan Belanda.
Penghulu andiko itu ditahan karena menghajar
salah seorang penghulu yang berkhianat, yang telah melaporkan ke Taungku
Laras Koto Gadang bahwa adanya kegiatan rapat yang dilaksanakan oleh
penghulu-penghulu suku IV Koto dalam menentang rencana pemberlakukan belasting
pada 1 Maret 1908 nanti, sehingga rapat itu dibubarkan oleh dubalang Laras Koto
Gadang. Dan karena dihajar bebak belur oleh tiga orang penghulu (yang sedang
ditawan) itu, maka penghulu pengkhianat itu terpakasa dirawat di rumah sakit.
Kedua, menanyakan apa alasannya tiga orang penghulu itu ditawan, kalau hanya
karena alasan mengadakan rapat-rapat kenapa tidak semuanya saja dipenjarakan.
Ketiga, rakyat tidak bersedia membayarpajak (belasting) yang akan
diberlakukan pada 1 Maret 1908 itu nantinya.
Tetapi karena pada hari itu kantor tutup
(hari Minggu), maka Kontroler L.C. Westenenck menanggapi
aspirasi rakyat itu melalui Jaksa Kepala Jusuf Datuak Sati,
yang berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut pada tanggal 26 berikutnya.
Agaknya, inilah perwujudan bentuk ‘demokrasi
Minangkabau’ dalam menyikapi suatu kebijakan yang akan menimpa negerinya
dan yang akan mensengsarakan rakyatnya. Dan demonstarasi tertib semacam ini
adalah produk asli rakyat sejati, agaknya pula adalah yang pertama dilakukan
sebelum mengenal jauh tentang demonstrasi sebagaimana yang berkembang
dikemudian hari.
Kejadian (demonstrasi) di Bukittinggi pada 1895,
22 Maret 1908 dan 12 Juni 1908 merupakan awal dari
kerusuhan-kerusuhan yang akan segera meletus dimana-mana, terutama di Kamang
- Agam Tuo.
Meskipun sebelum tanggal 26 Maret 1908 dan
sesduah 12 Juni 1908, tokoh-tokoh demonstran tersebut ditangkap Belanda dan
dibawa dengan kereta api ke Padang untuk ditangsikan di sana, namun semangat
anti belasting pun tidak dapat dipadamkan pemerintah. Karena dalam pandangan
rakyat, kecurangan demi kecurangan yang telah dilakukan pemerintahan Belanda
itu menempatkan penguasa Belanda sebagai orang orang kafir yang menjadi musuh
besar Islam. Selanjutnya pusat gerakan semakin membumi di Kamang,
sebuah negeri di Utara Bukittinggi yang berada di kaki Bukit Barisan.
Gerakan anti Belanda dengan nota bene anti
belasting itu sangat pesat pertumbuhan dan penyebarannya di Kamang hingga ke
daerah-daerah lain di Minangkabau. Agaknya, karena Kamang sudah mewarisi
tradisi revolusioner semenjak ‘Gerakan Harimau Nan Salapan’ hingga ‘Perang
Minangkabau (Perang Paderi)’.
Meskipun telah berkali-kalai dan bahkan tidak
terhitung lagi L.C. Westenenck mendatangi Kamang guna
mensosialisasasikan pemberlakuan belasting, namun lebih menambah kebencian dan
semakin memperkukuh semangat ‘aksi rakyat’ terhadap Belanda.
Kewalahan pihak Belanda dalam
mensosialisasikan kebijakan barunya ini adalah karena tokoh-tokoh masyarakat,
terutama ahli propaganda di Kamang menjalankan taktik “tikam
jajak”.
Setiap kali kedatangan L.C. Westenenck
menceramahi rakyat, maka sepeninggalnya tokoh-tokoh propaganda langsung -
menghapus jejak - pembesar Belanda di Bukittinggi itu, dengan jalan
membuat fakta terbalik dari yang disampaikan pihak Belanda. Rakyat dihasut
untuk tidak mengiyakan apa yang disampaikan oleh ‘syaithan-syaithan’
penjajah itu dan mengembalikan kemurnian fikiran dan semangat persatuan
menentang pelaksanaan pembayaran belasting.
Dalam pada itu, di Kamang sendiri kesibukan
terlihat dimana-mana. Siang dan malam mereka terus memasang telinga atas setiap
perkembangan yang terjadi. Setiap informasi baru selalu dibahas dan dibicarakan
pada setiap kesempatan yang ada, sebelum tiba pada kesimpulan akhir.
Para pandai besi, seperti di Koto Baru Salo sebagai
penerus kecanggihan apar besi di Salimpauang (Batu Sangkar) pada
zaman Paderi dahulu, telah riuh-rendah bernyanyi dengan dencingan besi yang
sedang ditempanya, menjadikan golok dan pedang yang keampuhannya dapat memutus
besi sekali pun. Dan seluruh dusun seakan dipenuhi bunyi desau klewang (golok)
yang sedang diasah dan menguji ketajaman hasil perbuatan si pandai besi yang
dikerjakan secara tradisional itu.
Sementara kaum ibu saling berbisik dan
memandang bangga ke arah suami dan anak anak mereka yang bermandikan keringat
dalam mempersiapkan diri untuk berperang, dan mencibir ke arah keluarga lain
yang tidak memperlihat rasa simpatiknya atas semangat jihat yang sedang
menggelora itu.
Pada Jumat bulan Maret Abdul Wahid
Kari Mudo mengadakan sebuah ‘lobby’ di rumahnya terhadapLaras
Kamang, Penghulu Kepala Tangah yang masih paman baginya beserta
saudaranya yang lain. Hasilnya mereka semua sepakat untuk tidak membayar pajak.
Keesokan harinya Abdul Wahid Kari Mudobersama Muhammad
Saleh Datuak Rajo Pangulu dan beberapa orang lagi sengaja pula
mengunjungi Laras Kamang itu dan Penghulu Kepala ke kantornya masing-masing
guna menerangkan maksudnya untuk melakukan semacam gerakan menentang pembayaran
pajak.
Sebagai pegawai pemerintah, Laras Kamang itu dan Penghulu Kepala, tidak setuju maksud menentang pajak tersebut, tetapi secara pribadi mereka sangat setuju dan akan membantu gerakan itu secara diam-diam.
Sebagai pegawai pemerintah, Laras Kamang itu dan Penghulu Kepala, tidak setuju maksud menentang pajak tersebut, tetapi secara pribadi mereka sangat setuju dan akan membantu gerakan itu secara diam-diam.
Dalam sebuah skenario mereka ditetapkanlah
bahwa pada tanggal 20 April sebagai hari mengadakan rapat umum di rumah Laras
Kamang untuk memberikan penjelasan kepada rakyat tentang pajak, yang dipimpin
langsung oleh Kontroliur L.C. Westenenck. Nantinya niat pemerintah
ini akan digagalkan oleh Abdul Wahid Kari Mudo dengan para
pengikutnya.
Memang demikian kejadiannya. Setelah rakyat
berkumpul, kepala Kontroliur L.C. Westenenck ,
dipermalukan oleh Abdul Wahid Kari Mudo dengan pidatonya “rakyat
tidak dibolehkan membayar belasting. Barang siapa yang membayar pajak pada
Belanda adalah kafir !” Kemudian diikuti pula oleh Datuak Adua
dari Pauah dan Datuak Makhudum dari Ilalang. Sementara itu
Tuangku Laras dan Penghulu Kepala tidak membuat reaksi apa-apa atas tindakan
Kari Mudo dan kawan-kawannya itu.
Kejadian pada 20 April itu dan apalagi
melihat sikap Laras Garang Datuak Palindih, Penghulu Kepala Datuak Sari
Marajo yang seperti ‘katak diludahi’ itu, apa yang dikatakan dalam
fatwa politik Melayu “Sebanyak akal kucing, sebayak itu pula akal tikus” memang
telah terjadi.
KEGALAUAN dari suasana di
Kampung Kamang makin hari semakin tak menentu. Rakyat tidak konsentrasi lagi
untuk menjalankan mata pencahariannya. Hati rakyat makin berkecamuk antara
cemas, benci, takut dan kecut. Karena tanda-tanda akan terjadinya sesuatu yang
maha dahsyat sudah mulai kelihatan, gonjang-ganjing seputar perang melawan
Belanda semakin memanas dan kegiatan berlatih diri di Ngalau (Goa) Batu Biaro
lebih intensif. Rapat-rapat yang digelar para pemuka masyarakat semakin sering,
baik di Surau Koto Samiak (Kamang Ilia), apalagi di Aua Parumahan (Kamang
Mudiak). Kaum laki-laki yang membenci Belanda pada siang hari menjadi-jadi dan
tidak menampakkan dirinya, sedangkan yang pro pada Belanda juga mengendap-endap
takut akan terlihat oleh mata-mata ‘Barisan fi-Sabilillah’ yang militansi– berani
mati–dan siap ‘berputih tulang’ demi
mempertahankan harga diri dan agama.
Sedangkan di sumur tepian mandi
kaum ibu-ibu sambil mencuci dan mandi tidak luput pula dari gunjing-gunjing
mereka terhadap kegagahan suami dan anak-anaknya dalam berlatih diri guna
menghadapi pasukan Belanda kelak. Namun pada sisi lain, hal-hal yang tidak
terduga oleh umum dan yang tidak luput dari pendengaran si Juru Tulis apa yang
terjadi pula. Kebetulan pula, sewaktu aku kembali dari Padang Panjang akan
melaporkan hasil perjalananku kepada Inyiak Manan, waktu itu mendapat suruhan
menggantikan tugasnya Inyiak Manan sendiri. Aku mampir dahulu di rumah Kak Siti
Aisyah, istri Mak Datuak Rajo Pangulu. Sepulang dari Rumah
Kak Siti Aisyah - menuju Surau Inyiak Manan, aku melewati rumah
Etek Siti Anisyah, istrinya Mak Sikek.
Sesampai di depan ‘kaporo’ (gerbang) rumah Etek Anisyah,
kebetulan bertemu dengan Etek Anisyah sendiri dan
beliau menyuruh saya mampir, tapi saya tetap berbasa-basi.
Etek Anisyah tetap memaksa dan mengingatkan janji saya dengan suaminya Mak
Sikek, bahwa aku akan mampir ke rumahnya sepulang dari Padang
Panjang, maka terpaksa jugalah aku untuk naik, singgah dahulu ke rumahnya,
sesuai dengan janji yang telah terkatakan.
“Assalamu’alaikum !,” sewaktu
memasuki rumah, tetapi yang menjawab salamku masih Siti Anisyah yang
mengiringiku sejak dari halaman rumahnya itu.
“Mana Mak Sikek,
Tek?,” tanyaku kepada Siti Anisyah.
“Tadi siang dia ke Salo,
menjemput rudus yang sudah dipesan itu!,” jawabnya.
“Kalau begitu, nanti sajalah
saya kembali ke sini, Tek !”
“Tunggu sajalah beliau sebentar
disini. Tadi beliau juga berpesan, ‘seandainya kamu datang sebelum beliau
kembali dari Salo maka kamu disuruhnya menunggu dulu di sini. Dan
tidak lama lagi beliau akan datang !, ” kata
Siti Anisyah menyampaikan pesan suaminya itu. Sambil menunggu suaminya
itu, aku duduk– duduk saja. Suasana rumah sangat berbeda dengan rumah Siti
Aisyah. Bunyi telapak kaki Ramaya yang berlari-lari hilir mudik,
sebentar-sebentar dia berlari, sebentar sebentar dia berpeluk dengan ibunya,
Siti Anisyah. Buyung Ramaya lah yang menjadi pusat perhatian dan hiburan bagi
ibu dan ayahnya. Bahkan aku yang sedang bertamu saja saat itu juga turut terhibur melihat
anak yang sedang lincah lincahnya itu. Sesaat terbayang pula bagiku
bagaimana nasib anak ini nantinya, kalau-kalau benar menjadi kenyataan apa yang
telah menjadi kehawatirannya dan telah terlontar dimulutnya sendiri sewaktu
kami latihan gabungan di belakang Surau Taluak beberpa waktu lalu. Kalau memang
ibu dan ayahnya gugur sebagai Srikandi dan Arjuna dalam pertempuran kelak.
Sambil menunggu Mak Sikek pulang dari Salo, saya coba juga menyelami hati dan
fikiran Etek Anisyah.
“Jadi juga Etek
turut berjuang menghadang Ulando itu nanti
?,” tanyaku dengan pelan kepada Siti Anisyah.
“Menurut kamu ambo tidak
sunguh-sungguh. Untuk apo ambo turut bermandi peluh
berlatih, mempersiapkan diri dan menjalankan amanah bersama-sama Siti Aisyah
dan Siti Maryam itu!,” sanggah Etek Anisyah.
“Aku dan Aisyah bertugas sebagai tukang propaganda bagi kaum perempuan dikampung ini dan berupaya
pula untuk terkumpulnya beberapa sumbangan guna membantu perjuangan
ini dari masyarakat kita. Sedangkan Siti Maryam lebih sering mendapat
tugas ke Mangopoh, Pariaman dan Pasaman. Walau bagaimanapun karena kami, Aisyah
dan ambo sudah bersuami, tentu kami tidak sebebas Maryam lagi untuk bepergian,”
jelas Siti Anisyah lagi kepadaku.
“Berarti nanti, kalau waktunya
telah tiba dan peperangan tidak terelakkan lagi, tentunya Ramaya Etek tinggalakan
? Tidak ibakah Etek meninggalkan Ramaya nan sedang lincah - lincah ini dan
sedang membutuhkan kasih sayang ayah dan ibunya ? Kalau-kalau dalam perang kita
itu nanti Etek dan Mak Sikek selamat tidak apa-apalah, tapi kalau Allah, Swt
mentakdirkan lain, bagaimana jadinya Ramaya sepeninggal ibunya,
tidak terfikirkankah oleh Etek tentang itu ?,” tanyaku
pula, mencoba memancingnya.
“Kamu jangan lagi membuncahkan
pikiranku, Juru Tulis !,” bentak Anisyah.
“Kamu ini dubilih, setan atau
jiin, yang mencoba menggoyahkan keimananku untuk melawan Ulando, si kapia
itu!,” bentaknya lagi.
Tersimama (merah muka) juga
mukaku jadinya.
“Nasib manusia, telah
ditentukan oleh Allah, Buyuang. Hutang kita hanya menepati saja. Harta, benda,
anak, istri, suami hanyalah perhiasan dunia. Dan yang sayaharapkan adalah
perhiasan Allah di akhirat nanti. Kamu harus ingat bahwa kunci bathin itu
adalah ‘Illahi anta makshudi, waredhakamatlubi’, kepada Allah semata,” tukasnya
lagi. Kamu jangan lagi membuai-buai perasaan etekmu ini Juru Tulis, meskipun
seorang perempuan. Tapi hatiku telah beku untuk fi...sabilillah demi agamaku
dan negeriku ini,” serapah etek Anisyah semakin menjadi jadi kepadaku.
Surut juga nyaliku ‘dilantiak
ayam batino (ayam betina)’ itu. Ya..., terpaksalah aku mengurut
dada saja. Terperangah juga saya jadinya. Dalam keadaan terengah setelah
dibentak Etek Anisyah terdengarlah suara di batu tapak-an.
“Assalamu’alaikum !”
Mendengar suara itu sudah
dapat dipastikan bahwa yang datang itu adalah MakSikek, suaminya Etek Siti
Anisyah.
“Wa’alaikum Salam
!,” jawab kami dari atas rumah.
“Sudah kembali kamu
dari Padang Panjang ?,” tanya Mak Sikek langsung padaku sambil
mengulurkan tangannya padaku untuk berjabat tangan.
“Sudah, Mak !,” jawabku.
“Terbawakah yang Mamak
jemput ke Salo itu ?,” tanyaku pula.
Kemudian aku menjamba
(mengambil) kain sarungku yang sengaja tadi saya letakkan diatas bandur jendela
rumah itu. Kebiasaan menyangkutkan kain sarungkita di kusen jendela rumah
tempat kita bertamu seperti itu, meskipun rumahsaudara sendiri adalah suatau
tanda kepada orang lewat di depan rumah bahwa kita sebagai tamu yang baik.
“Alhamdulillah, ada !, kelewang
itu sudah saya surukkan di dalam kandang sebentar ini
!,” jawab Mak Sikek.
“Kalau begitu, berarti tadi itu
terdengar pula oleh Mamak saya dihardik dan marahi Etek
Anisyah sebentar ini, Mak ?,” tanyaku lagi sambil
tertawa geli kepada Mak Sikek. Akalku menjalar untuk mengembalikan nyaliku
akibat tamparan kalimat istrinya yang seakan-akan saya mengadunya untuk
berantam.
“Kenapa kamu dihardik oleh
etekmu ?”
“Tadi saya menanyakan prihal,
Ramaya ! Bagaimana dengan Ramaya nanti kalau etek turut pula berjuang
bersama kita !,” jelasku kepada Mak Sikek.
“Jelas dia marah kepadamu,
kalau itu yang kamu tanyakan. Karena pertanyaanmu itu akan mengacaukan
fikirannya, sedangkan hati dan fikirannya sudah kuat untuk meninggalkan dunia
ini, demi memperjuangkan yang hak di jalan Allah, Swt,” kata Mak Sikek pula
padaku. Rupanya aku tidak mendapat pembelaan dari Mak Sikek. Akhirnya suasana
itu kami lerai saja dengan tawa canda ria.
“Kalau begitu, Mak ! Saya tidak
akan menguji mentalnya Etek lagi, nanti bisa melayang pula induk jari kakinya
ke pangkal ketiakku. Dibelah pula katiak ambo nanti. Ha... ha... ha...!,”
selorohku untuk menghilangkan ketegangan suasana itu.
Akhirnya saya, Mak Sikek dan
juga Etek Anisyah sama-sama ketawa jadinya.
“Anisyah!’ Seru Mak Sikek pada
istrinya ‘inilah perangai anak yang satu ini, pemudamu yang kamu bangga-
banggakan itu’, sambil dia
menunjuk kepadaku ‘dia pintar memancing amarah kita dan pintar pula membuat
kita terpingkal-pingkal.
Wajar saja tidak ada orang yang
dendam padanya !,” kata Mak Sikek kepada istrinya itu.
“Betul, begitu perangainya,
Tuan. Kadang kadang ulahnya menyengkelkan kita, karena dia pintar mencongkel
rahasia kita, tapi kita tidak bisa benci sama dia, kita tetap sayang saja
padanya. Wajar saja si Maryam terpedaya kepadanya !”
“Hop...!, jangan! Jangan pula
Etek bongkar rahasiaku kepada Mak Sikek. Nanti bertambah lawan perang saya
disore ini. Ha... ha... ha...!,” pintasku memotong komentar Etek Anisyah itu. Dalam
suasana senda gurau itu Mak Sikek bertanya kembali kepadaku.
“Sudahkah kau laporkan hasil
perjalananmu ke Padang Panjang dan sekitarnya tadi itu kepada Inyiak Manan
atau kepada yang lain ?”
“Belum, Mak!, tapi tadi saya sudah singgah ke rumah Mak Datuak Rajo Pangulu, ternyata
beliau tidak ada. Saya hanya ketemu dengan Kak Siti Aisyah. Lama juga
saya di rumahnya itu karena ingin menunggu Mak Datuak. Dan kebetulan pula Kak Aisyah
bercerita tentang suatu hal yang sangat rahasia tetapi ceritanya itu membuat jantungku gedebak-gedebur dan napasku agak sesak juga
mendengarnya.”
“Tentang masalah apa itu?!
,” Mak Sikek dan Etek Anisyah minta penjelasan lebih lanjut.
“Apakah Mamak dan
Etek siap mendengarkannya?,” tanyaku pula.
“Memangnya ada kejadian apa
dengan Aisyah?!,” desak mereka dengan cemas.
“Yaitu tentang kisahnya semalam
penuh yang dia nikmati sepuas-puasnya dengan Mak Datuak, suaminya,” jawabku.
“Akh!, kamu ini ada-ada saja.
Mana ada orang yang mau membuka aibnya sendiri!,” kata Mak Sikek
“kalau mamak tidak
percaya, ya sudah,” jawabku ketus
“Kalau begitu, pandai betul
kamu memancing hasrat orang untuk terbawa arus olehmu,” pancing Tek
Anisyah pula.
“Tapi, kenapa Aisyah sendiri
mau menceritakannya kepadamu, ya?,” tanyanya pula.
“Barangkali karena dia sangat
merasa dekat dengan saya, Mak ! Saya sendiri juga sering mengeluhkan tentang
nasibku sendiri padanya, Mak. Sama halnya bagaimana saya dengan
Etek Anisyah ini!,” jawabku
“Atau... Aisyah ini sedang meninggal-ninggalkan
perangai,” gerutu Mak sikek lagi sambil membuka peci hitam dan menggaruk-garuk
kepalanya.
“Maksudnya, dia sedang
mendekati ajalnya, begitu maksud Mamak?!,” desakku
“Bisa jadi begitu!, karena
biasanya orang orang yang sedang dalam hitungan empat puluh hari atau
tujuh hari sebelum dia meninggal dunia sering dia bertingkah yang tidak biasa
dia lakukan sebelumnya atau bercerita tentang hal hal diluar
dugaan,aneh-aneh!,” jelas Mak Sikek
“Berarti Kak Aisyah akan gugur
nantinya dalam pertempuran pada saat mengahadapi Ulando itu ? Tapi, Mamak
jangan berprasangka seperti itulah, Mak ! Saya tidak mau kehilangan Kak
Aisyah dan bahkan pejuang lainnya, termasuk Etek saya ini, Etek Anisyah,
Mak !” kataku dalam kecemasan.
“Iya !, kita memang tidak
berprasangka dan bahkan saya pun berharap sama seperti harapanmu itu, tidak mau
semua itu terjadi ! Tapi, ya…!, begitulah pada galibnya !,” jawab Mak
Sikek lagi. “Hei !, kalau mengenai apa yang dia lakukan dengan suaminya
itu untuk apa kamu ceritakan kepada kami. Toh kami pun punya kisah pula !, tapi
nasibmu sendiri bagaimana dengan Maryam ?,” tukas Etek
Anisyah memotong pembicaraan kami dan sekaligus meledekku.
“Mati kau !, kena
batunya lagi kan ?,” timpal Mak Sikek lagi kepadaku.
“Tapi, kadang-kadang kamu lucu
juga, pandai membangkitkan suasana. Dengan caramu seperti itu kejumutan fikiran
hilang juga jadinya. Ya, begitulah perangaimu itu !,” kata Mak Sikek
pula padaku sambil tersipu-sipu.
“Sekarang begini sajalah, kamu
simpanlah segala kisah dan segala peristiwa yang kamu dengar dan yang kamu
saksikan dalam ‘keranda mutiaramu’, dan pada suatu saat nanti kamu tulislah
pada kitabmu sepatah kalam-mu dan sekering dawatmu menuliskannya !,” kata
Etek Anisyah pula.
“Dan sekarang kita makan bersama
dulu, dan saya akan kedapur untuk mempersiapkannya dan kamu belum boleh
pergi, ya! ,” seru Etek Anisyah padaku.
Sambil mengendong
Ramaya Etek Anisyah beranjak ke dapur, sementara kami dengan
Mak Sikek tetap melanjutkan obrolan kami. Tanpa aku duga, dengan suara pelan
dan sambil menghampiriku Mak Sikek pun betanya.
“Apakah selama ini pimpinan
kita sudah menurunkan ilmunya kepadamu ?”
“Beberapa yang penting sudah,
Mak,” jawabku dengan serius.
“Ilmu apa saja yang
telah kamu dapatkan,” desak Mak Sikek lagi.
“Diantaranya ilmu silat, ilmu
meringankan tubuh, ilmu tahan peluru, ilmu petunduk, dan sedikit ilmu
pemanis, Mak!,” jawabku dengan polos.
“Apakah itu
saja !,” desaknya lagi.
“Iya ! Memangnya kenapa, Mak
?” kataku pula kepada Mak Sikek.
“Kalau ilmu-ilmu semacam itu
sudah umum bagi anak muda, apalagi dalam suasana seperti sekarang ini.
Kepada siapa saja sudah disebarkan oleh orang-orang pintar, termasuk dari
Inyiak Manan sendiri. Bukan kepadamu saja diturunkan ilmu itu, bahkan kepada
etekmu ini, kepada Aisyah atau pun kepada Maryam sekalipun !, tapi ada yang
lebih khusus lagi, yang harus kamu miliki !,” kata Mak Sikek pula.
“Tapi, Mak !, rasa-rasanya
tidak ada artinya bagi hidup ini semua ilmu-ilmu itu. Sebab saya sangat yakin,
walau bagaimana pun hebatnya ilmu itu kalau Allah, Swt berkehendak lain, toh
manusia juga tidak dapat berbuat apa apa ! Suratan kita sudah jelas sebagaimana
yang telah dijanjikan Allah, Swt. Sewaktu roh menimpa jasad semasa
masih di dalam rahim ibunya. Saya hanya menyerah
saja kepada Allah tentang apa yang akan dia timpakan kepada kita. Maka
kita harus dengan ikhlas menerimanya, Mak !,” jelasku kepada Mak Sikek
dengan sejujurnya, karena akhirnya aku pun tidak bergantung dan
bahkan tidak mempurganakan ilmu-ilmutersebut dalam hidupku, tidak lain hanya
sekedar untuk mengetahuinya saja.
“Kata-katamu itu memang benar,
sayapun tidak akan membantahnya !, tapi yang satu itu sangat lain dan sangat
perlu, apalagi kamu pada suatu saat nanti juga akan berkeluarga !,” kata
Mak Sikek lagi.
Karena saya malas untuk
bersitegang urat leher dengan Mak Sikek, maka saya coba juga untuk memperturutkan
desakannya itu.
“Ilmu apa itu
kira-kira, Mak ?,” tanyaku pula.
Dengan penuh semangat dan
dengan matanya yang sedikit terbulalak menerangkan kepadaku tentang
khasiat ilmu yang satu itu.
“Ilmu itu gunanya untuk menjaga
istri kita, supaya orang yang berniat curang dan jahat di belakang kita tidak
berani mencoba menidurinya, kalaupun dia paksakan juga akhirnya ‘kemaluan’-nya itu tidak akan berfungsi lagi
selama-lamanya. Tidak akan bisa dipergunakannya lagi sampai dia mati, kecuali
hanya untuk terkencing saja ! Cobalah kamu ambil selembar rambutmu itu lalu
kamu bakar, kira-kira seperti itulah bentuk ‘kemaluan’-nya itu nantinya,
setelah dia meniduri istri kita itu !,” terang Mak Sikek
padaku.
Mendengar penjelasan Mak
Sikek itu, akhirnya saya bersemangat pula jadinya. “Sudah ada buktinya,
Mak ?,” tanyaku pula
“Kalau buktinya yang kamu
tanyakan, bagaimana caranya membuktikan, kalaupun sudah ada yang teraniaya
seperti itu siapa pula yang mau mengakuinya. Kan ‘mancabiak baju di dado’ juga
jadinya,” jelas Mak Sikek pula.
“Panjangkah bacaan do’anya, Mak
?, dan kepada siapa saya dapat menuntut ilmu itu ?,” desakku dengan
antusias pula kepada Mak Sikek.
“Itu kan ?!, makanya jangan terburu-buru dulu untuk mengatakan tidak. Kan sudah ada pepatah yang
mengatakan ‘jika manis jangan terburu-buru menelannya, dan jika pahit jangan
terburu-buru pula memuntahkannya’. Ilmu batin itu bukankah juga merupakan do’a-do’a kita kepada Tuhan ! Nah, ternyata sekarang
kamu bersemangat pula untuk memilikinya bukan ? He, he, he…!,” ledek
Mak Sikek lagi kepadaku sambil terkekeh-kekeh.
Agak malu juga aku jadinya
karena kecongkakanku sebelumnya, sehingga akupun diledek oleh Mak Sikek. Tapi
aku memang merasa perlu akan ilmu itu.
“Begini!, ada suatu jalan yang
aku tunjukkan padamu. Seandainya pemimpin kita tidak berkesempatan lagi
mengasihkan ilmu itu kepadamu, karena tidak ada lagi waktu yang senggang, maka
janganlah gusar, karena ilmu itu pun telah sampai kepada Etek Siti di Mangopoh.
Pada suatu kali nanti cobahlah kamu telusuri kesana. Kamu tuntut lah ilmu
itu kembali kepada Etek Siti Mangopoh itu !”.
Dalam merenung, menyimak
penjelasan Mak Sikek itu, terbayang olehku ‘barangkali inilah sebabnya kenapa
pemimpin perlawanan ini dan para kaum laki-laki tidak menyangsikan untuk
meninggalkan para istri mereka kelak. Bahkan untuk beberapa orang suami
rela pula melepas istri-istrinya untuk berjuang mempertaruhkan nyawanya. Mereka
percaya bahwa anaknya tidak akan berbapak tiri dan para ibu-ibu atau pun para
gadis tidak khawatir pula mahkotanya akan dirampas oleh cecunguk-cecunguk
Ulando itu nantinya. Agaknya pula, Maryam sang kekasihku juga telah
menimba ilmu ini dari pemimpin perlawanan ini atau dari Etek Siti Mangopoh
sendiri, karena dia sering menemuinya dalam mengkonsolidasikan perjuangn ini.
Tapi, kenapa Maryam tidak pernah berterus terang padaku tentang satu hal ini,
ya ?! Bisik hatiku lagi. Akhirnya aku dikagetkan dari lamunan itu dengan suara
Mak Sikek lagi.
“Persoalan yang satu inilah
sebetulnya yang ingin aku bicarakan denganmu !,makanya saya suruh kamu untuk
mampir hari ini dan malah saya pesankan pula kepada etekmu ini tadi pagi,
sebelum aku berangkat ke Salo itu,” kata Mak Sikek.Dalam pada itu istri Mak Sikek pun
telah menghidangkan nasi yang asapnya sedang mengebul-ngebul. Maka kamipun
segera menikmatinya, namun tidak sepatah katapun diantara kami ada yang keluar,
keculai Etek Anisyah dan Mak Sikek sesekali mencuri pandang, seakan-akan mereka
berbicara dalam bahasa isyarat. Entah apa arti dan maksudnya sampai sekarang
pun saya tidak bisa menebaknya. Makan di rumah Etek Siti Anisyah sore itu
terasa nikmat sekali, karena sebelumnya kami terlibat dalam pembicaraan yang
penuh arti, meskipun kadang kala dalam suasana berseloroh. Atau mungkin juga
lantaran udara terasa dingin karena hujan di sore itu telah turun pula. Dan
yang pasti saat itulah aku makan terakhir kalinya di rumah Etek Anisyah
sekeluarga.
Sebagaimana kisah yang aku bayangkan di hadapan Mak Sikek dan Etek Anisyah
sebelumnya, maka sewaktu aku bertamu ke rumah istri Mak Datuak Rajo Pangulu, di itulah aku mendapatkan sebuah panorama
kehidupan dalam keluarga yang harmonis, romantis namun tetap dalam adab
ke-Minangkabau-an. Namun, 'lain lubuk lain ikannya, lain padang lain
belalangnya', begitu kata pepatah menggambarkan tentang khasanah kosmologi itu
kepada kita dari para filusuf, leluhur Minangkabau dahulu kala. Kata-kata bijak itupun sangat
luas cakupannya termasuk kepada tingkah, perangai maupun kisah dan kenangan
yang dialami setiap orang yang tidak sama satu dengan yang lainnya.
Pada suatu pagi, aku diajak seorang sahabat untuk minum pagi dirumahnya selesai kami shalat berjamaah di surau. Tak hayal lagi karena hidup masih membujang maka aku pun mengamini ajakan sahabat tersebut. Tapi melihat suasana keluarga yang masih belum mempunyai momongan sibuah hati itu, dia senasib dengan Mak Datuak Rajo Pangulu dan Kak Siti Aisyah. Meskipun berbeda kondisi, pengalaman hidup dan kisahnya masing-masing. Bagiku tidak lain adalah semacam kekayaan khasanah saja. Entah apa sebab musababnya dan firasat apa yang berembus di hati sahabatku itudia mulai berkisah sambil menikmati kopi pagi dan ketan merah dengan kalio rendang hangat, yang masih dipanaskan dengan bara api sabut kelapa. Wanginya disapu-sapu semelir angin dipagi hari melayang-layang entah kemana-manamembuat kelenjer air ludah memercikkan air bening di pinggir lidah, menerbitkan selera untuk menyantapnya.Katanya, sepulang melihat padi di sawahnya sehabis zohor kemarin dia bertanya pada istrinya, paling tidak sekedar melepaskan unek-unek yang menyelimuti fikirannya tentang alasan sesungguhnya terhadap kemauan yang keras dari istrinya yang mengikhlaskannya akan turut berjuang menentang belasting yang sedang diperjuangkannya itu. Meskipun istrinya sendiri wallahu a’lam akan turut berperang nantinya, namun sekedar membantu Maryam dalam propaganda guna membangkitkan semangat juang bersama pada masyarakat telah menjadi ‘cermin’ bagi masyarakat.
“Ambo mau bertanya pada awak
tentang satu hal,” katanya kepada istrinya.
“Apa yang ingin Tuan tanyakan
pada ambo?,” jawab istrinya.
“Kenapa awak mengikhlaskan ambo
untuk turut berjuang menentang Ulando bersama peju ang anti belasting lainnya
itu, apa alasan awak yang sesungguhnya?,” tanya sahabatku itu lagi kepada
istrinya.
“O, itu yang mau Tuan tanyakan
pada ambo?,” istrinya balik bertanya.
“Hal ini adalah sebuah
pertanyaan penting bagi ambo sebagai salah seorang anggota pasukan Inyiak
Manan, dan pertanyaan ini harus awak jawab dengansunguh-sunguh!”
“Begini, Tuan! Ambo lihat
pemimpin kita yang bertiga itu, yaitu Inyiak Manan, Mak Datuak Rajo Pangulu dan
Tuan Kari Mudo itu adalah gambaran pemimpin di Minangkabau. Mereka benar-benar
Tali Tigo sapilin. Inyiak Haji Abdul Manan, Tuan Kari Mudo dan Mak Datuak Rajo
Pangulu tidak seorang pun yang dapat dikatakan mana yang pemimpin utama
dari mereka, sebab beliau bertiga itu berfungsi pada posisinya masing- masing
dalam satu tekad dan satu tujuan yang sama. Seperti yang awak pahami, Inyiak
Manan adalah seorang Ulama, Mak Datuak Rajo Pangulu sebagai Ninik Mamak.
Sedangkan Tuan Kari Mudo adalah seorang cerdik pandai, karena dia seorang
berilmu, berfaham tapi tidak seorang penghulu dan juga tidak
sebagai seorang ulama. Sementara pemimpin yang diinginkan oleh penjajah
itu adalah pemimpin tunggal, yaitu pimpinan yang berada pada satu tangan saja.
Dia mengatur segala-galanya. Jika bertampuk dia seorang yang memegang, jika
bertangkai dia seorang menggenggamnya. Itulah dia seperti Angku Palo, Angku
Lareh hasil perbuatan Ulando itu. Bukankah begitu, Tuan?” tanya istrinya kepada
sahabatku itu, mempertegas penyampaiannya.
“Ya! Tepat sekali!, lalu dari
mana kamu mendapatkan kalimat-kalimat seperti itu?”
Sahabatku itu tercengang
mendengar penjelasan istrinya itu, meskipun hakikat pertanyaan yang dituntutnya
belum terjawab oleh istrinya itu.
“Dari Maryam, Tuan. Ambo
kan sering berjalan dengannya di kampung ini. Maka sepanjang perjalanan
itu
sering kami bertukar pikiran
tentang banyak hal,” jelas istrinya.
“Nah, suatu hal lagi. Kak Siti
Aisyah dan suaminya Mak Datuak Rajo Pangulu akan langsung turut berperang, Siti
Maryam juga demikian dan Etek Siti Anisyah sudah mengikhlaskan pula dirinya
bersama suaminya untuk meninggalkan anaknya Ramaya yang masih
kecil kalau dia gagal dalam peperangan itu nanti. Dan kalau ambo
mempunyai kemampuan dan kepintaran berperang seperti mereka itu tentunya ambo
akan turut pula ke medan lagi itu. Makanya ambo hanya mengikhlaskan Tuan untuk
turut dalam perjuangan suci itu,” tambah istrinya lagi menjawab tuntutan
suaminya itu. “Meskipun nanti Tuan- junjungan jiwa dan badan ambo– gugur
dalam pertempuran itu tentu ambo akan hidup sendirian, sebab tidak ada lagi
orang sebagai sandaran jiwa dan badan, tidak ada lagi orang sebagai curahan
kasih dan sayang. Maka tidak obahnya ibarat pantun orang juga
Tuan,” sambung istrinya:
‘Nan karimbo rasak nan banyak
Nan tumbuah di kaki
Singgalang.
Nan kalawan galak nan ka
kabanyak
Nan kok rusuah ka ambo surang’.”
(Kerimba rasak [kayu] yang
banyak yang tumbuh di kaki [gunung] Singgalang.Untuk ketawa kawan yang
banyakyang rusuh [risau] aku seorang)
“Kenapa awak tidak punya alasan
lain dan berbicara tentang masalah yang lain, seperti kalau
perlawanan ini kita menangkan maka si kafir itu tidak akan jadi menjajah kita.
Seluruh rakyat akan betul-betul menikmati kemerdekaannya, mereka akan
menikmati hasil buminya sendiri secara bulat dan utuh,” sanggah
sahabatku itu lagi kepada
istrinya, menirukan kembali ucapannya kepadaku.
“Tentu saja, Tuan-ku...!”
“Kan dalam perang itu kita
dihadapkan pada dua pilihan saja. Hidup atau mati!”
“Maka, lebih baik kita
bicarakan dulu sesuatu kepahitan yang akan kita tempuh nantinya.”
“Seandainya, Allah Swt
mentakdirkan, dalam pertempuran itulah ajal kita sampai, Malaikat Izrail
mencabut nyawa kita yang tersebabkan oleh peluru mesiunya pasukan Ulando itu,
maka tamatlah semua perjalanan hidup kita. Di akhiratlah tempat kita bertemu
kembali!. Iya, kan Tuan?!,” kata istrinya, yang ditirukan
sahabatku itu sambil menghirup
kopi pada cawan porsolen buatan cina yang bermotif kembang sepatu itu.
Menirukan jawaban istrinya itu, tersedak kerongkongannya sewaktu menelan kopi
pahit itu dan buru-buru menyanggah pernyataan istrinya.
“Nah, kenapa kamu tersedak,”
kataku kaget padanya.
“Ya, karena dia bicara soal
kematian, kawanku, Juru Tulis,” katanya padaku
“Memangnya kenapa, kematian
adalah ketentuan, mutlak hukumnya bagi setiap yang bernyawa, bukankah
begitu?,”jawabku pula
“Ya, memang!,” jawabnya pintas
“Nah, apa lagi dalam sebuah
peperangan. Sudah jelas tantangannya ‘hidup atau mati’, seperti yang dikatakan
istrimu itu” Kataku padanya
“Terus, bagaimana lagi
kelanjutan cekrama kalian, kemarin itu?” Pancingku lagi
“Ya, apa yang akan kita risaukan
Tuan, kalau memang kita ditakdirkan meninggal dalam pertempuran itu ‘si buyung
tak ada yang akan menangis, si upik pun tak ada yang
akan meratapi kita’!” Kata istriku lagi.
Sekilas aku menangkap terjadi
perubahan sinar wajah dan sedikit matanya berlinag menyertai geleng-geleng
kepalanya sambil meletakkan kembali cawan kopi ketatakannya seakan dia
mengeluhkan tingkah istrinya itu.
“’Kemudian istriku itu masuk
kedalam kamar, meninggalkanku sendirian di tengah rumah yang sedang menikmati
rokok yang asapnya mengepul-ngepul,” ulasnya padaku
“Maklumlah sajalah kamu,
sepasang suami-istri itu belum diamanahkan oleh Allah,Swt. seorang keturunan
pun, dan kamu juga tau bukan bahwa istriku ini adalah perempuan semata wayang
pula oleh keluarganya, meskipun dia punya kakak dan adik tetapi laki-laki
semua. Sehingga rumah kami ini terasa sunyi dari suara anakanak,” sambungnya
lagi
“Tau-ataunya,” katanya lagi
kepadaku dengan mendongakkan sedikit
kepala dengan wajahnya berseri, “ istriku keluar dari
kamarnya dan bertanya padaku.”
“Taukah kamu apa yang terjadi
selanjutnya?” Tanya dia pula padaku.
“Ya, apa?” akau balik bertanya
padanya
“Tau-taunya,
istriku keluar dari kamarnya dengan membawa tiga potong baju yang sudah
lama tersimpan di lemari ke hadapanku yang diringi pertanyaanya...’Tuan, manakah
yang bagus kebaya ini untuk ambo pakai sekarang?’,” tanya dia kepadaku sambil
memperlihatkan tiga helai kebaya panjang yang masih dalam keadaan terlipat.
Tentu saja saya terperanjat, “Juru Tulis!,” katanya padaku. Akupun tak berkedip
mendengarkan ucapannya yang diiringi semangatnya yang mulai berapi-api.
“Baju apa maksudmu, kawan?,”
tanyaku dengan penuh antusias
“Satu lembar kebaya itu adalah
kebaya kurung yang sedikit saja tekukan gunting dibahagian lehernya, seperti
huruf. V (ve), sedangkan dua lembar lagi adalah kebaya panjang yang berbelah
lepas di tengahnya,” jelasnya.
Biasanya kebaya panjang yang
berbelah lepas di tengahnya itu mempergunakan peniti yang berderet ke bawah
untuk mengenakannya di badan. Dan biasanya pula kebaya tersebut dipergunakan
untuk menghadiri jamuan atau perhelatan sering penitinya berupa rupiah emas
Amerika. Rupiah emas merupakan jenis mata uang Amerika yang terbuat dari emas
24 karat beratnya berkisar 7,5 gram. Rupiah emas ini ada berupa rupiah emas
polos, adapula yang dijadikan mainan lontin dan sering juga dikasih peniti emas
di tengah-tengah untuk disematkan di baju kurung perempuan Minang. Kaum
perempuang Minang menjadikan rupiah emas Amerika ini sebagai simbol atas
keberadaannya. Dan sering pula dijadikan sejenis tabungan karena harganya
selalu naik biladibandingkan nilai uang.
“Memangnya awak mau kemana?,
siapa yang berhelat?,” tanyaku penuh heran saat itu.
“Tidak kemana-mana Tuan!, tidak
ada pula orang yang berhelat sekarang ini! Cuma ambo ingin sekali memakai
salah satu diantara kebaya yang saya sukai ini. Setelah mandi sore nanti ambo
akan berdiam diri saja di rumah bersama Tuan, ambo akan memakai salah satu dari
kebaya kebaya ini, hasil pilihan Tuan. Tuan tidak kemana-mana
bukan?!,” tukasnya lagi
“Ya, ambo memang tidak ke
mana-mana, ambo saat ini ingin beristirahat dulu dirumah! Kalau begitu kenapa
awak akan memakai kebaya, sedangkan kita di rumah saja?,” tanyaku
lagi menyambung jawabannya itu.
“Entah kapan lagi rasanya ambo
akan memakai kebaya pembelian Tuan ini,” jawabnya
“Sebetulnya bukan Aisyah saja
yang berprilaku sedemikian, baik laki-laki maupun perempuan pada pekan-pekan
ini, berusaha menggembirakan hatinya masing-masing dengan mengenakan pakaian
bagus-bagus setiap harinya. Karena mereka sudah siap berhadapan dengan ‘maut’.
Dan kalau memang kematian menjadi kenyataan, kapan lagi akan mengenakan pakaian
yang bagus-bagus itu. Itulah anggapan rmereka yang sudah siap untuk berperang
belawan Ulando nantinya,”komentarku pula, mencoba menghibur sahabatku itu.
”Tapi bukan sebegitu saja, Juru
Tulis, dia, istriku itu melontarkan kata-kata pula
’Tuan, semakin hari perasaan
ini semakin tidak enak. Rasa-rasanya akan ada sesuatu yang akan terjadi pada
kita, Tuan! Maka, izinkanlah ambo memakai kebaya ini pada malam ini, dan
tolonglah Tuan pilihkan yang mana akan ambo kenakan nanti. Ada-ada saja
perangai istruku itu,” Sambil geleng-geleng kepala dia mengkisahkan tingkah
istrinya
”Lalau kamu pilihkan?,” aku
semakin ingin tau akan cerita yang semakin mengasikkan itu.
”Begini, Juru Tulis, ambo
katakan sama dia ’masak ambo yang disuruh memilih, sedangkan yang akan
memakainya adalah awak sendiri!,” kataku padanya, tahukah kamu jawabannya Juru
Tulis?
”Ya, tidaklah kawan, dari mana
pulaku tau! Kamu ini ada-ada saja.”
Sambil setengah berbisik dengan
sedikit membungkukkan tubuhnya ke arahku dia kembali menirukan kalimat
istrinya.
“Iyalah, Tuan!, kan yang
melihat bagus atau tidaknya tentu orang yang memandang. Sedangkan orang yang
akan menikmati atau merasakan keindahan itu adalah Tuan
sendiri! Katanya lagi padaku”.
Kawanku semain berbinar. Aku
pun mulai tersimpul-simpul pula melihat gaya sahabatku meragakan gaya istrinya
yang bermanja dengannya tentang selembar kebaya.
“O, ya… ya!. Terserah awak
sajalah mana yang lebih pantas untuk awak kenakan.Ambo menyukai ketiganya. Jadi
ambo tak dapat membedakannya. Mana yang awak kenakan itulah yang
terbagus!”
“Betulkah begitu, Tuan?”
“Iya, betul begitu!”
Tanpa disadari kami yang
sedang berleha-leha diberanda depan rumahnya itu kami dipergok oleh istrinya.
”Apa mempergunjingkan awak
pula Tuan-tuan, ya?!”
”Tidak, tidak! Siapa yang
mempergunjingkan kamu sepagi ini,” jawabku agak gagap. Rupanya selentingan
menjelang di menjumpai kami di beranda itu dia sudah mendengar senda gurau kami
itu.
”Ke dapur saja lah awak atau
pergilah mencuci ke pancuran biarlah kami maota-maota (ngobrol)saja disini!,”
timpal sumainya, kawanku itu.
”Iya pula yang disampikan
suamimu ini, biarlah kami angsur-angsur juga mencicipi ketan dan kalio masakan
kamu ini,” kataku pula.
”Iya, dihabiskan itu ketannya
itu Tuan!,” serunya pula kepadaku
”Iya, terimakasih. Siapa pula
yang tidak mau menghabiskan makanan yang seenak ini!,” sanjungan pula padanya.
Istrinya itu berlalu dari
hadapan kami, seperti berkemas-kemas membersihkan kamarnya dan memisahkan
kain-kain yang akan dicuci pancuran, tepian umum dikampung itu.Setelah mandi
dan Shalat Ashar, mereka hanya mengaso saja di rumah dan menjelang Shalat
Magrib mereka makan bersama, tapi Aisyah ternyata tidak mengenakan kebaya yang
dia perlihatkan siang tadi pada suaminya. Sehingga sewaktu makan sore, bertanya
tanya sendirian sajalah Dt. Rajo Pangulu dalam hati. Mau ditanyakan langsung
kepada Aisyah kenapa tidak jadi dia mengenakan kebaya itu agak ragu pula. Masih
dalam suasana sedemikian Aisyah berkata pada suaminya.
“Tuan, kali ini ambo tidak Shalat Maghrib di Surau, ya! Tuan
sajalah yang pergi ke Surau. Tapi Shalat Isya nanti
kita berjamah saja di rumah. Tidak apa bukan?,” kata Aisyah pada suaminya
dengan sedikit bergaya memanjakan diri.
“Ya,
tidak apalah!,” jawab suaminya dengan singkat.
Sepulang dari Surau, Dt.
Rajo Pangulu mendapati istrinya sudah mengenakan baju kebaya dengan sedikit
polesan berhias diri. Ternyata kebaya panjang yang dikenakan Siti Aisyah adalah
yang berbelah di tengah dan dilihatnya peniti yang terbuat dari rupiah emas
telah berderat pula dari atas sampai kebawah, setentangan pusatnya.
Peniti-peniti dari rupiah emas itu mempertemukan kedua ujung kebaya tersebut. Semerbak
bau kasturi pun terlintas meransang penciuman Dt. Rajo Pangulu.Sehingga suami
Siti Aisyah ini semakin terheran - heran melihat tingkah isterinya semenjak
pagi tadi, yang terlihat agak aneh-aneh, tidak seperti biasanya.Dt. Rajo
Pangulu duduk di tengah rumah selesai dia bersalin di kamarnya, Siti Aisyah
menghidangkan secangkir minuman khas waktu itu, yaitu aia kawa, bercampur
santan, madu dan sedikit irisan jahe merah yang masih hangat. Aia kawa adalah
air seduhan daun kopi arabica atau robusta yang telah tua dan dikeringkan
dengan cara mendiangkan (diasap) dengan cara menusuk daun-daun kopi yang telah
tua itu dengan lidi lalu digantungkan di atas tungku kayu. Setelah daun itu
kering dan berwarna coklat lalu diremukkkan bagaikan teh. Serbuk inilahyang
diseduh dengan air panas dalam tabung bambu hingga dingin airnya. Tabung bambu
itu dikenal juga dengan nama ‘katiang’.
“Minuman apa ini yang awak
bikin?,” tanya Dt. Rajo Pangulu
“Santan dan aia kawa, Tuan!”
“Eh, biasanya kan pada pagi
hari minuman ini awak buatkan untuk ambo, kenapa sekarang, pada
malam hari awak buatkan?,” tanya suaminya lagi.
“Iya, Tuan!, tadi ambo lupa
membuatkannya, maka sekarang saja ambo bikinkan!’”
‘Kalau Tuan tidak suka, ya
tidak apa-apa, biarlah ambo buang kembali! ,”
jawab
Aisyah dengan sedikit merajuk,
takut kalau suaminya tidak mau meminum minuman yang berkhasiat itu.
“O, o…! Tidak, tidak Aisyah!
Ambo kan cuma bertanya saja pada awak. Kalau sudah dibuatkan ini ya...,
untuk apa dibuang. Kan mubazir kalau dibuang. Diminum juga tidak ada salahnya!,” jawab
suaminya yang takut istrinya akan kecewa karena dia sudah cape-cape
membikinkannya.
“Tapi, kenapa berbusa
airnya, Aisyah?,” tanya Dt. Rajo Pangulu lagi.
“Tentu saja berbusa, Tuan! Kan
minuman itu juga ambo campur pula dengan kocokan kuning telor itik,” jawab
Aisyah dengan malu-malu kucing
“Aaaa..., agak panas pula
kerongkongan ambo dan menyengat ke hidung!, rasa apapula
itu Aisyah?!,” kata Dt. Rajo Pangulu pula.
”Akh, Tuan!, masak segala
ditanya, tentu saja agak panas dan menyengat rasnya Tuan. Kan ambo kasih pula
air parutan sipadeh siarah dan sedikit merica, kayu manis, Tuan!,” jawab Aisyah
dengan tersipu-sipu malu kepada suaminya. Dt. Rajo Pangulu pun tertawa tawa
kecil melihat tingkah istrinya itu, dan Siti Aisyah pun tertawa geli juga
karena malu seakan-akan niatnya yang terselubung tertebak oleh suaminya.
Sehingga dalam suasana saling tertawa itu mereka tanpa sadar telah ber-‘endek
endek’-an pula. Endek-endekaan adalah senggol senggolan dengan bahu kanan dan
bahu kiri pasangan. Sehabis minum santan-aia kawa yang ditambah telor itik
dan ramuam rempah-rembah tradisional tersebut dari kejauhan terdengarlah bunyi
beduk berirama menandakan waktu Shalat Isaya sudah tiba. Maka Dt. Rajo Pangulu
pun berkumur kumur dengan air putih dan berdiri untuk mengambil wudhuk ke
belakang. Siti Aisyah pun bergegas pula untuk berwudhu karena mereka akan
melaksankan Shalat Isya berjamah. Selesai Shalat, Siti Aisyah mengemas mukena
dan dua buah sajadah yang terbentang, kemudian masuk ke kamarnya. Dan Dt. Rajo
Pangulu duduk kembali bersandar di dinding rumah persis menghadap kearah
kamarnya sambil mempelintir sebatang rokok yang terbuat dari daun nipah yang
digulung dengan tembakau dari Nagari Guntuang di Luhak Limo Puluah Koto. Sesaat
kemudian Siti Aisyah muncul kembali di pintu kamar dan langsung berhadapan
dengan suaminya yang sedang mengkulum asap rokok.
“Tuan, bagaimana menurut Tuan
pakaian kebaya yang ambo kenakan ini?,” Tanya Aisyah.
“O, bagus!, ambo suka dengan
pakaian yang awak kenakan itu. Cocok sekali dengan paras awak!,” jawab Dt. Rajo
Pangulu memuji kecantikan istrinya itu.
Kalau mengenai kecantikan Siti
Aisyah, apa yang hendak dikata. Belanda saja sering mengeluhkannya. Kontroler
Westenenck sendiri mengakui akan kemolekan istri Dt. Rajo Pangulu itu, sehingga
Westenenck sangat heran kenapa wanita muda yang secantik itu mau mensucikan
dirinya dan mau mati syahid dalam berperang. Lalu Aisyah menghampiri
suaminya, dan duduk di sebalah kiri suaminya.
“Taukah Tuan apa maksud
ambo berpakaian seperti ini pada malam ini?”
“Memangnya mengapa?,” tanya
suaminya pula.
“Malam ini sepertinya malam
terakhir bagi kita untuk bersama di rumah kita ini,Tuan!”
“Ya, barangkali firasat kita
sama, Aisyah! Perang sudah diambang pintu. Belum taulah bagaimana nasib kita
selanjutnya. Cuma saja ambo tidak memperlihatkan kegundahan ambo
itu kepada awak atau pun kepada orang lain. Ambo khawatir nantinya akan
melemahkan semangat perjuangan kita,” jawab Dt. Rajo Pangulu.
“Makanya ambo sangat
menginginkan tiada tersisa dan terbuang waktu semalam ini bagi kita. Ambo
tidak mau malam ini waktu kita terbagi kepada yang lain, Tuan!,” tukas Aisyah
pula. Dt. Rajo Pangulu berdiri, berjalan kearah kamarnya, dan menggantung kan
peci hitam berlilitkan kerutan kain sutra hitam yang dikenakannya itu di sisi
samping pintu kamarnya. Sambil berdiri itu Dt. Rajo Pangulu pun bertanya
kembali kepada isterinya.
“Kenapa awak pakai peniti
rupiah itu semuanya ? Kalau sempat terlihat orang bisa bikin susuah juga
nantinya!”
Sambil berdiri dan menyusul ke
tempat suaminya berdiri itu, Aisyah mencoba menjawab tanya sumainya itu.
“Karena ambo ingin segala
perhisan ambo ini, hanya Tuan yang mengumpulkan dan menggenggamnya dengan
erat,” jawab Aisyah.
Maklumlah, Dt. Rajo Pangulu
adalah seorang ninik mamak yang sangat paham dengan maksud kata malereng dari
isterinya itu, apalagi semenjak dari siang tadi kurenah isterinya pun sudah
menunjukkan ada sesuatu hasrat yang harus ditunaikannya. Bagi Dt. Rajo Pangulu
sendiri rasa hangat telah mulai menjalar naik di sela-sela tulang punggungnya menuju pundak
dan kepalanya, dari kepala pun sudah menyebar ke
seluruh tubuh, otot-ototnya sudah mulai mengencang. Apakah karena pengaruh
ramuan minuman yang dibuatkan isterinya tadi atau karena mendengar resah suara
yang melirih dari istrinya itu. Atau mungkin juga karena sudah‘serentak niat
dan takbir’ untuk menunaikan nafkah bathin.
Dt. Rajo Pangulu berbalik dan
melangkah untuk mendekati istrinya, dan mencoba untuk memagang pundak istrinya
yang terlihat sudah mulai agak kaku itu untuk dirangkul dan didekapnya. Dalam
dekapan yang penuh kehangatan itulah dada Dt.Rajo Pangulu merasakan sesuatu
yang hanya dibatas oleh selembar kain kebaya yang lembut dan tipis itu.Tapi
Aisyah seakan meronta dengan gerakan-gerakan kecil yang lambat, seakan dia ingin
melepaskan tubuhnya dari dekapan suaminya itu. Ternyata gerakan kecil Siti Aisyah
itu semakin membubungkan darah Dt. Rajo Pangulu, sehingga dia semakin mengeratkan
rangkulannya.
“Aisyah, apakah maunya awak
juga ambo yang akan membuka satu persatu peniti rupiah yang menyemat baju awak
ini?,” tanya suaminya dengan suara setengah berbisik sambil merenggangkan
rangkulannya pada Aisyah.
“Rupanya Tuan sangat arif
sekali, tapi kenapa dari tadi siang Tuan seolah tidak mengerti apa sebenarnya yang
ambo maksud dan inginkan?,” kata Aisyah pula yang saat itu
tangan kirinya diletakkannya di bidang dada suaminya sebelah
kanan,sedangakan jari telunjuk dan jari malangnya tangan kanannya mencoba untuk
masuk disela-sela kancing baju ‘ganiah’ bergunting teluk belanga
yang dikenakan
Dt. Rajo Pangulu untuk mengukir
dada suaminya dengan lembut. Dt. Rajo Pangulu membuka semat peniti dari rupiah
emas di baju istrinya itu satu persatu dan sambil melangkah ke pinggir tempat
tidurnya di dalam kamar, mencoba untuk menenangkan darahnya dan mengalihkan
sedikit perhatiannya. Dia menerangkan suatu penjelasan tentang pertanyaan
istrinya itu.
“Aisyah, seharusnya kita
sebagai seorang yang ‘berpaham’ tidak harus serta-merta menanggapi sesuatu yang
kita dengar, yang kita lihat atau pun sesuatu yang dapat kita rasakan. Meskipun
lemang dan serikaya yang terhidang di depan kita, bukanlah langsung kita
santap, meskipun sudah untuk kita sendiri. Tentu kita patut dan renungkan dulu
untuk sesaat, cobalah kita rasa-rasakan dulu dikerongkongan kita bagaimana
nikmatnya lemang dan serikaya itu, yang dimakan itu rasa dan yang dilihat itu
rupa, Aisyah. Setelah itu, barulah nantinya kita akan benar-benar merasakan
kenikmatan yang sesungguhnya. Bukankah begitu yang pernah kitalakukan selama
ini, Aisyah?”
Sepanjang itu penjelasan Dt.
Rajo Pangulu pada istrinya, namun Siti Aisyah seakan telingahnya sudah pekak.
Dia hanya membisu, sementara tangan kirinya sudah melingkar dipinggang suaminya
dan tangan kanannya telah mengerayang pula taktentu arah. Kala itu Aisyah hanya
bisa menjawab dengan sopotong kalimat dalam suara yang amat gemetar.
“Selama ini memang begitu,
Tuan! Tapi sekarang sangat berbeda!, dan ambo ingin sekali untuk menikmati yang
berbeda itu sepuasnya malam ini!,” tegas Aisyah
pada suaminya. Bagaimana kisah dalam perjalanan malam istimewa mereka
itu kuranglah terang bagiku. Namun yang jelas pada Subuh itu jamaah Surau
bertanya-tanya ‘kenapa Dt.Rajo Pangulu dan Siti
Aisyah tidak nonggol subuh itu?’. Tentu saja jamaah surau itu merasa berwas-was,
karena situasi bagi masyarakat Kamang waktu itu sudah sangat mencekam dan mengkhawatirkan.
______________________________________
Bagian XIV.
(Biadab)
SUDAH
beberapa kali Bonjol di gempur untuk diduduki termasuk yang
dipimpin langsung oleh Gubernur General Van den
Bosch Karena sulitnya menundukkan kaum Paderi dan
menduduki Bonjol, Van den Bosch akhirnya pada dini hari 3 Oktober 1833
memutuskan untuk berangkat kembali ke Batavia, ‘lari malam’ menurut cemoohan
orang Minang. Dan, untuk memperkuat pemerintahannya di Sumatera Barat
diangkatnya dua orang Komisaris di Padang sebagai wakilnya. (Red: Dua
orang Komisaris untuk satu daerah di Hindia Belanda, agaknya hanyalah di
Minngkabau ?), yaituJ.J. Van Sevenhoven dan Mayor
Jenderal J.G. Riesz.
Sejarah pun berulang, penyakit lama berjangkit kembali. Siasat ditukar, perang frontal sudah tak mempan “Pelakat Panjang” diumumkan pada 25 Oktober 1833 sekedar ‘time out’ untuk bernapas panjang sesaat. Hal ini terbukti dengan tindakan Belanda yang mengkhianati sendiri ‘maklumat perdamaian’ yang dibuatnya sendiri secara sepihak itu. Luka lama berdarah lagi rakyat Minangkabau. Fatwa-fatwa yang diberikan Tuangku Imam Bonjol merupakan senjata bathin yang tidak dapat ditumpulkan oleh berbagai ‘presure’ dan provokasi dari pemerintah ataupun oleh militer Belanda.
“Sebuah kejadian yang tidak dapat dimaafkan dan dilupakan oleh generasi kami dan bahkan generasi Minangkabau,” Siti Maryam mengawali pidatonya. “Adalah terhadap kekejaman pasukan tentara Ulando pada waktu itu penculikan yang dilakukan atas dua orang istri Tuangku Imam untuk menggoncangkan mental beliau.”
“Pada suatu malam dalam bulan Juli 1837 - setelah sepuluh hari lebih pertempuran yang dihadang pasukan Tuangku Imam yang tiada henti-hentinya, satu pasukan kecil tentara Belanda moncoba memasuki kota Bonjol dengan menyelundup ditengah lelapnya pasukan Paderi yang sedang kelelahan. Sehingga kedatangan tamu yang tidak diundang itu tidak diketahui oleh pengawal benteng.
Sejarah pun berulang, penyakit lama berjangkit kembali. Siasat ditukar, perang frontal sudah tak mempan “Pelakat Panjang” diumumkan pada 25 Oktober 1833 sekedar ‘time out’ untuk bernapas panjang sesaat. Hal ini terbukti dengan tindakan Belanda yang mengkhianati sendiri ‘maklumat perdamaian’ yang dibuatnya sendiri secara sepihak itu. Luka lama berdarah lagi rakyat Minangkabau. Fatwa-fatwa yang diberikan Tuangku Imam Bonjol merupakan senjata bathin yang tidak dapat ditumpulkan oleh berbagai ‘presure’ dan provokasi dari pemerintah ataupun oleh militer Belanda.
“Sebuah kejadian yang tidak dapat dimaafkan dan dilupakan oleh generasi kami dan bahkan generasi Minangkabau,” Siti Maryam mengawali pidatonya. “Adalah terhadap kekejaman pasukan tentara Ulando pada waktu itu penculikan yang dilakukan atas dua orang istri Tuangku Imam untuk menggoncangkan mental beliau.”
“Pada suatu malam dalam bulan Juli 1837 - setelah sepuluh hari lebih pertempuran yang dihadang pasukan Tuangku Imam yang tiada henti-hentinya, satu pasukan kecil tentara Belanda moncoba memasuki kota Bonjol dengan menyelundup ditengah lelapnya pasukan Paderi yang sedang kelelahan. Sehingga kedatangan tamu yang tidak diundang itu tidak diketahui oleh pengawal benteng.
Pasukan kecil itu terus menuju rumah kediaman Tuangku Imam bersama anak-anak dan kedua istrinya. Dengan serta merta kedua istri Tuangku Imam dilarikan secara diam-diam. Kejadian itu diketahui oleh salah seorang putra Tuangku Imam yang bernama Mahmud, dan tanpa berpikir panjang Mahmud melakukan perlawanan guna menyelamatkan kedua orang ibunya itu. Karena perkelahian tidak seimbang, pada akhirnya perut Mahmud ditusuk denganbayonet yang menempel di ujung laras senapan pasukan Belanda tersebut. Dalam kejadian ini, yang amat tragis adalah perlakuan ‘marsuse’ yang sangat biadab. Setelah perut Mahmud terberai, darah mengucur dari celah jantung yang bocor.
Kemudian, kaki salah seorang istri Tuangku Imam diputuskan, dikerat pahanya selagi dia masih hidup, sedangkan istri yang seorang lagitubuhnya diukir, disayat-sayat dengan ujung sangkur ‘Belanda Hitam’ itu. Ini benar-benar biadab, buas. Mendengar suara ribut dan jeritan suara perempuan, Tuangku Imam terbangun dari lelapnya, beliau langsung mengambil pedang dihunusnya menuju tempat suara ribut tersebut. Perkelahian seru pun terjadi antara beliau dengan tentara Ulando.
Dalam perkelahian ini, Tuangku Imam Bonjol menderita luka-luka karena tusukan bayonet, tetapi pasukan Ulando kocar-kacir melarikan diri dalam penderitaannya pula. Karena banyak menderita luka yang menyebabkan banyaknya darah yang keluar, tubuhnya semakin melemah dan beliau tidak dapat lagi memimpin pertempuran selanjutnya. Besoknya, pada sore hari pasukan Ulando melancarkan serangan besar-besaran. Pertahanan bentengdi Bonjol langsung diambil alih oleh Bagindo Majolelo dan kawan-kawannya.
Kota Benteng sangat tangguh untuk diterobos yangdipertahankan oleh kaum yang militansi. Akhirnya tidak membawa apa-apa bagi Ulando kecuali penderitan dan kerugian. eesokan harinya, setelah Ulando menyulut sejumlah besar bahan peledak kedinding pertahanan rakyat penyerbuan secara tiba-tiba kembali dilakukan dibawah pimpinan pasukan Letnan Lange. Pada tanggal 16 Agustus 1837 kejatuhan kota – benteng – Bonjol dirayakan prajurid Ulando dengan pesta candu dan tuak, sebagai ungkapan keberhasilan mereka. Dengan pertolongan beberapa orang hulu balang yang gagah berani, Tuangku Imam diselamatkan darikepungan pasukan musuh dan dilarikan ke kampuang Marapak.
Sesudah menduduki Bonjol, tentara Belanda mengadakan pembersihan secara besar-besaran. Penyisiran terhadap daerah-daerah basis pasukan Tuangku Imam dibumi hanguskan. Tapi Tuangku Imam tidak ditemukannya juga.”
“Apakah salah seorang dari istri Tuangku Imam itu nenekmu, Maryam?,” aku bertanya.
“Barangkali, sekarang bukanlah saatnya yang tepat untuk saya jelaskan, Mak
Kari,” maksudnya Wahid Kari Mudo.
Hadirin
di Surau Haji Abdul Manan di Kampung Budi itu terganga dan
ada yang air matanya meleleh di pipi atas kepiluan dari kekejaman
‘marsose’ – si Belanda Hitam – atas perintah tuannya ‘lanun’ dari seberang
lautan itu.
Mendengar pemaparan “anak sasian”, murid beliau itu, Haji Abdul Manan hanya bersitelekan, menupang kedua pipinya dengan kedua tangannya yang bertumpu di atas kedua pahanya karena terharu akan kisah tragis dari kebiadaban pasukan Belanda itu dari akhir keagungan Bonjol sebagai pertahanan terakhir pada Perang Paderi.
Mendengar pemaparan “anak sasian”, murid beliau itu, Haji Abdul Manan hanya bersitelekan, menupang kedua pipinya dengan kedua tangannya yang bertumpu di atas kedua pahanya karena terharu akan kisah tragis dari kebiadaban pasukan Belanda itu dari akhir keagungan Bonjol sebagai pertahanan terakhir pada Perang Paderi.
Dalam alkisah perang Minangkabau Raya itu
dan kepasihan tutur Siti Maryam yang diwarisinya dari keluarganya sendiri dalam
menuturkannya.
Tujuan
ditampilkan Siti Maryam untuk menyampaikan kisah pembiadaban tentara
Belanda itu pada halaqah Surau Budi menjelang berkobarnya perang anti
belasting itu adalah dalam rangka membangkitkan semangat anti Belanda dan
semangat untuk bangkit berjuang melawan tirani, kebiadaban-kebiadaban penjajah,
penjarah rakyat oleh tentara dan pemerintah Belandayang akan melancarkan pajak,
‘pungutan langsung’-nya. (bersambung)
______________________________________
TINDAKAN yang diambil oleh L.C. Westenenck didasarkan pada pengumuman Gubernur Genderal ‘Van Heutsz’ di Batavia pada tanggal 1 Maret 1908 untuk memberlakukan Peraturan (Undang Undang) Pajak Langsung untuk seluruh Hindia Belanda.Westenenck sebagai seorang pejabat tinggi Departemen Dalam Negeri (AmtenaarB.B) yang berpangkat kolonel dan berkedudukan sebagai Komendur Oud Agam karena Asisten Residen Luhak Agam merangkap Residen Padang she Bovenllandenya itu Van Driesche yang tidak begitu serius dalam menjalankan tugasnya – karena menurutnya belum saatnya untuk melaksanakan Undang-Undang Belasting dengan tangan besi. Karena beberapa kali pendekatan dan sosialisasi tentang pelaksanaan peraturan baru itu gagal atau tidak didukung oleh rakyat, maka pada tanggal 16 Maret 1908L.C. Westenenck kembali memanggil seluruh Laras untuk mengadakan pertemuan di kantornya, di kota Fort de Kock (Bukittinggi). Inti pertemuan tersebut adalah penegasan dan instruksi oleh L.C. Westenenck untuk segera melakukan penghitungan atau penaksiran dan langsung memungut pajak langsung itu. Dalam instruksi itu dipertegas bahwa kepada masing-masing Laras dan kepala nagari yang merasa tidak mampu menjalankan pemungutan pajak akan dibantu dengan kekuatan militer, kepada laras laras dan kepala nagari yang menentang akan dipecat dari jabatannya dan akan ditangkap untuk dibuang. Dalam pertemuan itu, Laras Salo-Magek diwakili oleh Warido, lengkapnya AgusWarido Prawirodirjo, anak seorang bekas prajurid Sentot Alibasya yang berpihak Belanda menikahi salah seorang padusi (gadis) Minang secara paksa dengan mendapat dukungan Belanda.
Agus Warido Prawirodirjo
sebelumnya diangkat Belanda sebagai Mantri Kopi di LimoPuluah Koto. Laras
Kamang dihadiri oleh Kepala Laras Garang DT. Palindih, LarasTilatang Jaar Dt.
Batuah, Laras Ampek Angkek Samat Dt. Sati, Laras Kapau Dt. Rajo Labiah, Laras Baso
Adam Dt. Kayo dan Laras Canduang oleh Sahat Rajo Malenggang dan Laras Ampek
Koto, Yahya Dt. Kayo.
Karena rakyat mendapat bocoran
informasi pertemuan rahasia para Laras se AgamTuo itu, maka pada Senin, 2 Juni
1908, diadakanlah pertemuan bersama di MesjidTaluak (Kamang) yang
dihadiri oleh utusan-utusan dari Agam Tuo, Lubuk Basung, Mangopoh, Padang
Panjang, Batu Sangkar, Solok-Selayo, Limo Puluah Koto, Pauah Kamba, Lintau,
Muaro Labuah dan lain-lain. Dengan kebulatan tekad,peserta rapat
memutuskan akan melancarkan aksi menentang Ulando, dan dalam rapat itu pula
sekaligus ditentukan tugas masing-masing.Pada Rabu, 11 Juni 1908 para pasukan
rakyat - yang bukan saja masyarakat Kamang, tetapi juga berasal dari berbagai
daerah berdatangan dan berkumpul di Surau Haji
Abdul Manan, kampung Budi. Pertemuan dalam rangka
persiapan perang itu diimami langsung oleh Haji Abdul Manan. Pidatonya yang
terakhirnya sebelum konfrontasi melawan Belanda, Haji Abdul Manan meminta
seluruh pasukan jangan gentar dan ragu-ragu menentang Belanda dan tidak takut
akan mati syahid. Tujuan akhir dari briefing bersama pada pasukan -‘fi-Sabilillah’ - itu adalah membakar semangat juang mereka oleh pemimpin
gerakan dengan–‘ayat-ayat pedang’ – dalam
mengobarkan semangat perang suci.
“Sesungguhnya telah ada tanda
bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan
berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata
kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua
kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai mata hati.”
“Begitulah yang telah terjadi
pada Perang Badar zaman Rasulullah dahulu.
Dan bahkan sebagaimana yang dihadapi pula oleh leluhur kita Inyiak
Enceh, danTuangku Imam di Bonjol dalam Perang Paderi dahulu,”
sambung Haji Abdul Manan mengulas
ayat Al-Qur’an yang didiktekannya itu.
“Bahkan...!, kematian Inyiak
Enceh pun terpaksa dilakukan dengan sebuah pengkhiatan oleh orang suruhan
Ulando, karena hanya itulah satu satunya jalan yang dapat dilakukan untuk
membunuh nenek kita itu guna menghentikan perlawanannya,” kata beliau lagi.
“Kenapa kita harus gentar,
takut dan berpaling untuk menghadapi si kafir nan bamato bula itu.
“Yakinlah tentang apa yang dikatakan oleh Allah, Swt bahwa‘Orang-orang kafir itu membuat tipu daya,
dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas
tipu daya’.” tegasnya.
“Hai
orang -orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir
itu,niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu
jadilahkamu orang- orang yang rugi.”
“Tetapi
(ikutilah Allah), Allah-lah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong’.
Janganlah
kamu mengira bahwa orang orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan
mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki’. Yaitu hidup dalam alam
yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat
kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan hanya Allah sajalah yang mengetahui
bagaimana
keadaan hidup itu”
Ulas
beliau Haji Abdul Manan pula.
“Dan apa kata Allah, Swt lagi
dalam Al-Qur’an ini…!!!”
Tangan kanannya sambal
mengacungkan sebuah kitab Al-Qur’an, bahwa:
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke
dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” “ Kepunyaan Allah-lah
kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu.”
“Hai
orang -orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwallah kepada
Allah,supaya kamu beruntung.”
Selesai penyampaian ‘orasi’ yang mengebu-ngebu,
membakar semangat jemaahnya, Haji Abdul Manan tetap menganjurkan terlebih
dahulu musuh dihadapi dengan secara bijaksana.
“Sungguhpun demikian,” kata
beliau Inyiak Manan, ‘maka besok beberapa ninik orang mamak dan cerdik-pandai
kita bersama pengikutnya, terutama yang biasa berdagang ke Bukittinggi akan
mengadakan unjuk perasaan lagi ke kantor Siteneng itu, guna menyampaikan
kebulatan tekad kita untuk menolak belasting, dan menganjurkan supaya pengumuman
’1 Maret’, tentang pembayaran belasting itu ditarik pemerintah kembali.”
”Kita tunggulah terlebih dahulu
apa buah perjuangan dunsanak kita, yaitu Datuak Makhudum, Datuak Kondo dan Sidi
Gadang beserta pengikutnya itu setelah bertemu dengan Siteneng besok.
Andaikan perjuangan dengan
‘lidah’ itu gagal, maka kita harus menempuh perjuangan dengan ‘tangan’,
yaitu dengan perang…!,” tegas beliau.
Akhirnya Datuak Rajo Pangulu,
Kari Mudo dan Qadi Abdul Gani pun bangkit dari duduknya, mengacungkan kepalan
tinjunya sambil meneriakkan pekikkan,
“Allahu Akbar!, Allahu Akbar!, Allahu Akbar…!!!”.
Kemudian diiringi pula oleh
seluruhpasukan yang telah membaiat diri sebagai pasukan–‘berani mati’- mati
syahid dijalan Allah, Swt.
Pada tanggal 12 Juni 1908
diadakan upaya dialog dalam bentuk ‘unjuk perasaan’ kekantor Kontreluer untuk
mencabut Undang Undang Belasting tersebut. Ternyata upaya perjuangan dengan ‘lidah’
dalam bentuk unjuk perasaan itu mengakibatkan ketiga orang penyambung lidah
rakyat itu dijebloskan Belanda ke penjara, sehingga langkah terakhir perjuangan
semakin menggelegar di hati Pasukan Kamang.
Bagi Belanda juga tidak ada
lagi posisi tawar dengan rakyat kecuali dengan ‘gonggongan karabinnya’ untuk
menghentikan gerakan perlawanan terhadap pelaksanaan belasting, maka Belanda
mulai merekayasa situasi untuk memulai perang itu. Tindakan militer untuk
menteror rakyat Kamang itu dipicu oleh suatu kejadian, dimana paginya datang
tiga orang masyarakat Magek suruhan Belanda kekantor Laras Agus
Warido untuk membayar belasting. Ternyata ketiga orang itu langsung
dihadang oleh serombongan warga setempat yang mengancam akan membunuhnya kalau
belasting dibayarnya juga, karena perbuatan membayar belasting itu merupakan
pengkhiatan secara terang-terangan terhadap tekad bersama untuk menentang
Belanda.
Mengetahui enggan kejadian itu,
Laras Salo-Magek Agus Warido sangat marah, namun tidak bisa berbuat apa-apa
karena toh dia sendiri adalah orang Jawa sisa keturunan prajurut Sentot Ali
Basya kepercayaan Belanda. Langkah yang dapat dia perbuat hanyalah segera ke
Bukittinggi untuk melaporkan peristiwa pagi itu kepada L.C. Westenenck di
Bukittinggi dan meminta supaya para pembangkang Belanda segera ditangkap.
Saat yang ditunggu-tunggu.
‘Tuan Kumandua’, sebutan orang Minang terhadap Kontroliur telah tiba, saat itu
juga melalui telepon L.C. Westenenck si hidung ‘kakatua’ itu menghubungi Gubernur
Sumatera Barat Heckler untuk ‘mohon petunjuk’ mengenai
tindakan yang harus diambil.
Heckler memberikan jawaban
dalam telepon itu sesuai dengan komando yang digariskan oleh Gubernur General
Van Heutsz di Batavia, hanya dengan satu kata saja,
‘Serbu...!’
”l’historie se repete”, zaman
beredar, riwayat berulang. Nagari Kamang akan menambah riwayatnya dengan darah
dan nyawa untuk kelekangan adat dan agama. Dahulu kaum ibu hanya membantu
nasi berbungkus daun pisang tinbatu (abu) untuk pasukan Tuangku Nan Renceh,
sekarang Siti Maryam bersama Siti Aisyah, Siti Anisyah dan juga para kaum
’hawa’ lainnya sebagai pengikut ketuga Srikandi itu akan turut di medan laga
dalam barisan infantri Tuangku Haji Abdul Manan.
______________________________________
“Toute
l’oeuvre coloniale s’appuie, doit s’appuyer sur ce q’on appelle la
politiqueIndigene, l’art de connaitre les Indigenes,” begitu peringatan yang
dilontarkan
oleh J.C. van Earde”, Penghulu Kepala Nagari Koto
Tuo itu memulai pencerahannya yang
aktual itu. Bahwa, “Semua pekerjaan yang berhubungan
dengan tanah jajahan harus bersandar kepada yang dinamakan ‘Inlander
Politik’,yaitu kecakapan untuk mengenal penduduk Bumiputera”.
“Apa
maksudnya?,” Muhammad Amin Pamuncak mengajukan sebuah pertanyaan kepada peserta
halaqah. Tidak satupun yang menjawab pertanyaan itu, mereka masih menunggu
kelanjutan pembicarannya. Pendapat Van Earde itu benar-benar menjadi nutrisi
bagi setiap Negara dan bangsa yang mempunyai tanah jajahan. Bukan saja Belanda,
tetapi Inggris, Perancis pun melumat pemikiran Earde tersebut dalam melakukan
berbagai ikhtiar ‘pacificasie’,penaklukan dan perdamaian di tanah jajahannya.
“Bagi
pemerintah Belanda yang mempunyai tanah jajahan yang amat luas ini amat
beruntunglah mempunyai seorang ahli ternama, C. Snouck Hurgranje,” sambung
sipenceramah itu. Kemudian dilanjutkannya pembicaraannya yang terputus dengan
sederetan keterangan panjang tanpa teks tertulis “…karena menurut professor
Belanda ini, yang telah menyelidiki Turky dan kemudian beberapa tahun
bermukim di Mekah dengan nama Abdul Ghaffar dan melanjutkan perjalanannya ke
Indonesia dan bertahun-tahun melakukan penyelidikan di Nusantara ini sebagai
‘adpisur’ pemerintah Belanda, memberikan tuntutan politik menghadapi orang
Islam di Indonesia yang jumlahnya 85% dari jumlah penduduk keseluruhan atas
tiga dasar yang sangat penting dan yang tahan uji, yaitu: 1.Terhadap urusan
‘ubudiyah, Pemerintah (Belanda) harus memberi kemerdekaan yang seluas-luasnya
dan yang sejujur jujurnya. 2.Terhadap urusanmu’amalah, ia (pribumi) harus
menghormati; terhadap instelling-instelling yang sudah ada, sambil memberi
kesempatan untuk berjalan berangsur-angsur kearah kita (Pemerintah Belanda),
malah yang sedemikian itu harus diajak dan gemarkan. 3.Terhadap urusan yang
berhubungan dengan politik, harus pemerintah menolak dan meberantas cita-cita
dan kehendak-kehendak yang bersifat Pan Islamisme, yang wujudnya hendak
membukakan pintu bagi kekuatan kekuatan asing untuk mempengaruhi perhubungan
pemerintah Belanda dengan rakyatnya orang Timur.”
“Kalau
begitu, kita wajib pula mengetahui asal-mu’asal, sebab-musabab pertimbangan
pemikiran professor Ulando itu, Engku ?,” kataku.“Ya! Tepat sekali !,” jawab
sang orator.
“Dasar
pertimbangan Profesor Snouck, membentangkan garis-garis kebijakan yang
harus dijalankan pemerintah Belanda itu atas pengetahuannya yang dalam
tentang sikap militansi orang-orang Islam di tanah air kita ini, sehingga dia
menjelaskannatijah-nya lagi dengan ucapannya, ‘Biarkan kaum Muslimin beribadah
seluas-luasnya!
Biarkan mereka bersembahyang, jangan campuri mereka dalam urusan berjum’ad dan
berpuasa; jangan disempitkan urusan mereka untuk naik haji, dll., sehingga
merasa merdeka dalam urusan keagamaan mereka. Dan lantaran merasa merdeka itu,
mereka akan lalai sendiri mengerjakannya, sekurangnya tidak merasa bahwa mereka
diperintah oleh bangsa yang beragama lain darinya!’.
“Artinya, berdasarkan pengalaman yang
dia selidiki, bahwa secara nyata dan mendalam, dia mengetahui betul
bahwa pertama, orang Islam baru besar bahayanya bagi pemerintah jajahan,
bilamana mereka merasa bahwa kemerdekaan mereka beragama terganggu. Makin
dilarang mengerjakan pekerjaan yang
berhubungan
dengan ubudiyah, semakin fanatik mereka mengerjakannya.”
“Bertambah
berbahaya lagi, apabila lantaran terganggu kemerdekaan mengerjakan
agama itu, mereka terus mengasingkan diri dari masyarakat biasa dan mendirikan
perkumpulan perkumpulan tarekat yang mengajarkan perang sabil, dan sangat
mungkin tidak lekas dapat diketahui oleh pemerintah negeri. Sehingga dia sampai
kepada natijahnya tadi.”
“Kalau
demikian pandangan si professor maka sangat berhati-hatilah kita.
Janganlah
kita sampai lengah, lalai dalam beribadah lantaran merasa ‘merdeka’itu!,”
komentar salah seorang perempuan belia yang hadir dalam halakah itu dengan
sebuah statement dari hasil manti’(k), logikanya itu.
“Betul…!!!,
apa yang dikatakan Maryam itu,” kata sang orator. “’Perlu juga diingat,
sambungnya lagi ‘bahwa sang professor itu sering bersemboyan dan semboyannya
itu umumnya dibenarkan pula oleh orang-orang Islam, bahwa Eenstaat kan duurzaam
zijn in ongeloof, maar niet ini ongerechtigheid,–
Satu
kerajan mungkin tetap berdiri dalam kekufuran, akan tetapi tidak mungkin
dalamkezaliman.”
“Kedua,
ruh ke-Islam-an itu mungkin bangkit juga apabila mereka mendapat gangguan dalam
urusan ‘mu’amalah’, seperti urusan perkawinan, warisan dan yang berhubungan
dengan itu. Oleh sebab itu “Hormati”’ instelling-instelling’ mereka
dibawah penilikan (pengawasan) kepala-kepala mereka, regen-regen dan
raja-raja.(Red: Di Minangkabau inilah yang dilakukan oleh Laras, Penghulu
Kepala atau kepala nagari).
Dengan
begini mereka akan merasa diperintah oleh ‘wet-wet” mereka sendiri, dan tidak
timbul lagi cita-cita kenegaraan secara pemerintahan Islam. Apalagi kalau sudah
ditetapkan, sekurang-kurangnya dianjurkan dengan cara setengah resmi,
kitab-kitab apakah yang harus dipakai dalam mengurus perkawinan, perceraian dan
warisan mereka itu. Sehingga tidak masuk pengaruh ‘modern’ yang menimbulkan
semangat
mereka. Dan disamping itu, kalau anak-anak Islam diberi lagi didikan Barat yang
menjauhkan mereka dari agamanya, sehingga mereka “geemancipeerd van het
Islam-stelsel”, terlepas dari genggaman Islam. Maka besarlah harapan, mereka
akan menjatuhkan perasaannya dengan yang memerintahnya dan akan terjadilah satu
‘assosiasi’, perhubungan peradaban, kebudayaan dan politik antara yang
memerintah dan yang diperintah’,” kata si professor itu lagi.
“Apabila
assosiasi ini telah tercapai, maka menurut professor ini, tidak ada lagi yang
akan menyusahkan pemerintah Ulando itu,” komentar si perawi itu selesai
mengutip pemikiran Profesor Snouck Hurgranje tersebut.
“Kenapa
Engku dapat membuat penafsiran seperti itu?,” tanya seorang jamaah.
“Para
jamaah Islamiayah yang berhadir, yang saya muliakan! Bukan saya, yang
menafsirkannya seperti itu. Akan tetapi Sang professor itu sendiri yang menyuci
otak pemerintahnya sendiri dengan penjelasan dari pernyataannya itu. Katanya,
‘La
solution de la question islamique depend de l’adhesion des indigenes
a notre civilisation’. Artinya, manakala sudah tercapai perhubungan yang rapat
antara penduduk bumiputera dengan kecerdasan kita, maksudnya kecerdasan orang
Belanda, tak adalah lagi yang akan diusahkan, sehubungan dengan kaum muslimin
ini. Makanya semenjak tahun 1817 Belanda telah mengupayakan berdirinya
sekolah-sekolah dengan cara-cara mereka, sebagaimana di negerinya sendiri.”
“Ketiga,
kata sang professor itu lagi, bahwa apabila urusan di dalam sudah diatur seperti
itu, tinggal lagi yang harus dijaga ialah supaya jangan ada perhubungan dengan
muslimin di laur negeri, yang mungkin menimbulkan kembali semangat
Pan-Islamisme yang berbahaya itu. Lantaran itu, maka nasehat sang professor itu
berbunyi ‘jaga supaya jangan ada pengaruh dari luar!’.”
“Demikianlah
ringkasnya jalan fikiran Profesor Snouck Hurgranje itu dalam advisnya kepada
pemerintah Ulando, dalam menghadapi kaum Muslimin diIndonesia ini, khusunya
kita-kita di Minangkabau ini, karena landasan kita adalah Adat basandi syara’.
Syara’ basandi kitabullah–Syara’ mangato. Adat mamakai.”
“Sekarang
bagaimankah dalam prakteknya?,” sambung pemimpin halaqah lagi dalam mengakhiri
pemaparannya tentang rencana besar jangka panjang pemerintahan kolonial Belanda
di dalam tata politik pemerintahan.
“Kalau
begitu apa upaya kita untuk menghentikan upaya Ulando yang bagaikan api dalam
sekam itu,” tanya salah seorang peserta diskusi lain lagi. “Ya, apa…? Marikita
pahamkan dan fikirkan besama-sama!,” seru si
pendakwah
itu lagi.
“’Munurut
pendapat saya’, kata Maryam. ‘Kita harus selalu ingat dan waspada bahwa– jerat tidak akan lupa
dengan balam (burung)– dan kita harus menentang apapun bujuk rayu yang
diupayakan oleh Ulando itu.”
“Suatu
hal yang paling utama adalah al-Islamu ja’lu wa la ju’la ‘alaihi. Bahwa Islam
itu di atas, tak patut dan tidak pantas ada yang mengatasinya,” sela Sang guru
utama, Haji Abdul Manan mengenegahi persoalan ini. Akan tetapi sampai sekarang,
kekhawatiran Profesor Snouck Hurgranje terhadap Pan- Islmaisme toh tidak
kunjung lahir. Ya, karena bukan itulah tujuan dan cita citanya umat Islam
dunia, disamping mereka juga disibukkan oleh urusannya
sendiri-sendiri di negaranya masing-masing. “’Suatu hal lagi yang mulai menjadi
mengkhawitrikan kita…’,” lanjut Pamuncak Amin ‘…adalah bahwa di dunia
Islam,kehidupan berdagang dihormati, bahkan hampir sama kedudukannya dengan
ulama; sebab Rasulullah, Muhammad sebelum menjadi nabi dan rasul adalah seorang
pedagang yang handal sehingga telah semakin memperkaya Siti Aisyah,seorang
saudagar perempuan yang tiada tandingannya waktu itu. Tentu,
perdagangan
yang tanpa riba’ dan monopoli.”
“Maka
prilaku pedagang-pedagang Islam tidak sama dengan pedagang-pedagang kapitalih
(s). Islam tidak setuju bila orang menumpuk kekayaan dengan cara menghancurkan
orang lain, dan mengajarkan apabila seseorang menghadapi kesulitan untuk
membayar hutang beri dia waktu sampai sanggup membayarnya.”
“Lalu,
Tuangku, apa maksud dan hubungan perjuangan kita dengan masalah perdagangan?,”
tanyaku pada Pamuncak Amin, cucu dari Beliau Tuangku Nan Tuo di Koto Tuo Ampek
Angkek itu.
“Sudah
lama Belanda melancarkan kebijakan memotong hubungan dagang saudagar-saudagar
kita ke pelabuhan-pelabuhan di pantai Timur dengan dipaksanya
pedagang kita mempergunakan pantai Barat, seperti Padang dan Pariman yang telah
berada di bawah kekuasaannya. Sebaliknya pedagang kita di Padang sendiri telah
diperlakukan tidak adil dengan menganak emaskan pedagang sebangsanya dan
pedagang China yang suka menyogok dan menjilat itu. Kedua pedagang tersebut
menghalalkan segala cara asalkan mereka mendapat untung besar.
Artinya,
kebijakan Belanda itu bertujuan untuk menghancurkan jalur perniagaan dan
pedagang tradisional kita yang lancar perhubungannya ke pesisir Timur dan terus
menyeberangi Selat Malaka ke Penang dan Tumasik.”
Itulah akhir wejangan dari cendikiawan kita itu yang selalu mendapat perhubungan dengan saudaranya Syekh Ahmad Khatib yang pernah bermukim di Perak,Semenanjung Malaya sebelum menetap di Mekkah al-Mukaramah
Itulah akhir wejangan dari cendikiawan kita itu yang selalu mendapat perhubungan dengan saudaranya Syekh Ahmad Khatib yang pernah bermukim di Perak,Semenanjung Malaya sebelum menetap di Mekkah al-Mukaramah
______________________________________
L.C. Westenenk,
dari tempatnya berdiri dengan pasukannya, dibawah cahaya bulan yang
remang-remang dan diringi gerimis. Ia memperhatikan dengan seksama pasukan
Kamang berpakaian putih putih yang bergerak maju dari arah pinggir
jalan dan merayap dalam rumpun padi, yang jumlahnya tidak dapat dia taksir
banyaknya.
Dalam keadaan cemas itu, L.C. Westenenk
melihat jelas sosok Datuak Rajo Pangulu dan seseorang yang berdiri disamping
kirinya. Sosok itu terlihat sangat akrap dengan Datuak Rajo Pangulu, dia itu
juga berpakaian laki-laki berwarna putih namun perawakannya tidak sebagaimana
seorang laki-laki, tubuhnya terlihat agak ramping. Untuk mengusir kecemasan
yang mencekam dirinya, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh L.C.
Westenenk dan pasukannya itu, dia berteriak. “Bubarlah kalian!!!, dan
kembalilah pulang, kembali kepada anak dan istri kalian! Kalau kalian masih
tetap bergerak maju, maka segala kemungkinan bisa saja terjadi karena
kekuatan kompeni cukup banyak dengan personil dan senjatanya,” ancaman L.C.
Westenenk.
“Pasukan rakyat tidak akan mundur setapak pun
dan bersedia mati syahid!,” jawab Datuak Rajo Pangulu.
L.C. Westenenk mendekati Sersan Boorman
yang sedang mengawasi kegelapan di bagian timurnya. Sersan Boorman berteriak
bahwa di depannya juga bergerak sekelompok orang yang berpakaian putih-putih
sedang mendekatinya. Pada saat Westenenk memerintahkan kelompok yang
berpakaian putih-putih dekat Sersan Boorman itu membubarkan dirinya, datang
lagi panggilan dari kelompok Barat, karena di sana didatangi pula oleh
sekelompok orang berpakain putih, setelah diperhatikan ternyata mereka
berpencar.
Belum sepenuhnya L.C. Westenenk memperhatikan
kelompok putih yang bergerak itu, terdengar lagi teriakan Kapten Lutz
dari Timur, karena kelompok putih yang berjumlah sekitar lima puluh orang itu
tetap bergerak – mengayun-ayun – serentak seperti sekam dihanyutkan air yang diringi
suara ‘ratib’.
Tubuh-tubuh putih itu telah mendekatinya
sampai jarak enam puluh meter. Sekitar dua puluh orang duduk dengan rapat di
tengah jalan, seorang duduk sebelah kanan di atas pematang rendah, dan
sebelah kirinya berdiri seseorang yang bertindak sebagai juru bicara, sedangkan
di belakangnya berjejar pula sekitar empat puluh orang pasukan putih-putih.
Westenenk bertanya kepada juru bicara itu,“Kamu mau melawan?!”
Si juru bicara spontan menjawab, “Tidak!”
“Kalau tidak kenapa kalian bergerak ke
depan?!,” kata Westenenk.
Juru bicara itu pun balik bertanya kepadanya,
“Saya ingin tanya pula pada Tuan. Apa yang ingin Tuan kerjakan di sini, di
tengah malam ini?”
Pertanyaan itu sangat mengesalkanku, karena
pertanyaan itu adalah pertanyaan yang kurang ajar kepadaku, kata
Westenenk dalam nota yang ditulisnya kepada Gubernur Heckler.
“Kami (kompeni), lanjut laporan Westenenk
‘adalah raja dan di negeri kami dan bisa melakukan apa saja yang kami
anggap baik’,” katanya dengan penuh kesal.
“Siapa yang mengangkat Tuan sebagai raja, dan
di negeri manakah Tuan sebagai raja?,” kata si juru bicara itu lagi.
“Di sini! Ini negeri kami! Kalian orang
jangan kurang ajari kami, ya! ‘god verdome’!” bentakku.
“Tuan, salah! Salah besar, Tuan! Ini adalah
negeri kami. Jangankan mengangkat tuan sebagai raja, bahkan semenjak dari
leluhur kami tidak ada mengenal raja. Raja kami adalah kata sepakat yang
didasarkan kepada ‘syarak mangato-adat memakai’. Dan sejak kapan pula Tuan
‘malateh jo manaruko, kasawah jo ka ladang di sini’. Bahkan rupa wajah kita
saja tidak sama!”
“Tutup mulut kamu orang, ya...! Bangsat!
Duduk...,! hardikku.
“Kalau Tuan suruh kami duduk, kami sudah
duduk dari tadi, Tuan!
“Kamu juga duduk, kalau tidak saya
tembak.” Aku mengancam si juru bicara itu dengan amarah yang
menjadi-jadi.
“Kalau Tuan suruh saya duduk, maka saya akan
duduk!” katanya lagi. Dia tak gentar dengan hardikku dan malah si juru
bicara Haji Abdul Manankeparat itu seperti mengejekku.
Masih dalam nota yang ditulis tangan oleh
L.C. Westenenk kepada Gubernur Heckler pada tanggal 25 Juni1908 itu dia
mengakui lagi.
“...pada saat saya berputar beberapa langkah
dan berbicara dengan Kontrolir Dahler dan perwira kesehatan Justesen mengenai
hal yang begitu sulit bagi saya, serdadu mengingatkan saya bahwa orang-orang
yang berpakaian putih-putih itu sambil duduk berangsur-angsur maju. Dan saya
melihat sendiri memang orang-orang itu beringsud maju. Secara samar-samar
kelihatan kilatan senjata tajam yang tiap kali berangsur maju diletakkan di
samping mereka. Sekali lagi saya berteriak mengancam mereka.”
“Akan saya suruh tembak jika kalian masih
bergerak maju, walau serambut pun!,” hardikku ini dijawabnya secara serius
tetapi menyedihkan.
“Kalau Tuan ingin menembak kami, ya tembak
saja!,” kata pasukan berbaju putih-putih itu.
Tetapi toh mereka kelihatan jelas tetap
bergerak maju. ‘Mereka telah mendekat lima puluh meter sampai lima puluh lima
meter. Saya tidak bisa menunggu lebih lama lagi dan menyuruh tembak’.”
Tentu saja pekikkan “Tembaaak...!!!” oleh
L.C. Westenenk ini adalah sebagai suatu penggambaran akan kekalutan dia dengan
suasana yang semakin mencekam itu. Namun bagi pasukan rakyat yang berpakaian
putih putih itu, teriakan L.C. Westenenk tersebut semakin membawa mereka ke
puncak ‘kegairahan’ untuk membantai pasukan Belanda yang membawa serta
komplotan marsose itu.
Dalam suasana kekalutan dan kegalauan
Westenenk itulah Haji Abdul Manan dan pasukannya berhamburan,
keluar dari sarang pengintaiannya dari semak belukar sambil mengayunkan
kelewang, pedang dan rudusnya menghantam pasukan inti Westenenk.
“Tanpa aling-aling, setelah hardikanku itu
segera mereka berdiri dan menyerang kami tanpa mengeluarkan suara sedikit pun
dengan rudus di tangannya. Kebanyakan diantara mereka tersungkur kena tembakan,
tetapi beberapa orang tetap maju dalam cahaya remang-remang dan angker ditambah
lagi dengan asap mesiu di udara lembab mereka berhasil memasuki barisan
tentara. Saya dan para serdadu dan yang lain lain, karena tidak menyangka ini
bisa terjadi, mulai mundur. Kaki dokter Justesen tersandung dan sempat terjatuh
ke dalam got (selokan) di pinggir jalan. Pada saat saya dan Sersan Boorsma
tetap memberi semangat supaya tentara jangan mundur, di depan saya dua orang
gerombolan itu menebas batang leher dua orang serdadu, di depan saya sendiri.
Percikan darah kedua orang serdadunya itu
mengenai wajah dan menghias pakaiannya, maka kepanikan L.C. Westenenk semakin
menjadi-jadi. Sementara itu dr. Justesen berusaha bangkit dari selokan dan
berupaya untuk bergabung dengan L.C. Westenenk.
Sedangkan Sersan Boorsma melihat lagi pasukan
rakyat maju pula dari arah jalan yang satu lagi dan Letnan. II Leroux berteriak
minta bantuan karena pasukannya kewalahan dalam serangan pasukan rakyat yang
hening tanpa bersuara. Hanya bunyi dencingan klewang dan laras bedil, serta
bunyi peluru yang tidak tentu arah yang terdengar dalam cahaya remang-remang
yang menegakkan bulu kuduk.
“Begitulah kita harus menghadapi lebih
delapan kali serangan yang terbagi dalam kelompok-kelompok, yang
masing-masingnya terdiri dari dua puluh sampai tiga puluh orang.”
“Pada serangan ke delapan, kata Westenenk
lagi ‘adalah perlawanan yang sangat serius karena jumlah penyerang lebih
banyak, jalan sempit, hanya memberi front yang kecil. Tidak punya ruang gerak”.
“Sementara itu pandangan kami terganggu oleh
asap mesiu, walaupun sedikit tetapi tidak cepat hilang. Tiba-tiba beberapa
penyerang melompat ke depan kami menembus asap mesiu, sehingga serdadu yang
berada di depan saya mundur dan mendorong badan saya ke belakang, karena kaki
saya terhalang oleh sosok mayat di pinngir jalan saya terjatuh ke selokan
rawa’.”
Persis ketika itu, pada saat Westenenk masih
terlentang di dalam selokan dia melihat tiga sosok berpakaian putih-putih
dengan rambut tergerai melayang di udara sambil mengayunkan rudus di tangannya.
Satu orang di antaranya menebas batang leher serdadu Belanda. Tapi yang sangat
mengenaskan pula yaitu seorangnya lagi mengayunkan rudus dan membelah kepala
seorang Sersan yang sedang terdesak, kemudian seorang lagi hinggap, bertengger
tepat di pundak seorang Kopral sambil menjambak rambutnya ke belakang
dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menggesekkan sebilah rudus ke
batang leher Kopral yang tertengedah itu.
“Kau kah itu, Aisyah?,” suara seseorang
terdengar oleh L.C. Westenenk.
“Itu adalah suara Datuak Rajo Pangulu.
Berarti yang membelah kepala sersanku itu adalah istrinya, Siti Aisyah.
Tentunya pula yang menebas batang leher serdadu tadi adalah Siti Anisyah?! Tapi
yang menggesek leher si kopral itu siapa ya...? Dia juga berambut
panjang...?!,” gerutu L.C. Westenenk yang sedang menggigil dalam
keterpurukannya direndam air di selokan.
Ketiga penyerang berambut panjang itu
memisahkan diri mengejar musuh di depan dan di sampingnya sendiri bagaikan
‘singa lapar’ dengan memainkan klewang yang berada di tangannya. Sambil
melompat ke muka dan ke belakang, ke kiri dan kanan menebas tubuh-tubuh para
serdadu Belanda tanpa pandang bulu.
Siapa yang menebas siapa, tidak dapat
dintandai pada pertempuran yang berlangsung pukul 02.00 (dini hari ) hingga
menjelang subuh itu, tetapi tiga orang berambut panjang yang tergerai itu
sangat jelas hantaman dan makan tanggannya, yang semakin memperkecil jumlah
para serdadu Belanda yang selamat.
Kalaulah rambutnya tidak tergerai, tidak
lepas dari ikatan sanggulnya tentulah tidak diketahui bahwa mereka itu adalah
Siti Aisyah, Siti Anisyah dan Siti Maryam yang turut ke medan laga dan yang
tidak kalah dahsyadnya dari kaum laki-laki di jalan yang kecil dekat jembatan
di Kampung Tangah itu. Diperkirakan jalan raya yang lurus itu dari Simpang Koto
Panjang hingga Simpang Pakan Sinayan hanya sekitar satu kilo meter dan lebarnya
sekitar tiga setengah meter.
Setelah serdadu L.C. Westenenk dapat
dilumatkan, kecuali hanya L.C. Westenenk , suasana menjadi sepi,
hening. Dan Haji Abdul Manan kembali ke rumahnya dan
mengumpulkan seluruh pimpinan pasukannya untuk megevaluasi kejadian, menyusun
strategi berikutnya dan beberapa instruksi selanjutnya.
“Induk pasukan Westenenk sudah dapat kita
hancurkan, tinggal sisa-sisanya, tetapi Westenek dimana dia bersembunyi, belum
dapat kita ketahui,” kata Haji Abdul Manan kepada rekan-rekannya. Kari
Bagindo bersama Haji Ahmad disuruh untuk menyelidikinya dan segera
melaporkan hasil penyelidikan mereka itu. Tapi sebelumnya Inyiak Manan
memberikan analisa lagi.
“Hai Haji Ahmad dan yang lainnya. Bahwa yang
berbahaya bagi posisi kita sekarang adalah pasukan sayap kirinya yang datang
dari jurusan Aia Tabik, hingga mereka dapat dengan mudah
mengepung kita dari arah Koto Panjang. Sedangkan dari arah Timur tidak mungkin,
karena mereka melewati tempat terbuka semenjak jembatan dekat Joho hingga ke
Simpang Pintu Koto,” Haji Abdul Manan diam, hening
sejenak.
“Sementara itu kita juga belum mengetahui
bagaimana pertahanan Datuak Parpatiah di Magek dan Datuak Majo Indo di
Koto Tangah. Kalau ini bobol maka pertahanan kita akan terancam bahaya,” sambung
beliau lagi, kemudian hening lagi.
“Dan bagaimana dengan pasukan Kari Mudo di
Hilia, apa mereka sudah mengetahuinya?,” beliau diam lagi.
Sementara menungu jawaban dari masing-masing
pembantunya, Haji Ahmad dan Kari Bagindo mohon diri untuk melakukan tugas
penyelidikannya dalam saat fakum perang sebagaimana yang diisntruksikan Imam
Perang mereka itu sebelumnya.
Syekh Jenggot dan Haji Abdul Samad tampil
menjelaskan bahwa pasukan dari Pauah, Sungai Dareh, Suayan Sungai Balantiak,
Simarasok dan dari Nagari Nan Tujuah sebagai sayap kanan pasukan yang dipimpin
Datuak Parpatiah (Pauah) dengan didampingi oleh Datuak Simajo Nan Gapuak,
Datuak Andaleh, Pakiah Sabatang (Tuangku Imam) dan Sutan Bandaro sudah siap
menyambut kedatangan “tamunya”. Sedangkan pasukan Datuak Marajo Kaluang sudah
merapikan pasukannya pula di Kampuang Tapi hingga ke Marambuang.
Angku Rumah Gadang melaporkan pula bahwa
pasukan Kari Mudo di Hilia,Kamang Hilir sudah diberitahu oleh Angku
Limau Kambiang dan beduk disurau Limau Kambiang sudah dipalu, dan
utusan langsung menemui Kari Mudo pun sudah berangkat.
Tak lama berselang Haji Ahmad sudah
kembali dari peninjauan melakukan penyelidikan sebagaiman yang diperintahkan
pimpinan perang, ayahnya Haji Abdul Manan dan melaporkan bahwa
pasukan Datuak Parpatiah di Magek dan Datuak Majo Indo di Koto Tangah sudah
mengirim utusannya untuk melaporkan bahwa pasukan mereka sudah mengadakan
perlawanan dengan gigih. Kari Bagindo belum memberikan laporan, belum kembali
dari penyedikannya di sekitar Koto Panjang. Laporan komandan-komandan pasukan
seketika itu selesai.
“Perundingan selesai! Semua kita harus tenang
menunggu gerak-gerik musuh. Jangan mendahului, biar mereka yang memulai. Tetapi
sedikit pun tidak ada dan tidak boleh berlalai-lalai!,” instruksi Haji Abdul
Manan setelah selesai mengevaluasi situasi dan hasil penyelidikan.
Selesai briefing, para komandan pasukan di
kediaman Haji Abdul Manan bersalam-salaman satu dengan yang lainnya dan kembali
ke pasukannya masing-masing. Datuak Rajo Pangulu pun kembali pula ke tempat
istrinya bersembunyi di parit sebelah Utara Kampung Tangah bersama Pado Intan,
Tuangku Pincuran, Tuangku Parit, Datuak Gunuang Hijau dan beberpa orang lagi
kawan-kawannya yang sedang menunggu pasukan Westenenk yang akan menerobos dari
arah Barat.
Di semak belukar di sebelah jalan telah siap
pula pasukan Pandeka Mukminyang sedang mengambil posisi untuk
melumatkan pasukan musuh dari arah Timur. Sekarang si Hendrick akan
berhadapan dengan kawannya sendiri yaitu Sersan Boorman yang sedang mengawasi
kawasan Timur sebagaimana yang diperintahkan Westenenk.
Pasukan Westenenk sudah berada dalam sebuah
lingkaran yang dikelilingi oleh militansi Kamang. Keadaannya benar-benar
terjepit. Tinggal menunggu tembakan salvo atau dentuman beduk dengan gema
takbir Allahu Akbar. Menunggu perintah siapa yang akan memulai babakan kecamuk
perang selanjutnya.
Haji Abdul Manan sudah mengevaluasi situasi
terakhir, sedangkan Westenenk masih dalam kegalauan. Pasukan Haji Abdul Manan
sudah rapi membentuk sebuah lingkaran bola-bola api. Pasukan Westeneng kacau
balau di titik tengah lingkaran bola-bola api tersebut.
Ramuan tradisional yang diseduh sore hari
oleh pasukan Haji Abdul Manan mulai memperlihatkan reaksi. Tuak untuk
menghangatkan darah dan menghilangkan rasa takut pasukan yang di ‘sasok’,
diteguk berulang ulang oleh pasukan Westenenk sebelumnya di balai prajurit
dekat Birugo itu telah kehabisan khasiatnya, karena telah
terkuras oleh perjalanan panjang dan labrakan sesaat dari pasukan Haji Abdul
Manan. Jangankan untuk menghisap candu, memasukkan peluru ke senapannya saja
tidak sempat lagi.
Suasana tetap sunyi, sepi! Satu pasukan
napasnya sesak menunggu gerik musuh. Pasukan yang satunya lagi jantungnya
berdenyut kencang dalam kecemasan. Dalam kesunyian yang tak terperikan itu,
dentuman salvo yang diiringi asap tebal mengiringi bola api menjulang kelangit
serta diringi bunyi tiupan terompet perang dari arah Barat membelah kesunyian.
Dari siraman cahaya letusan komando itu Kari
Bagindo melihat jelas posisi keberadaan Westenenk di sebelah Barat dia berada
yang akan diperkuat oleh induk pasukannya di Koto Panjang. Kemudian bergegas
melaporkan kepada abangnya Haji Ahmad yang segera pula melaporkan kepada
Ayahnya Haji Abdul Manan.
Terompet komando dari induk pasukan itu
dijawab oleh pasukan sayap kiri musuh. Pasukan induk yang dipecah di Simpang
Banto dekat Simpang Empat Sungai Tuak telah masuk jurusan Barat menuju Kampung
Tangah, mereka berjalan – ‘maojok-ojok’ – dalam kewaspadaan pada kiri dan kanan
jalan, tak obahnya seperti burung onta berjalan di tengah padang. Tanpa
diketahuinya, secara diam-diam pasukan Datuak Marajo Kaluang mengikutinya dari
belakang.
Sesampai pasukan musuh di bahagian Barat
Kampuang Tangah, Syekh Jenggot, Haji Jabang meneriakkan suara takbir
“Allaaahuakbar...!”, dengan sekeras-kerasnya dalam semangat yang mendidih.
Teriakan takbir itu disahuti pula oleh Datuak Rajo Pangulu. Tibalah saatnya
pasukan yang bertahan pada posisi Barat dan Timur berhamburan maju mengeroyok
pasukan Westenenk beserta sisa pasukannya yang bertahan di Kampung Tangah. Dari
arah belakang sisi Barat pasukan Haji Jabang dan kawan-kawannya menyambut
kedatangan sayap kiri musuh. Dibelakang sekali dari pasukan musuh itu diburu
dan didesak pula oleh pasukan Datuak Marajo Kaluang.
Ronde selanjutnya dimulai, karena pasukan
putih terbantu oleh kilatan stripstrip putih pakaian dan jumbai topinya pasukan
Westenenk. Sehingga memudahkan sasaran penglihatan. Tanpa hayal lagi Syek
Jabang mengganas tak kenal ampun bersama Tuangku Parit, Tuangku Pincuran Datuak
Marajo Kaluang, Datuak Marajo Tapi, Datuak Parpatiah Pauah, Sutan Bandaro
Kaliru dan Siti Aisyah yang didampingi suaminya Datuak Rajo Pangulu.
Bunyi letusan bedil hanya terdengar satu kali
sewaktu penyerangan mendadak dimulai oleh pasukan Seyekh Jabang. Selanjutnya
yang terdengar adalah gemerincing besi, kelewang beradu dengan laras senapan,
bayonet beradu menangkis rudus dan pedang.. Bunga api dari peluru yang meluncur
dari laras pancang berganti sudah dengan percikan bunga api besi yang beradu
dan bergesekan. Pasukan Belanda kalang kabut tak tentu arah.
Ucapan-ucapan kotor keluar dari mulut pasukan
marsose yang kena sayatan dan hantaman kelewang. Sebaliknya kalimat suci,
tasbih, tahmid, tahlil dan istighfar dari pasukan Haji Abdul Manan meningkah
kelatahan pasukan Belanda itu.
Haji Jabang, Syekh Jenggot sambil
berkucitak dalam kecamuk itu tetap meneriakkan kalimah-kalimah yang membakar
semangat pasukan fi sabilillah itu. “La takhaf wa la tahzan. Allahu ma’ana.
Jangan takut dan gentar. Allah bersama kita.”
Komando itu disambut pula oleh Datuak Marajo
Kaluang dengan pekikan ‘Allauhu Akbar’ berulang-ulang sambil memburu,
menggempur dari bagian barisan musuh yang sudah dikuntitnya dari tadi. Pasukan
musuh kucar-kacir, ada yang melompat ke dalam parit, selokan, melompat kolam,
ke dalam sawah, tetapi tetap saja mendapat labrakan kelewang karena pasukan
Bansa Kamang sudah bertebaran di sekeliling mereka, bak menunggu sapi masuk
kandang untuk dijagal. Lumat sudah pasukan sayap kiri musuh yang datang dari
arah Air Tabik, setelah longmarch sejauh lebih kurang 17,5 km hingga 20 km dari
kota Ford de Kock itu.
Di bahagian Timur Kampung Tangah pertempuran
berjalan dengan dahsyadnya pula, kejar mengejar di tengah jalan, lompat
melompati selokan, decakan rudus, kelewang memindai di punggung dan pundak para
marsose meningkah tarian pedang dan bayonet yang disandang mereka.
Suara hening kembali menandai perlawanan pada
ronde ini selesai pula. Haji Abdul Manan dan komandan masing masing pasukan
kembali ke rumah untuk melakukan evaluasi, penyelidikan dan follow-up untuk
mengatur strategi berikutnya. Hari semakin larut juga. Udara semakin lembab,
waktu Subuh semakin mendekat.
Kali ini instruksi yang diberikan Haji Abdul
Manan adalalah “...andaikan subuh sudah datang, maka diperintahkan kepada seluruh
pasukan untuk menyingkir dan menyelamatkan diri pada siang hari, karena di
siang hari musuh akan mudah untuk mengarahkan senjatanya guna menghabisi
pasukan kita dan bahkan seluruh isi kampung ini,” katanya.
“’Dan kamu!,” kata beliau, Inyiak Manan lagi
kepadaku. “Andaikan peperangan ini tidak dapat dilanjutkan lagi, dan andaikan
pula kita kehilangan pemimpin, bahkan termasuk saya sendiri, maka kepadamu aku
amanatkan untuk berupaya menyelamatkan diri secepatnya guna terwarisinya kisah
peperangan ini kepada anak cucu kita nanti.”
Haji Abdul Manan diam, menekurkan wajahnya
dan terlihat lehernya menegang, menelan ludahnya untuk membasahi kerongkongan
yang sudah kelat. Kemudian air putih pun di hidangkan yang punya rumah.
“Sedapat mungkin kamu upayakanlah untuk dapat
menyelamatkan diri ke Tanah Semenanjung, karena Ulando tidak akan mungkin
mengejarmu sampai ke sana, karena Semenanjung telah di kuasai oleh Inggirih
(Inggris). Konon kabarnya pula, Syekh Taher Jalaluddin, saudara
sepupu Syekh Ahmad Khatib al Minangkabauwi sudah menetap pula di
negeri Semenanjung itu,” lanjut beliau lagi dan sedikit merangsang pertanyaanku
pada beliau.
“Berarti Syekh Taher saudaranya
Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkekitu, Nyiak?.”
“Ya. Beliau saudara Amin Pamuncak,
Muhammad Amin Pamuncak Sutan Bagindo.”
“Ada bagusnya pula apabila menemui beberapa
karib-kerabatku di Sungai Ujong di Negeri Sembilan terlebih
dahulu, selain keteranganmu sendiri, berikanlah sepucuk surat saya ini untuk
lebih menguatkan keteranganmu, supaya kamu bisa diterima mereka di sana,”
sambung beliau lagi dan kemudian memberikan lembaran kertas yang berlipat, yang
beliau keluarkan dari kantong ikat pinggang ‘kamareleng’-nya yang besar
itu.
“Pada suatu saat yang telah memungkinkan,
kamu susunlah riwayat perjuangan kita ini dalam menegakkan kedaulatan kita dan
mengenyahkan kaum kafir di bumi kita ini. Selanjutnya kamu rawikan pulalah
kepada pejuang-pejuang kita nanti dan kepada orang-orang yang singgah di – ‘gua
persembunyianmu’ – itu. Kamu paham maksudku?”
“Insyaallah, Nyiak,” jawabku dengan anggukan
kepala sebagai takjupku yang laur biasa pada beliau.
Dengan air mata berlinang, aku berusaha
meyakinkan beliau di hadapan para komandan pasukan perang itu. “...segala
petuah dan amanah Inyiak akan ambo pegang teguh. Semoga Allah, Swt pun
memberikan perlindunganNya kepadaku dan kepada semua pejuang kita.”
Mendung yang sedang menunggu sambaran
halilintar. Dengan mengangkat wajahku setengah menengedah dan sedikit suara
agak serak aku tegaskan lagi “Insaallah, Nyiak!!!”
Pertemuan mendadak di rumah Haji
Abdul Manan larut tengah malam itu, tanpa diduga sebelumnya juga
dihadiri oleh Majo Ali, seorang utusan Siti Mangopoh yang
sengaja datang menemui Haji Abdul Manan dengan maksud untuk mengkonfirmasikan
kapan serangan terhadap Belanda akan dilancarkan. Tau-taunya malam itu, Majo
Ali pun turut terlibat dalam kancahpeperangan di Kamang itu.
Padahal Siti Maryam, si “chivalry” itu
sudah diutus oleh Haji Abdul Mananke Mangopoh untuk
memberitakan bahwa perang melawan Belanda akan dimulai malam itu di Kamang dan
segera pula letuskan perang di Mangopohdan sekitarnya.
“Majo Ali! Sekarang segera pulalah
kamu kembali ke Mangopoh. Beritakan kejadian malam ini kepada Siti
dan pejuang kita yang lainnya. Dan kobarkan secepatnya semangat perang ini
sampai ke Pariaman. Jangan biarkan serdadu Ulando itu dapat bernapas walaupun
untuk satu hirup hisapan rokok! Kalau mereka mendapat peluang dan kesempatan
meskipun sekejab maka habislah kita, karena mereka dibantu dengan peralatan
perang yang maju dan pertolongan para pengkhianat perjuangan kita. Kepung dan
lakukan serangan cepat dan mendadak, dan pecah pasukannya dengan penghadangan
awal pada tengah-tengah barisannya! Serangan harus terpusat dengan pola
maju-mundur, dan kalau musuh berada dalam garis pertahanannya atau benteng
lakukan penyusupan terlebih dahulu dan hantam sekonyong-konyong!.” Demikian petunjuk
terakhir dari Imam perang di Kamang malam itu.
“Sudah waktunya kalian untuk berangkat, dan
kami pun akan melanjutkan perlawanan, guna menghabiskan sisa-sisa pasukan
Ulando dan Siteneng itu sendiri.!,” sambung Inyiak Manan lagi
kepada Majo Ali.
“Tapi, Nyiak! Kami harus membawa serta Inyiak
malam ini untuk memimpin perjuangan pasukan – ‘tujuh belas’ – kita di Mangopoh.
Kami berharap Inyiak memimpin zikir selama perang berlangsung. Ini pesan khusus
dari Kak Siti,” pinta Majo Ali.
“Haji Abdul Gafar kan ada yang akan memimpin
zikir,” tanggapan Haji Abdul Manan.
“Iya Nyiak!, tapi kami telah sepakat agar
Inyiak yang memimpin zikir itu.”
“Sekarang tidak mungkin Majo (Ali), karena di
sini perang belum selesai, belum berakhir,” kata Inyiak Manan lagi.
“Kalau begitu, Nyiak. Biarlah saya tunggu.
Sama-sama kita selesaikan dulu pekerjaan yang terbengkalai ini, di sini!,”
tegas Majo Ali pula.
“Maryam bagaimana?,” tanya Haji Abdul Manan
“Biarlah Maryam berangkat terlebih dahulu,
Nyiak. Atau paling tidak Maryam akan menunggu di tempat yang telah kami
sepakati tadi,” jawab Majo Ali.
Bersamaan dengan terperanjatnya saya
mendengar perkataan Majo Ali itu, Kak Siti Aisyah memecah
suasana dialogis itu, “O, ya! Apakah kamu tidak punya pesan kepada Maryam?,”
kata Kak Siti Aisyah kepadaku sambil mengikat kembali rambutnya yang tergerai
itu. Sehingga orang-orang diatas rumah serentak terdiam dan menoleh kepadaku.
“O,ya, Kak Aisyah! Sebetulnya di halaman
rumah nanti akan saya sampaikan kepada Tuan Majo Ali. Tetapi karena sudah kakak
mulai, ya..., tidak apalah, langsung sajalah sekarang saya sampaikan,” jawabku
kepada Siti Aisyah.
“Tuan Majo Ali, sampaikan salam saya kepada Siti
Maryam, dan kalau sempat ceritakanlah kepadanya bagaimana kelincahan dan
kehebatan Kak Siti Aisyah dan Etek Siti Anisyah dalam menghadapi serdadu Ulando
ini tadi. Kedua wanita kita itu benar-benar bagaikan ‘naga terbang’.
Mudah-mudahan hatinya senang dan dapat menggelorakan semangat juangnya di
sana.”
“Bukan hanya berdua, Juru Tulis. Tapi bertiga
perempuan kita malam ini!,” pintas Majo Ali.
“Bagaimana...?,” tanyaku heran.
“Oh, maksudku Juru Tulis! Kilah Majo Ali
kembali ‘apakah tidak sebaiknya kamu saja langsung untuk menemuinya?,”
sambungnya.
Pernyatan Majo Ali semakin membingungkan aku
dan termasuk semua orang di atas rumah itu, kecuali Inyiak Manan, Mak Datuak
Rajo Pangulu dan Kak Siti Aisyah.
“’Memangnya kenapa, Tuan Majo? Kan dia,
Maryam’, kataku untuk lebih memastikan ‘sedang ke Mangopoh. Dan saya tidak
mungkin menyusulnya ke sana malam ini, Tuan?!,’” sambungku lagi kepada Tuan
Majo Ali.
“Bukan begitu maksudku!,” kata Tuan Majo Ali
“Lalu...?,” desakku lagi.
“Barangkali kamu kurang arif tentang maksud
Aisyah tadi, Juru Tulis!,” jawab Tuan Majo Ali, membuat aku semakin bingung,
apa sebutulnya yang terjadi dan rahasia apa sebetulnya yang luput dari tugasku.
“Maryam masih di sini, Juru Tulis!,” kata
Tuan Majo Ali kepadaku.
Dengan serta-merta aku terlonjak kaget,
bingung, nanar seperti orang kehilangan akal.
“Dia juga turut bertempur sebentar ini
bersama Guru Tuonya ini,” jelas Majo Ali sambil menunjuk Kak Siti Aisyah.
“Tolong ulangi sekali lagi, Tuan Majo!,
apakah aku tidak salah dengar tentang yang Tuan katakan itu!,” desakku untuk
lebih meyakinkan, tentang keterlibatan Maryam pada pertempuran sesaat tadi dan
entah dironde keberapa di masuk ke arena pertempuran. Kemudian Tuan Majo Ali
mengulangi lagi kalimat yang sama kepadaku.
“Juru Tulis, Maryam masih di sini, dia turut
berperang bersama-sama kita sebentar ini, dia telah bergabung dengan Aisyah dan
Anisyah, Juru Tulis!”
“Betulkah itu, Tuan? Lalu, kenapa bisa
begitu, Tuan Majo?” Tanyaku lagi dengan penuh haru dan antusias.
“Memang, tadi sore Maryam telah memacu
kudanya menuju Mangopoh. Tetapi, sesampai di Simpang Gudang kami bertemu,
karena saya juga menuju kemari ingin meminta penjelasan kapan perlawanan akan
dimulai. Di sana terjadi pembicaraan kami, dia langsung menceritakan kondisi
terakhir di sini, bahwa sudah dapat dipastikan pada malam ini perlawan akan
berlangsung. Sejenak kami menyoal kondisi ini dan langkah apa yang akan kami
tempuh. Apakah dia berbalik ke sini dan saya kembali ke Mangopoh membawa berita
dari Maryam tersebut. Namun aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke
sini, akan turut bertempur sebisanya, maka Maryam pun tersentak dan memutuskan
pula untuk balik ke sini. Sehingga kami putuskan bahwa kami berdua untuk
secepatnya sampai di Kamang ini. Sesampai kami di sini keadaan sudah kacau,
perang sudah berkecamuk, maka Maryam langsung meberikan perintah padaku untuk
menyusup ke barisan Syekh Jenggot dan dia, yaitu Siti Maryam akan bergabung
dengan Pandeka Mukmin. Dan selama di perjalanan Maryam sudah menjelaskan pula
kepadaku tentang strategi, posisi dan kepala pasukan,” jelas Majo Ali kepadaku.
“Apakah Inyiak dan Mak Datuak sudah
mengetahui hal ini, sebelumnya?,” tanyaku pula pada Inyiak Manan dan Mak Datuak
Rajo Pangulu.
“Sudah. Sudah ada kurir yang menyampaikan
kepada kami bahwa mereka berdua berada di sini dan turut bertempur!,” jawab
Inyiak Manan.
“Lalu, dimana dia sekarang, Tuan Majo?,”
tanyaku lagi kepada Majo Ali.
“Itulah dia Siti Maryam, masak kamu tidak
mengenalnya? Dia itu bertempur seperti siluman, dengan secepat kilat dia
menyerang dan secepat itu pula dia menghilang. Kemudian menyerang lagi dan
menghilang lagi,” jawab Majo Ali.
“Dia sekarang sedang bersama Kak Siti
Anisyah!,” sela Siti Aisyah dengan tegas.
“Tetapi selama diperjalanan tadi kami juga
telah sepakati bahwa andaikan kami selamat dalam kecamuk perang malam ini, maka
menjelang subuh, selesai atau tidak peperangan ini maka kami harus tinggalkan
dan bersama-sama pula kembali ke Mangopoh untuk mengkondisikan dan membantu
perlawanan di Mangopoh bersama pasukan – “tujuh belas” – dan dia sendiri
akan mendampingi Kak Siti, istri Tuan Rasyid (Hasyik) Bagindo Magek
nantinya. Barangkali dalam kondisi perang yang agak reda ini dia sudah berbalik
menuju Mangopoh. Dia pasti menunggu saya di sebuah tempat yang sudah disepekati
di Garagahan, atau kalau saya yang duluan sampai di sana, maka saya yang
menunggunya untuk bersama sama memasuki Mangopoh,” jelas Majo Ali lagi
kepadaku.
Mendengar semua pemaparan Majo Ali itu,
sehubungan dengan Maryam, aku hanya termangu-mangu memikirkan betapa militannya
si perawan desa itu, dia relakan kecantikan wajahnya dicabik-cabik peluru
serdadu Belanda. Juga terlintas dipikiranku .....’apakah dia tidak ingin
berjumpa denganku, atau dia memang telah melihat sosokku dalam kecamuk tadi?’
Akh..!, aku kehilangan kendali lagi ulah si ‘chivalry’ itu, yaitu perempuan
satria dengan kepribadian sempurna penuh keteladanan nan selalu berbakti pada
Tuhan.
Setelah selesai mengatur strategi di rumah
Haji Abdul Manan itu, kemudian kami berangkat kembali ke medan
pertempuran, berniat untuk menghabisi sisa pasukan dan termasuk L.C.
Westenenk sendiri yang masih belum diketemukan. (bersambung)
______________________________________
Bagian XVIII.
(Badai Menjelang Subuh)
JALU-JALU adalah sejenis tumbuhan rambat yang
tumbuh liar di rimba-rimba, buahnya menjadi konsumsi burung. Tapi, bagi pemuda
di Minangkabau telah menjadi pokok pantun yang didendangkan setiap mengakhiri
sebuah acara, biasanya dalam mengakhiri acara bergurau saluang. Saluang
merupakan alat musik tiup tradisional asli Minangkabau daratan, dari Luhak
Agam. Dendang jalu-jalu dinyanyikan ditengah malam menjelang subuh hari sebagai
lagu perpisahan;
“Jalu-jalu di dalam parak,
makanan anak tiuang rimbo.
Sagitu dulu oi... urang banyak,
bapisahlah dulu kito samantaro.”
Pasukan Datuak Rajo Pangulu dan Siti Aisyah
sudah bergabung dengan Haji Abdul Manan menyelesaikan pekerjaaan yang masih
terbengkalai. Dalam gabungan pasukan Haji Abdul Manan dan Datuak Rajo Pangulu,
Siti Aisyah berusaha untuk mendekati Siti Anisyah guna menyampaikan taktik
serangan yang sudah di atur di rumah Haji Abdul Manan.
Ternyata tidak gampang pula untuk mengenali
wajah Siti Anisyah dalam kerumunan pasukan itu, karena disamping hari malam
adalah karena Siti Anisyah pun sama dengan Siti Aisyah yaitu sama-sama
berpakaian laki-laki berwarna putih.
Setelah mereka bertemu dan membicarakan
strategi, maka Aisyah dan Anisyah merayap dalam selokan antara sawah dan jalan
raya. Siti Aisyah di sebelah kiri jalan sedangkan Siti Anisyah di sebelah kanan
jalan, masing-masingnya didampingi pula oleh pasukan laki-laki, tentu saja yang
sangat dekat di sisinya adalah suami-suaminya sendiri.
Untuk mengelabui pasukan Belanda yang sedang
waspada di sepanjang jalan raya, maka sebahagian lagi pasukan berpakaian laki
laki berwarna serba putih itu tetap meratib menyebut asma’ul husna
Lailahailallah..., sambil berjalan di tengah jalan raya dengan rudus yang
selalu waspada pada masing-masing tangan mereka.
Sesampai dipertengahan barisan serdadu
Belanda, kedua srikandi yang merayap membungkuk-bungkuk sambil mengendap
mengendap itu berhenti sejenak menunggu pasukan yang bergerak dari arah Timur,
dan bersiap-siap pula menunggu aba-aba berikutnya dari komandan pertempuran.
Pasukan Westenenk terpukau oleh gerakan
pasukan yang berada di ujung jalan raya, baik dari arah Barat maupun dari arah
Timur. Apalagi mendengar gemuruh suara ratib Lailahailallah...!
Lailahailallah...! Lailahailallah...!, Secara serentak, yang semakin lama
semakin mendekat ke arahnya.
Pada kondisi pasukan L.C. Westenenk dalam
keadaan terkepung barulah teriakan komando Allahuakbar...! menggema,
menggelegar, keluar dari kerongkongan Syekh Jenggot. Dan dengan secapatnya pula
pasukan rakyat secara serentak berhamburan dari dalam sawah ke tengah pasukan
Belanda itu.
Dalam keadaan serdadu Belanda terpana itu
terdengar pula suara teriakan wanita yang melengking dari sebelah kiri dan
kanan jalan, yang diringi oleh bayangan putih yang melayang ke tengah jalan
membelah barisan pasukan Belanda tersebut. Seketika itu pula rudus di tangan
dua orang srikandi dari Kamang Hilir itu, Siti Aisyah dan Siti Anisyah berdecak
merambah batang leher, punggung, dada dan pangkal bahu serdadu Belanda.
Rudus-rudus srikandi itu sangat leluasanya meliyuk kiri dan kanan dari arah
atas ke bawah, karena kelincahan dan kelihaian pemiliknya memainkan rudus
diantara tubuh musuhnya. Srikandi-srikandi itu dengan pinggangnya yang lemah
melompat terbang kiri dan kanan, muka dan belakang seakan tidak mendapat
perlawanan dari serdadu Belanda, yang terdengar hanyalah erangan dan jeritan
mereka karena di ‘semba’ klewang perempuan perempuan yang sudah bringas itu.
Decakan klewang dan rudus para pasukan putih
itu hanya dibalas dengan tembakan serdadu yang tidak tentu arah dan membabi
buta. Hanya untuk satu kali tembakan bagi masing-masing serdadu itu, karena
tidak sempat lagi mengisi peluru untuk tembakan berikutnya. Untuk kesekian
kalinya guna menyelamatkan diri terpaksalah mereka mempergunakan bayonet yang
menempel di ujung senapannya tersebut. Dan secara kebetulan pula diantra
tembakan mereka itu ada yang mengenai sasaran, mayat para kawan kawan srikandi
itu satu persatu berjatuhan dan bergelimpangan juga di dalam sawah, di dalam
selokan dan di tengah jalan raya, seperti ronde ronde sebelumnya.
Pertempuran yang membutuhkan stamina yang
kuat itu menyebabkan perlawanan dilakukan beberapa kali gelombangan serangan, dengan
cara silih berganti antara kelompok yang maju dan kelompok yang beristirahat.
Sewaktu beberapa kelompok yang sudah bertempur mengundurkan diri, maka beberapa
kelompok dalam keadaan siap sedia di belakangnya maju untuk menggantikan.
Pasukan yang mundur langsung ke tempat perlindungan yang sudah dikondisikan
untuk beristirahat guna memulihkan tenaganya sambil mengkoordinasikan kembali
anggota pasukan, sehingga dapat pula sekaligus menghitung jumlah anggota yang
tinggal dan sebaliknya yang telah menjadi korban. Dalam kondisi frontal,
serangan berlapis itulah taktik perlawanan yang dilakukan pasukan Kamang yang
tergabung dari berbagai anak nagari di Minangkabau sebagai utusan partisipatif
atas perjuangan anti belasting dengan pusat pergerakan dan perlawanannya di
Kamang, Agam.
Sewaktu Siti Aisyah beristirahat setelah
beberapa kali bertempur, tiba-tiba bangun dan melompat ke arah serdadu Belanda
yang tetap waspada. Siti Aisyah berlari dengan rambut yang tergerai lagi dan
pakaian putihnya yang telah berhiaskan semburan darah-darah musuhnya. Aisyah
melompat, menyerbu ke arah tiga orang serdadu Belanda yang sedang bersusah
payah karena terburu-buru mengisi peluru senapannya. Siti Aisyah menebas batang
leher dua orang serdadu kiri dan kanan dengan sebilah klewang dalam
genggamannya. Dengan secepat kilat dia kembali bagaikan ‘naga mengamuk’.
Sewaktu Aisyah mengejar yang seorang lagi, terkilat oleh suaminya Datuak Rajo
Pangulu dan seketika itu juga Datuak Rajo Pangulu berteriak memperingatkan
Aisyah untuk berhenti mengejar serdadu itu.
“Aisyah. Jangan...!,” teriak Datuak Rajo
Pangulu.
Tetapi si ‘guru tuo’, Siti Maryam itu sudah
terlanjur membuat reaksi melompat dan melayang di udara maka dia seakan tidak
memperdulikan larangan suaminya itu.
Pada jarak sekitar tiga meter menjelang
berhadapan dengan serdadu yang terbirit lari memanggul senjatanya ketengah
sawah mencari tempat bersembunyi, tau-taunya kaki Siti Aisyah terpeleset pada
sebuah unggukan tanah di dipematang sawah, Aisyah terjatuh masuk selokan kecil.
Dia berusaha untuk bangun secepatnya, tapi pergelangan kakinya yang terperosok
itu terasa sakit untuk diangkat. Tau taunya dua orang serdadu lagi sudah
berdiri di dekatnya dan langsung mengacungkan laras senjata ke arahnya.
Dalam keadaan sedang terlentang tak berdaya,
Siti Aisyah hanya menggelinjang sebentar tanpa rintihan apa-apa ketika salah
seorang dari dua serdadu masrose itu memasukkan ujung laras senjatanya ke mulut
Aisyah dan langsung menarik pelatuknya. Dalam satu letusan yang membelah
kesunyian malam itu terkaparlah ‘srikandi’ yang perkasa itu dalam lumuran darah
bercampur keringat. Meskipun kedua serdadu itu adalah bangsanya sendiri. Karena
memang rekrukment prajurit marsose itu umumnya orang Batak, Ambon, Bugis, Jawa
dan Madura.
Dengan wajah yang tenang Siti Aisyah telah
menghadap Sang Illahi sebagai seorang syuhada, darahnya mengalir mewarnai air
sawah yang baru ditanami padi.
Melihat istrinya terkapar di pinggir sawah
yang baru beberapa hari selesai ditanami padi itu Datuak Rajo Pangulu yang
sedang bertempur menghadapi dua orang serdadu Belanda lantas berpaling dan
berbalik kearah istrinya. Datuak Rajo Pangulu merangkul, memeluk – ‘menghibai’
– istrinya itu, adalah ciuman terakhir yang penuh kepiliuan.
Kemudian dia bangkit kembali meninggalkan
istrinya di pematang sawah itu untuk kembali mengejar serdadu Belanda, untuk
menuntut balas dalam kekalapan. Namun sebelum mencapai musuh terdengar lagi
sebuah letusan, ternyata punggungnya telah ditembus timah panas pula.
Akan tetapi Datuak Rajo Pangulu tetap
berusaha untuk bertahan dan berbalik melangkah ke arah istrinya. Dengan langkah
terseot-seot Datuak Rajo Pangulu berusaha menuju pembaringan istrinya. Pada
saat bersamaan, ternyata peluru senjata api Belanda kembali menembus bahagian
bawah dada sebelah kanan Dt. Rajo Pangulu dan berapa langkah kemudian dia
tersungkur tepat disamping tubuh istrinya, Siti Aisyah. Datuak Rajo Pangulu
menyertai kepergian istri tercintanya sebagai seorang syahid dalam menentang
kaum kafir itu. Cinta sejati dibawa mati.
Westenenk menembakkan pestol komando,
diiringi terompet perang dari arah Barat, tetapi tidak dibalas oleh terompet di
arah Timur. Wetenenk terpaksa memberanikan diri, maju dari arah Barat.
Haji Abdul Manan yang didampingi anakanya Haji
Ahmad dan Kari Bagindo dengan pasukan intinya yang semenjak tadi sudah siap
sedia – ‘mengelus’ – kuduk Westenenk, dengan klewangnya yang terhunus di
tanggannya.
Haji Abdul Manan dengan suaranya yang nyaring
mengomandokan pasukannya untuk serentak maju ke tengah-tengah pasukan Westenenk
yang telah mulai bergerak lagi setelah mendengarkan tembakan salvo dan bunyi
terompet perang. Haji Abdul Manan langsung ‘melalah’, mengejar ke arah tembakan
salvo tadi, tetapi Westenek tidak ditemukannya. Amarahnya pun mulai memuncak,
dengan suara lantang Haji Abdul Manan berteriak.
“Hai... Westenenk majulah kau, aku ada di
sini!!!” Tapi westenenk tidak menjawab.
“Katanya kamu mencari aku! Ini aku, Haji
Abdul Manan yang kau cari-cari itu. Majulah, Westenenk!!! Tunjukkanlah
keberanian mu!!! Jangan hanya bisanya mengancam-ancam kami rakyat. Jangan hanya
bisanya memerintah saja!!!,” teriak Haji Abdul Manan lagi. Tetapi Westenenk
jangankan memperlihatkan sosoknya menjawab pun tidak.
‘Biang ka cabiak, gantiang kaputuih’. Supaya
jelas jantan betinanya. Haji Abdul Manan menerjang musuh kiri dan kanan yang
didampingi oleh darah dagingnya sendiri Haji Ahmad dan Kari Bagindo. Sayap
Kanan Haji Abdul Manan serentak maju menghantam musuh, Rauangan, rintihan
pasukan inti Westenenk yang kena tebas pedang, klewang dan rudus itu sangat
mengerikan, merindingkan bulu roma. Sayatan senjata tajam itu seperti sengatan
bisa seekor reptil, mereka menggelapar seperti ikan terpental ke atas pematang
sawah yang berjemur matahari. Sisanya mundur, tetapi pasukan inti Haji Abdul
Manan mendesak terus, semakin garang, mengganas seperti sekawanan binatang
‘fanther’ yang lapar memburu sekawanan zebra di kaki Gunung Kilimanjoro,
Afrika. Lonjakan spirit, semangat seirama hentakan suara ratib, zikir La Ilaha
Ilallah...!, La Ilaha Ilallah...!, La Ilaha Ilallah...! yang tak
putus-putusnya.
Tiba-tiba dari arah kiri Haji Abdul Manan
terdengar orang memanggil.
“Ayah...!, ayah...!,” dengan pelan, seperti
Haji Abdul Manan mengenal persis suara itu dan berlari ke arah suara itu.
“Ayah, aku ada di sini!” Dan Haji Abdul Manan
segera melompat ke arah suara itu. Ternyata anaknya, Kari Bagindo.
“Ayah, aku kenah. ‘Yah!,” kata Kari Bagindo.
Haji Abdul Manan berjongkok dan membungkuk
memeluk anaknya. Beliau terharu mendengar rintihan anaknya itu.
“Kamu kena, Kari?!” Dan merobek baju putih
anaknya yang sudah berlumuran darah untuk memeriksa lukanya. “Apamu yang kena,
Kari?!”
“Dadaku, Ayah!” Dengan suara lembut, letih
Kari Mudo menjawab, memberi tau lukanya. Baju Kari Bagindo disobek, lukanya
dibersihkan ayahnya. Haji Ahmad, abang Kari Bagindo pun menghampiri ayahnya
untuk memberikan pertolongan untuk adiknya.
Kari Bagindo semakin melemah, lunglai dan
tidak berdaya lagi karena kehabisan darah. Haji Abdul Manan membuka sorbannya
yang melilit kepala, leher dan sebahagian wajahnya dan disobek untuk membalut
luka anaknya. Kemudian Kari Bagindo dibaringkan di atas lutut Haji Ahmad yang
sudah dapat melumpuhkan musuh, menyelesaikan tugasnya.
“Bagaimana ayah, berat lukanya, Ayah?,” Haji
Ahmad bertanya sambil memangku adiknya menggantikan Haji Abdul Manan yang sudah
kelihatan letih. Letih bukan hanya karena seorang – ‘gaek’ – tenaganya
terkuras, tetapi melihat anak – sibuah hati – merintih kesakitan, luka terganga
di dada anaknya merontokkan seluruh stamina, persendiannya terasa lemah. Haji
Abdul Manan tidak bersuara, hanya mengangguk saja menjawab tanya Haji Ahmad.
Suasan kembali sunyi seketika.
Haji Jabang menyusul ke arah Haji Abdul Manan
dan melaporkan bahwa Datuak Rajo Pangulu dan istrinya Siti Aisyah serta Datuak
Marajo Kaluang sudah duluan kembali keharibaan Allah, Swt Yang Maha Suci, gugur
dalam pertempuran. Tetapi Westenenk sudah tidak dapat ditemukan lagi, namun
kawan kawannya masih tetap mencari Kontroleur tersebut.
Haji Abdul Manan semakin terhenyak, terharu
karena satu persatu orang-orang yang disayanginya berangsur meninggalkannya
untuk selama-lamanya.
“Aisyah. Kamu luar biasa!.” Hanya dengusan
itu terdengar lembut dari mulut Haji Abdul Manan, sebagai reaksinya atas
laporan Haji Jabang.
“Angkatlah semua kawan-kawan yang telah gugur
ketempat yang patut dan aman, dan sebahagian lagi kerahkan mencari Westenenk
beserta sisa pasukannya,” perintah Haji Abdul Manan kemudian. Bersamaan dengan
itu Pandeka Mukmin pun datang melapor.
“Pasukan Musuh sudah habis. Karena hari sudah
mulai dekat Subuh, kita harus berpisah supaya kami dapat kembali lagi ke
Bukittinggi,” kata Hendrick, si Pandeka Mukmin.
“Ya, terimakasih atas bantuanmu, Nak!
Upayakan dirimu tidak sengsara, Ya!”
“Baiklah, Ayah!,” jawab Pandeka Mukmin yang
tersohor juga denga sebutan ‘Pendeka Ulando’ itu. Mereka bersalam-salaman
sebagai tanda perpisahan. Pandeka Mukmin kembali menemui kawan-kawannya dan
pakaian dinas militernya pun dikenakan kembali.
Haji Jabang yang mendapat perintah sudah
menggerakkan anak buahnya untuk menyelamatkan pasukan yang menjadi korban ke
Kampung Tangah. Suasana semakin hening, Kari Bagindo masih bernapas lemah
diangkat oleh kawan-kawannya ke atas Surau di Kampung Tangah.(bersambung ke
bagian 2)
Tiba-tiba
dari kejauhan yang sayup sayup sampai kedengaran bunyi terompet. Dalam hening
semuanya mendongakkan kepala masing-masing dengan mengarahkan pendengran untuk
memastikan dari arah mana bunyi terompet tersebut. Lalu Haji Ahmad memecahakan
kesunyian.
“Ayah, bunyi terompet itu kedengarannya dari arah Magek. Mungkin pasukan Mantri Warido. Kalau pasukan bantuan dari Bukittinggi tidak akan mungkin,” kata Haji Ahmad.
“Ya, ya!,” sambung Haji Abdul Manan dan Haji Jabang serentak.
“Semua pasukan harus dipersiapkan kembali untuk menyambut kedatangan pasukan sayap kanan musuh. Ini berarti pertahanan Datuak Parpatiah Nan Sabantang di Magek dapat ditembus musuh,” kata Guru Siti Maryam dan pemimpin besar perlawnan rakyat yang anti belasting itu.
“Ada apa gerangan sehingga sekawanan buaya darat itu lepas dari perangkap Datuak Parpatiah Nan Sabantang? Kalau begitu untuk apa pula bersumpah setia sehidup dan semati?,” tanyanya lagi kemudian.
“Sekarang Bersiaplah!!! Esa hilang dua terbilang. Relakanlah tulang belulang kita berserakan di jalan. Ikhlaskanlah nyawa berpisah dengan badan sebagaimana kawan kawan kita yang sudah syuhada itu. Biarkanlah sejarah negeri ini yang memberi kata akhir sebagai pedoman dan pelajaran untuk anak cucu kita nantinya.” Begitu penafsiran dan perintah serta semangat Haji Abdul Manan dengan tak pernah pupus.
“Ayah, bunyi terompet itu kedengarannya dari arah Magek. Mungkin pasukan Mantri Warido. Kalau pasukan bantuan dari Bukittinggi tidak akan mungkin,” kata Haji Ahmad.
“Ya, ya!,” sambung Haji Abdul Manan dan Haji Jabang serentak.
“Semua pasukan harus dipersiapkan kembali untuk menyambut kedatangan pasukan sayap kanan musuh. Ini berarti pertahanan Datuak Parpatiah Nan Sabantang di Magek dapat ditembus musuh,” kata Guru Siti Maryam dan pemimpin besar perlawnan rakyat yang anti belasting itu.
“Ada apa gerangan sehingga sekawanan buaya darat itu lepas dari perangkap Datuak Parpatiah Nan Sabantang? Kalau begitu untuk apa pula bersumpah setia sehidup dan semati?,” tanyanya lagi kemudian.
“Sekarang Bersiaplah!!! Esa hilang dua terbilang. Relakanlah tulang belulang kita berserakan di jalan. Ikhlaskanlah nyawa berpisah dengan badan sebagaimana kawan kawan kita yang sudah syuhada itu. Biarkanlah sejarah negeri ini yang memberi kata akhir sebagai pedoman dan pelajaran untuk anak cucu kita nantinya.” Begitu penafsiran dan perintah serta semangat Haji Abdul Manan dengan tak pernah pupus.
“Haji,
kobarkan kembali semangat perang. Sudah kepalang. Sibungsu tidak akan beradik
lagi!! Sekarang kita selesaikan amanah dari Tanah Suci, Mekah itu,” ketus Haji
Abdul Manan kepada sahabatnya Haji Jabang.
Haji
Jabang langsung berdiri membawa pasukannya menyeberang selokan besar di sebelah
kanan.
Sedangkan
pasukan inti Haji Abdul Manan tetap di sebelah kiri jalan. Mereka sama-sama
menuju sasaran, yaitu Koto Panjang untuk menyonsongkan musuh yang datang dari
arah Magek. Haji Ahmad tetap mendampingi ayahnya bersama Angku Rumah Gadang.
Tak
berselang lama dalam perjalanan ke Koto Panjang dengan penuh kehati-hatian
dalam kesunyian larut malam itu terdengar suara tembakan. Cuma sekali dentuman
saja dan arahnya tidak diketahui.
Haji Abdul Manan menatap sekeliling dan menangkap bayangan sebuah sosok yang sedang merangkak di bawah pohon pisang, dengan lambat-lambat Haji Abdul Manan merangkak mendekati sosok itu. Musuhpun melompat ke seberang bandar, selokan. Haji Abdul Manan telah siap dengan menghunuskan pedangnya sambil membentak, “Mana Westenenk?!!!”
Haji Abdul Manan menatap sekeliling dan menangkap bayangan sebuah sosok yang sedang merangkak di bawah pohon pisang, dengan lambat-lambat Haji Abdul Manan merangkak mendekati sosok itu. Musuhpun melompat ke seberang bandar, selokan. Haji Abdul Manan telah siap dengan menghunuskan pedangnya sambil membentak, “Mana Westenenk?!!!”
“Celaka,
saya tidak tau,” jawab musuh itu yang kemudian minta ampun. Tapi apa boleh di
kata klewang Haji Ahmad keburu menebas batang leher musuh itu. Dan seorang
kawan musuh itu mengejar Haji Ahmad untuk membantu kawannya yang tergeletak
dengan leher yang hampir putus itu. Tetapi terlambat pula, Angku Rumah Gadang
telah lebih dahulu menyambut musuh itu dengan dengan menebasnya pula. Musuh
jatuh tersungkur berhimpitan menimpa bangkai kawannya. Keadaan kembali sepi....
Haji
Jabang kembali menemui Haji Ahmad, berbisik mengatakan bahwa Westenenk sudah
dicari-cari tetapi tidak ditemukan juga tempat persembunyiannya.
Tau-tau
ada suara panggilan dari arah belakang “Ahmad...!”
Haji
Ahmad berpaling mengarahkan telinganya. “Ahmad...!” Sekali lagi suara
memanggilnya. Mereka saling berpandangan “...Ayah?!”, dan serentak pula berlari
ke arah suara itu.
“Oh,
Ayah rupanya, ada apa Ayah?”
“Kemarilah
kamu, dan kawan-kawan kamu. Ayah mau bicara!”
Kami
pun menghampiri beliau, sang pemimpin perang itu. “Bagimana?, apa Westenenk
sudah ditemukan?,” tanya orangtua itu. “Belum!!!,” jawab Haji Ahmad dan Haji
Jabang serentak. Kemudian Sekh Jenggot itu melanjutkan laporannya.
“Westenenk
sudah dicari-cari sampai ke Koto Panjang. Setiap liku dan tebing sudah
diteliti, tetapi satupun pasukan musuh tidak ditemukan lagi, selain
bangkai-bangkai musuh yang bergelimang darah. Dan sekarang beberapa orang
pasukan kita sedang mencarinya ke dalam kampung Koto Panjang, mereka belum
kembali,” jelas kawan Imam Perang itu yang sehidup semati sejak dari kecil
sampai di perantauan dan sama-sama pulang pula untuk mempersiapkan apa yang
terjadi dimalam buta itu.
“Ahmad!,”
kata ayahnya lagi dan kemudian berhenti sejenak.
“Haji!,”
serunya kepada Haji Jabang sambil memegang tangannya.
“Sekarang
sudah pukul tiga atau pukul empat pagi, mungkin Westenenk sudah mengundurkan
diri bersama sisa pasukannya, namun tetaplah waspada menjelang subuh ini. Kalau
sudah siang kita tidak mungkin bertempur lagi karena senjata kita tidak mungkin
bisa melawan musuh dengan bersenjatakan senapan dan meriam di siang hari. Oleh
sebab itu persiapkan pasukan kita untuk mundur mencari perlindungan masing
masing di siang hari untuk menanti saat selanjutnya pada malam besoknya. Dan
beri kabar semua kawan-kawan kita di daerah dan pos-pos lain supaya selalu siap
sedia melawan musuh, jika nanti pasukan Westenenk menyerbu lagi.”
Haji
Abdul Manan kemudian berhenti sejenak, napasnya mulai sesak dan badannya
terlihat semakin letih. Dan dengan suara terputus-putus berwasiat lagi.
“A...yah!,
a...y...ah!, A...yyy...a...h!, tidak... mungkin...lagi...me...ne...russs...kan
pim...pinan perrrang ini!.
Ayyah
kennna!, sebentar lagi mungkin Ayyyah akan menghadap Illahi Rabbi, Allah
Subhanawata’ala, dan sudah tak mungkin lagi...! Terrruskan perrrjuangan...!”
Diam
lagi, namun mulutnya tetap komat kamit dan ujung lidahnya terkilas melentik
lentik seperti orang mengucapkan Allah! Allah! Allah!
“A...yah
sssuddah merrasa puas. Amanat kakekmu di tanah suci dulu sudah kita laksanakan
bersama.... Kita tidak menyerah begitu saja pada kehendak dan kelancangan musuh
terhadap anak, kemenakan dan cucu kita nati.... Berjuanglah terrruss. Ingat!!!
Pengkhianat selalu ada dimana mana, hati-hati! Jangan ceroboh! Demi dekat
dengan Allah Subhanawata’ala biarlah miskin harta daripada menjadi budak
kapitalih. Karena kaum kapitalih tidak akan sadar akan perbuatannya telah menghalalkan
apa saja untuk jabatan dan kekayaan, bahkan riba pun dia halalkan. Ingat pesan
Ayah. Dekatkan diri selalu pada yang paling berkuasa, yaitu Allah
Subhanawata’ala.”
Diam
lagi, dengan tatap terengah-engah pelan, dan berupaya pula mengambil napas lagi
untuk menyampaikan amanah selanjutnya.
“Ahmad!!!,
kalau batu sipadan di asak urang!,” sempadan ulayatmu diusik orang. “Begitu
pula terhadap negeri ini, terhadap agama kita dan terhadap bangsa kita.
Busungkan dadamu, nak!!!. Malam ini kamu dan adikmu serta kawan-kawan kita
telah membuktikannya”
“Tapi, Ahmad!!!”
Katanya lagi setelah terdiam pula sejenak, “Selagi menyangkut dengan pribadi
sendiri tetaplah bersabar, bersabar dan bersabar. Tenangkan perasaan, jernihkan
pikiran dan sandarkan perasaan kepada pemiliknya, yaitu Allah Ajja wazalla.
Bertanyalah dan memintalah kepada-Nya petunjuk yang lurus.”
Sunyi lagi sesaat.
Sunyi lagi sesaat.
“Juru
Tulisku! Maafkan saya karena kamu selalu aku suruh, aku perintah selama ini.
Sekarang jalankan amanahku tadi, selamatkanlah dirimu sekarang. Biarlah Haji
Jabang dan lain-lain yang menyelesaikannya perang menjelang subuh ini.
Selamatkanlah segala perbendaharaanmu tentang seluk beluk perlawanan ini.
Dan..., jadilah... kamu... sebagai perawi ikhwal perang ini... untuk cucu-cucu
kita nanti.”
Ditengah-tengah
bersemangatnya mengkhotbahi kami, tiba-tiba tubuh beliau oyong dan rebah dalam
pelukan Haji Ahmad, beliau berhenti berbicara dan keadaan kembali sunyi. Angku
rumah gadang berupaya pula memeluk beliau, membantu Haji Ahmad.
Tiba-Tiba
kedengaran gema takbir, “Allahu Akbar!.. Allahu Akbar!... Allahu Akbar!” dari
jurusan Timur yang sayup-sayup kedengarannya dari tempat kami bersembunyi di
Koto Panjang. Tak lama kemudian terdengr pula bunyi tiupan terompet perang
musuh dari arah Pulai Magek sebelah Selatan. Haji Abdul Manan yang menelentang dalam
pelukan Haji Ahmad dan Angku Rumah Gadang saling berpandangan denga Haji
Jabang.
“Oi!,
Mungkin pertahanan Datuak Parpatiah Nan Sabatang di Magek dan Datuak Majo Indo
di Koto Tangah dapat ditembus musuh,” kata Haji Jabang tiba-tiba.
“Sekarang
Haji Ahmad dan Angku Rumah Gadang selamatkan ayah segera. Bawa beliau ke rumah
sebelum terlambat. Biarlah bapak pimpin pasukan kita menghadapi musuh itu.
Agaknya Kari Mudo telah mengerahkan pasukannya dari Timur untuk membantu kita.”
“Baiklah
Bapak,” jawab Haji Ahmad. Kemudian tubuh Haji Abdul Manan kami gotong ke rumah
beliau di Kampung Tangah.
Sawiyah menahan perasan sedihnya saat Majo Ali
membuka pakaian Haji Abdul Manan untuk memeriksa lukanya. Terlihat dada kanan
Haji Abdul Manan sobek dari arah rusuk di bawah ketiak hingga ke bidang
dadanya, dengan serta merta Majo Ali membalurkan air ludahnya ke tempat yang
luka tersebut dan membalut luka itu, setelah meminta sorban beliau kepada
Miyah, anak perempuan Haji Abdul Manan yang seorang lagi.
Pakain
Haji Abdul Manan ditukar semuanya dengan yang bersih. Itulah satu satunya obat
penawar luka dan atiseptik dalam keadaan yang sangat darurat ketika itu, air
ludah Majo Ali yang sudah dimantrainya. Kemudian Majo Ali berlalu dari rumah
untuk menyusul Sekh Jabang. Haji Jabang mempersiapkan pasukan untuk menghadang
musuh yang datang dari arah Selatan, yaitu dari Magek Pulai yang didampingi
Majo Ali.
Tak
berselang lama sudah terlihat pasukan musuh berjalan membungkuk bungkuk seperti
amai-amai akan menangkap anak ayam. Suara takbir dari pasukan Kari Mudo dari
arah Timur Koto Panjang terdengar semakin mendekat dan semakin bergemuruh.
Selepas dari jembatan Koto Panjang menuju Kampuang Tangah pasukan Kari Mudo
dihujani oleh tembakan musuh, karena pasukan Kari Mudo masuk dalam jebakan
musuh yang tidak di duga oleh Kari Mudo sebelumnya, sehingga banyaklah diantara
pasukannya itu yang menjadi korban.
Haji
Jabang dengan serangan itu dapat mengetahui persis keberadaan pasukan Belanda,
selanjutnya memberikan isyarat dan perintah kepada pembantu-pembantunya, Sutan
Bagindo Kaliru di sebelah kanan dan di sebelah kririnya Majo Ali yang tergabung
dalam pasukan banyak. Haji Jabang membisikkan siasat penggempuran.
“Jika
musuh mulai menembak lagi, komando segera saya berikan, dan apabila sudah
terdengar komando segera lakukan serangan serentak ke tengah-tengah
barisan musuh. Beri tahu kawan-kawan!”
Selesai
menerima penjelasan itu Sutan Bagindo Kaliru dan Tuangku Pincuran langsung
mendekati kawan-kawannya untuk menyampaikan perintah tersebut. Tembakan musuh
mulai ramai lagi ke arah pasukan Kari Mudo. Haji Jabang langsung memberikan
komando dengan meneriakkan takbir “Allahu Akbar”. Pasukan yang dipimpin Bagindo
Kaliru dan Tuangku Pincuran serentak menyerbu ke tengah-tengah musuh.
Pasukan
Belanda tidak mengira bahwa meraka dalam pengintaian pasukan Haji Jabang
sebelumnya, dan dengan serangan mendadak itu mereka kalang kabut, mereka
menembak membabi buta, tidak tentu arah. Pertempuran kembali berkecamuk antara
pasukan Haji Jabang dan pasukan Belanda.
Tetapi
pertempuran di sini hanya berjalan sekejab karena pasukan musuh hanya
sekelompok kecil. Di arah Timur pasukan Kari Mudo ‘bakuhampeh’ pula dengan
dahsyadnya dalam waktu setengah jam sudah jelas jantan betinnya. Perang
berhenti kembali. Susana tenang, hening...!
Haji
Jabang kembali meneriakkan takbir beberapa kali ke arah Timur. Dari arah Timur
Kari Mudo menyahut dengan suara takbir pula. Kedua pasukan ini berjalan
berlawan arah, makin lama makin mendekat antara pasukan Haji Jabang dan pasukan
Kari Mudo. Kedua pimpinan pasukan saling maju berjabatan tangan dan saling
rangkul-rangkulan dan para pasukan juga melakukan hal yang sama dalam
kegembiraan karena mereka dapat menyelesaiakan peperangan dengan
sebaik-baiknya. Kecuali Westenenk masih belum diketahui jejaknya.
Haji
Jabang menyampaikan khabar kepada Kari Mudo bahwa Datuak Rajo Pangulu dan
istrinya, Sutan Nan Basikek dan istrinya, Datuak Marajo Kaluang dan beberapa
anggota pasukan laiannya sudah syuhada, haji Abdul Manan pun kena sasaran tembakan
musuh dan sekarang sedang disitirahatkan di rumah anaknya Miyah. Beriringan
laporan itu pula Haji Jabang menyampaikan pesan Haji Abdul Manan agar seluruh
pasukan segera mengundurkan diri dan menyingkir ke tempat yang aman karena
subuh sudah sangat dekat, hari akan siang dan tidak akan mungkin melanjutkan
peperangan di siang hari.
Kari
Mudo sangat terharu, urat-urat di dahinya semakin terlihat jelas, matanya basah
dan memerah karena kawan-kawan dan peminpin perangnya banyak yang gugur. Semoga
kesyahitannya dibalas Allah di sorga yang telah dijanjikan. Kemudian Kari Mudo
memerintahkan sebahagian pasukannya untuk mengangkat anggota pasukan yang gugur
dalam pertempuran dan anggota pasukan yang lain mengiringinya bersama Haji
Jabang menjumpai Hai Abdul Manan dan jenazah Datuak Rajo Pangulu dan
lain-lainnya. Setelah semua pemimpin pasukan berkumpul di Kampuang Tangah
langsung merundingkan segala sesuatau tentang langkah langkah selanjutnya.
Hasil
kesepakatan masing-masing komandan pasukan Sabilillah Kamang itu adalah bahwa
jenazah Datuak Rajo Pangulu dan istrinya Siti Aisyah dibawa pulang ke Kamang
Hilir dan begitu pula para syuhada yang berasal dari Kamang Hilir akan
dimakamkan di dekat Surau Taluak Kamang Hilir yang digotong oleh pasukan
Kari Mudo yang masih selamat.
Atas
permintan terakhir Majo Ali, demi keselamatan Haji Abdul Manan yang sedang
terluka dan juga demi perjuangan di Mangopoh, maka Haji Abdul Manan agar
diizinkan untuk dibawa menuju Mangopoh pagi-pagi itu.
Sepeninggal
Majo Ali yang membawa serta Haji Abdul Manan beduk di surau-surau sudah mulai
terdengar, menandakan waktu shalat Subuh sudah masuk. Semua pasukan segera
mengganti pakaiannya yang sudah berlumuran darah.
Setelah
waktu dhuha Haji Ahmad mendapat berita bahwa Yusuf Datuak Parpatiah Nan
Sabatang di Magek juga syahid malam itu, karena didatangi pasukan Warido,
tangan kanan Belanda yang berjabatan sebagai Mantri Kopi dan terakhir sebagai
Laras. Pada mulanya Belanda menanyakan di mana rumah Datuak Parpatiah Pauah,
tetapi orang salah tunjuk, rumah Datuak Parpatiah Magek yang ditunjukkan.
Pada
malam itu, pada pukul 03.00 (dini hari) sampailah serdadu Belanda di rumah
istrinya di Pakudoran Koto Marapak-Magek. Tanpa berfikir panjang rumah Siti
Hasnah itu digebrek oleh pasukan Belanda, di atas rumah itu terjadilah
perkelahian yang hebat pada saat pasukan dibawah kendali Agus Warido itu ingin
menagkapnya hidup-hidup, namun apa daya sejumlah tamu yang tidak diundang
itu dapat dihabisi oleh Yusuf Dtauak Parpatiah Nan Sabatang, termasuk Agus Warido
sendiri tewas di tangan Pendekar dari Magek ini.
Perkelahian
berlanjut ke halaman rumah Siti Hasnah, meskipun datuak ini telah mulai
kekurangan stamina karena telah menghunus lima belas orang serdadu
Belanda, namun semangatnya belum juga kendor. Dalam kondisi stamina mulai
mengendur regu pelapis yang datang menyusul mendapatkan ruang tembak di balik
pagar halaman rumah. Pada saat bidikan tepat sasaran ujung jari telunjuk salah
seorang prajurut Marsose itu menarik pelatuk senapannya. Yusuf Datuak Parpataiah
Nan Sabatang tersenungkur persis di “batua tapak-an”, halaman rumahnya.
Kemudian
sisa prajurut itu tidak mengacuhkannya lagi karena peluit untuk kembali
kekesatuan telah terdengar pula. Datuak mengerang kesakitan, tubuhnya dipopong
keatas rumah, Hasnah hanya bisa meratapi kepergian suaminya untuk selama
lamanya.
Pagi hari mulailah berdatangan saudara
dan kemenaakan Datuak Parpatiah melihatjasad saudara dan mamandanya.
Sesuai dengan hukum adat di Minangkabau,apabila seorang penghulu meninggal
dunia maka jasadnya harus dikebumikan ditanah pusaka, ditanah ibunya yang akan
diwariskan kepada kemenakannya.
Maka jasadnya dikebumikan di Dusun Kabun
Jorong Lurah Ateh Nagari Magek, di dekat sebatang pohon duren dekat rumah
pusakanya sendiri.(bersambung….
______________________________________
Bagian
XIX.
(Singguluang
Batu)
Informasi yang disampaikan Pandeka Mukmin sebelum berkecamuknya
pertempuran Kemang pada malam 15 Juni 1908, bahwa Belanda akan membantai rakyat
Kamang lebih kurang dengan kekuatan seribu orang dengan serdadu bersenjata
lengkap dan modern, sedangkan pada waktu jumlah penduduk Kamang tidak lebih
dari empat ribu jiwa. Namun, apa yang terjadi, berpedati-pedati mayat serdadu
Belanda diangkut ke Kurai, Bukittinggi. Ditaksir ada sekitar 425 orang serdadu
Belanda tewas sebagai korban perang ditengah malam buta itu.
Andaikan hanya seperempat dari jumlah penduduk Kamang yang ikut
berperang waktu itu, maka pertarungan dimalam buta itu dapat dikatakan satu
lawan satu. Jadi jelas, bukannya rakyat yang dibantai oleh Belanda, tetapi
pasukan Belandalah yang diluluh lantahkan rakyat. Berbalik arahlah penebangan,
semula Westenenk berniat menghabisi rakyat Kamang penentang belasting ternyata
pasukannya yang ‘habih - tandeh’, ludes oleh kaum militansi di Kamang.
Bahkan Westenenk yang bernama lengkap Lourd Constant Westenenk (L.C.
Westenenk) sampai terbirit-birit menyelamatkan diri ke kolong jembatan Koto
Panjang, tubuhnya ditutupi dengan daun keladi (talas). Ia diselamatkan oleh
Angku Suku Marah dari Aia Tabik hingga pagi hari dalam pesakitan. Satu jarinya
putus, karena dikibas rudus anak nagari Kamang yang rambutnya tergerai
bagaikan “mayang taurai – si gadih Ranti” pada saat memainkan rudusnya
tersebut.
Setelah pertempuran babak terakhir reda, pagi-pagi sekali barulah
Westenenk muncul dari persembunyiannya, seperti tikus keluar dari got, karena
memang bersembunyi di dalam kolong jembatan yang airnya penuh lumpur bercampur
darah. Kolong jembatan itu adalah aliran tali bandar, got dari kancah
pertempuran di Kampuang Tangah.
Westenank berganti pakaian sepeti gaya penduduk setempat, dengan
menyandang kain sarung layaknya orang pulang pagi dari menunggui sawah di malam
hari menuju Aia Tabik, ke tempat kediaman Angku Suku Marah.
Sehari penuh Westrenenk beristirahat dalam pesakitannya, sakit karena
kegagalan misi pembantaian maupun atas kehilangan seruas jarinya. Mungkin saja
ujung jarinya itu meloncat menari-nari mencari tuannya akibat dijemur terik
matahari seharian dan mungkin juga sudah terinjak-injak oleh masyarakat yang
menjamur dari dan ke Kampung Tangah untuk membezuk dan sekaligus untuk
mengenali anggota keluarganya yang telah syuhada dalam pertempuran semalam.
Setelah Maghrib barulah Westenenk diantar oleh Angku Suku Marah di Aia
Tabik yang dikawal oleh beberapa pengiring, hulubalang Angku Suku menuju Baso
dengan manaiki kendaraan bendi, sado kebesaran Angku Suku, layaknya kendaraan
kaum feodal hasil rekayasa Belanda. Dari Baso Westenenk diselundupkan ke
Benteng Fort Van der Capellen di Batu Sangkar.
Tetapi, tidak beberapa berselang, terdengar pula desas-desus bahwa yang
menyelamatkan Westenenk adalah Jaar. Dt. Batuah (Laras Tilatang), dan kemudian
hari diangkat menjadi Demang dan tersohorlah dengan sebutan Damang Cingkuak
yang pernah menerima Oranye van Nassau, suatu penghargaan tertinggi dari Ratu
Juliana kepada kaum pribumi yang telah berjasa besar dalam melancarkan
kekuasaannya di Hindia Belanda.
Meskipun perang sudah dianggap selesai, tetapi Tuangku Pincuran masih
belum bersenang hati karena perjuangan suci itu telah dikhianati oleh orang
Kamang sendiri. Pagi pagi buta rumah Angku Suku Babukik dikepungnya, terjadilah
penyergapan terhadap Angku Suku tersebut dan tanpa berpikir panjang Angku Suku
Babukik dibunuh dan mayatnya dicincang sebagai ungkapan kebencian dan kekesalan
yang maha sangat. Walaupun Angku Suku Babukik telah terbunuh, namun masa belum
puas. Rumahnya di bakar, binatang ternak peliharaannya seperti kuda dan
anjingnya juga dibunuh.
Pada hari-hari selanjutnya, setiap orang yang lewat di depan rumah Angku
Suku Air Tabik, Kepala Nagari dan pesuruh-pesuruh Belanda - yang telah
mengkhianati orang kampungnya itu meludah di depan rumah itu. Bagi masyarakat
Minangkabau perbuatan semacam itu entah mana yang sakit rasanya daripada
sayatan klewang dan rudus. Karena sikap semacam itu adalah menandakan kebencian
warga terhadap elite lokal di nagari nagari.
Menantang habis-habisan masyarakat tidak mau, mereka masih trauma,
pemimpin tidak ada lagi, surau sudah lengang. Tetapi kepada anak-kemenakannya
mereka berwasiat dan tetap menanamkan kebencian terhadap Belanda, kaum
penjajah termasuk para orang kampung, si Belanda hitam.
Sesuai hasil kesepakatan masing-masing komandan pasukan Sabilillah
Kamang, maka pagi-pagi hari jenazah Datuak Rajo Pangulu dan istrinya Siti
Aisyah dibawa pulang ke Kamang Hilir untuk dimakamkan berdampingan di pandam
perkuburan Siti Aisyah. Syuhada yang berasal dari Kamang Hilir lainnya
akan dimakamkan di dekat Surau Taluak Kamang Hilir oleh masyarakat dan
keluarga masing-masing korban. Termasuk yang dimakamkan di dekat Suarau Taluak
jenazah Siti Anisyah dan suaminya Sutan Nan Basikek, orangtua dari Ramaya kecil
yang kemudian pada tahun 1926 menjadi tokoh revolusi pula dalam menentang
penjajah Belanda yang terkenal dengan Pemberontakan Kamang 1926, berbarengan
dengan Pemberontakan Silungkang dan Sawahlunto.
Sekarang terbukti sudah tentang naluri anaknya, Ramaya sewaktu dia dan
suaminya Sutan nan Basikek sedang latihan di halaman belakang Suarau Taluak
beberapa waktu yang lalu.
Semenjak kematian ayah dan ibunya deraian air mata dan isak tangis
Ramaya belum berhenti. Dengan terbata-bata yang diringi isak tangis dalam
gendongan neneknya Ramaya kecil tetap menanyakan ibunya.
“Kenapa Ibu ditembak Ulando, Nek?,” tanya Ramaya dengan suaranya yang
sendu kepada sang nenek. Dan sebelum dijawab neneknya dia sudah bertanya lagi.
“Apa salah ayah dan ibu, Nek?”
“Ayah dan ibumu tidak punya salah, Maya!,” jawab neneknya.
“Nanti Maya tidur sama siapa, Nek?
“Kan ada nenek dan etek, Maya?! Nanti kita tidur bersama-sama, ya?,”
jawab neneknya pula.
“Siapa lagi jadi Ibu Maya nanti, Nek?
Mendengar pertanyaan cucunya itu si nenek pun tidak bisa lagi
menjawabnya, kerongkongannya terasa kelat dan lekat, mulut terasa terkunci,
bernapas pun terasa susah, yang bisa dia lakukan hanyalah mencium dan mencium
cucunya itu berulang kali dalam pelukan dan gendongannya.
Jangankan seorang nenek yang luluh hatinya melihat cucu semata wayang
itu menangis dan sebentar-sebantar menanyakan ayah dan ibunya, orang yang hadir
berta’ziyah ke rumahnya di Pintu Koto, Kamang Hilir itu pun tak kuasa menahan
derai air matanya.
Dipihak lain, tuan Residen Padang Bovenlanden di Bukittinggi langsung
mengambil alih pemerintahan Underavdeeling Oud Agam, karena Controleur
Westenenk belum kembali ke Bukittinggi dan nasibnya belum diketahui.
Tuan Residen memerintahkan Laras Kamang, Tilatang dan Salo, termasuk
para Kepala Nagari serta Penghulu Suku untuk membersihakan dan mengangkut
prajuritnya yang menjadi korban pembantaian rakyat Kamang. Dan untuk menggotong
para serdadu serdadu itu dipergunkan tenaga orang rantai, orang tahanan dari
tangsi di Bukittinggi yang sengaja dikeluarkan dari sarangnya dalam sebuah
pengawalan ketat dengan tangan dan kaki tetap dirantai.
Laras, Kepala Nagari dan Penghulu Suku sibuk mencari gerobak pedati
untuk membawa bangkai-bangkai yang tubuhnya compang-camping tersebut,
berserakan dimana-mana, di pematang sawah, di selokan di pinggir jalan.
Masih di tengah jalan, orang rantai – ‘si Melayu’ juga – menghela
gerobak pedati yang sarat muatan bangkai-bangakai serdadu Belanda - sudah
mulai mengeluarkan bau amis, busuk karena sudah semalaman direndam air hujan
dan air selokan, air sawah serta air kolam. Lalat dan kumbang-kumbang
kecil pun silih berganti “membezuknya” di sepanjang jalan, kadang-kadang sering
mengganggu penglihatan dan pendengaran si penghela
pedati yang terseot.
Gemerincing rantai di kaki yang bergeser dengan jalan berbatu dan
dengungan lalat serta kumbang bagaikan lagu suci mengahantarkan mayat-mayat itu
ke liang kuburnya, mungkin di laut lepas menjelang Pulau Pisang atau di jurang
Ngarai Sianok yang menganga. Karena tak satupun kita menemukan nisan para
serdadu itu di Bukittinggi.
Pekerjaan mengevakuasi mayat serdadu Belanda ini dilakukan pagi-pagi sekali sebelum orang kampung, masyarakat Kamang dan sekitarnya yang mengetahui kejadian malam itu berduyun-duyun datang ke Kampuang Tangah. Gengsi juga Belanda apabila masyarakat mengetahui akan fakta sesungguhnya atas kejadian yang memalukan pemerintahannya itu.
Pekerjaan mengevakuasi mayat serdadu Belanda ini dilakukan pagi-pagi sekali sebelum orang kampung, masyarakat Kamang dan sekitarnya yang mengetahui kejadian malam itu berduyun-duyun datang ke Kampuang Tangah. Gengsi juga Belanda apabila masyarakat mengetahui akan fakta sesungguhnya atas kejadian yang memalukan pemerintahannya itu.
Orang-orang rantai itu tidak lain adalah masyarakat Agam ataupun
masyarakat di Sumatera Barat umumnya, yang telah dijatuhi hukuman karena
beberapa kesalahan yang dianggap menganggu ketertiban umum dan mulusnya jalan
pemerintahan kolonial Belanda. Artinya adalah ‘urang awak’ juga. Beban berat
singgulung batu jadinya bagi masyarakat kita sendiri. Semua kesalahan
ditimpakan kepada masyarakat jajahan yang dikatakan
Belanda sebagai rakyat ‘inlander’, karena tabiat busuk beberapa orang kita juga
yang mau mengkhianti arti kedaulatan
dan kebangsaan.
Insya Allah,bersambung……….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar